Jumat, 17 Agustus 2018

Mengenal Introver (2)



Baca Mengenal Introver (1) di sini.

Ya, kembali lagi ke urusan introver. Untuk saya, semakin bertambah usia semakin ada perubahan yang lebih baik. Introver terparah saya terjadi ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dan saya bersyukur bisa sedikit demi sedikit berubah. Bukannya tidak menerima kondisi diri saya, saya senang mengalami perubahan ini karena dulu itu saya tersiksa sekali. Pada saat itu, saya adalah korban bully, yang lebih mengarah ke pelecehan, tetapi saya tidak berani melaporkannya. Saya sangaaat sangat pendiam, dan sama sekali tidak berani melawan, juga tidak punya banyak teman.

Pada saat SMP saya merasakan kondisi yang benar-benar ‘tidak terlihat’―jika dibandingkan dengan tingkatan pendidikan lainnya. Saya jadi siswa yang benar-benar biasa. Beda dengan pada saat saya SMA, apalagi di perkuliahan. Seperti yang sudah saya bilang, saya mengalami perubahan baik.

Saya bersyukur, diri saya yang sekarang sudah tidak separah yang dulu, dan saya sangat mencintai diri saya. Saya menerima keadaan ini, anugerah ini.

Namun, seiring bertambahnya usia―bertambah dewasa―ada tuntutan baru yang lebih (serius) dalam lingkungan sosial. Dan hal ini kembali menjadi permasalahan dalam hidup saya. Kedua orang tua saya ekstrover, banyak yang mengenal mereka, teman ada di mana-mana. Mereka adalah orang yang sangat-sangat terbuka, bersahabat, supel, atau apa pun itu sebutannya. Untuk itu saya menyatakan bahwa saya tidak tahan berada di kampung halaman―rumah―dalam kurun waktu yang lama.

Kenapa? Tuntutan keadaan. Orang tua ekstrover, sangat bertolak belakang dengan saya. Saya dituntut untuk bisa seperti mereka dalam menghadapi lingkungan masyarakat, semacam menjaga citra keluarga untuk meminimalisir tanggapan “masak orang tuanya begitu, anaknya begitu?” Oh, masyarakat ... saya sangat ingin tidak peduli dengan omonganmu, tetapi dituntut untuk tidak seperti itu.

Nah, untuk itu saya lebih baik pergi dari rumah―salah satu alasan merantau. Saya memang tidak pernah tahan berlama-lama di rumah, paling lama satu bulan, cukup. Saya merasa lebih nyaman tinggal di lingkuangan baru yang tidak kenal siapa-siapa atau hanya sebatas kenal saja, itu lebih baik. Akan lebih bagus lagi kalau lingkungannya memang tidak terlalu saling peduli, misal di beberapa bagian Kota Jakarta. Namun, bukan berarti tidak menyetujui tentang hubungan sosial bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Dampak yang ditimbulkan akibat saya merantau yaitu saya tentu jadi lebih mandiri, terbiasa melakukan apa pun sendiri karena dituntut untuk bisa banyak hal. Memang tidak semua bisa, tetapi jika memang itu harus saya lakukan, maka akan saya lakukan. Justru kalau ada orang lain maka saya akan mengandalkan dia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo