Kamis, 19 Juli 2018

Mengenal Introver (1)


Introver apaan? Itu dia bisa ketawa ngakak, itu tingkahnya konyol, itu dia cerewet, itu dia bisa jahili orang.

Ya. Memang bisa. Tapi lihat dulu, siapa yang dihadapi? Untuk introver―dalam hal ini saya, untuk tidak menyebut keseluruhan―memang terkadang terlihat seperti orang pada umumnya atau ekstrover. Tapi tidak setiap waktu seperti itu, tergantung siapa yang saya hadapi.

Jika saya berhadapan dengan adik saya, sahabat saya, kawan saya, rekan kerja saya, tante saya … tentu saya bisa bersikap lebih terbuka pada mereka. Apalagi kalau memang cocok, kami bisa membahas apa pun berjam-jam sambil tergelak-gelak.

Tapi, saya bisa langsung ‘ciut’ saat berhadapan dengan orang lain atau orang baru. Walau dalam beberapa kasus saya terlihat ‘baik-baik’ saja terhadap orang baru, itu karena tuntutan. Entah tuntutan pekerjaan atau tuntutan sosial, dan tuntutan keadaan lainnya.

Kenapa saya tidak bisa akrab dengan Eby, seperti dia dengan si A?

Sebenarnya bisa saja, asal kamu tahu bagaimana menghadapi saya. Saya harus merasa bahwa kamu ‘aman’ untuk saya. Bukannya setiap berjumpa saya malah merasa tidak nyaman, tidak senang, dan merasa selalu salah. Kedengarannya egois, dalam suatu hubungan saya adalah pihak yang harus dipahami duluan. Tapi tidak semuanya, tergantung.

Saya punya seorang kenalan dan dia berkata terus terang kepada saya tentang keheranannya kenapa tidak bisa akrab dengan saya. Saya pun hanya menanggapi satu dua kata atas setiap yang dia katakan. Saat itu saya hanya tertawa saja―karena memang tidak tahu harus merespons seperti apa.

Sesungguhnya saya tidak bisa begitu terbuka padanya karena setiap berhadapan dengannya―entah bagaimana caranya―saya merasa selalu salah. Apa yang saya katakan, apa yang saya lakukan, selalu salah. Dia bertanya sesuatu dan sebenarnya saya punya jawaban yang bagus, tetapi saya tidak bisa mengatakannya karena saya telanjur merasa saya tidak ‘aman’ berhadapan dengannya. Jadi, di pertemuan berikutnya pun refleks dalam diri saya adalah merasa tidak ‘aman’.

Sehingga ketika saya mencoba untuk meringkas jawaban yang akan saya katakan―karena saya pikir, perkataan apa pun akan terdengar salah―hasilnya pun tetap salah. Kalau sudah begitu, saya akan mengumpat dalam hati, nah kan … salah lagi. Lalu ketika sudah kami berpisah saya akan menyesal setengah mati sudah menjawab seperti itu.

Ya. Pertemuan dengan dia selalu ‘menyiksa’ saya. Dia mengaku tidak bisa akrab dengan saya dan dia ingin bisa melakukannya, tetapi dia tidak mau memahami saya. Atau mungkin … dia tidak tahu caranya. Saya harus merasa ‘aman’ bersamanya.

Mudah, kan?


Lanjut ke sini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo