Sejauh ini saya hanya
pernah membahas tentang Partikel dalam blog yang lama (radareby.blogspot.com).
Sekarang saya akan menuliskan pendapat atau reaksi saya setelah membaca tuntas
kesemua seri Supernova. Tidak begitu penting mungkin buat pembaca, tetapi (selalunya) itung-itung tulisan ini jadi
dokumentasi saya untuk tahun-tahun ke depan. Apa pun yang saya tulis di sini
sesuai dengan kesepemahamanku (bueh! terlalu banyak imbuhan) atau murni
menurut saya sendiri. Apabila ada yang salah paham atau keliru, mohon maaf ya.
Saya merasa belum menjadi pembaca yang cukup pandai menghadapi Supernova. Gak
kebayang, bagaimana kikuknya jika saya berada dalam sebuah forum diskusi
bersama Komunitas Supernova, yang ada saya hanya akan menimpali seadanya dan
mengangguk-angguk serius pertanda sesekali terjadi korsleting otak, yang ada di
kepala saya serupa adegan acak mirip keresek-keresek tampilan tv rusak. Namun, untungnya saya belum pernah bertemu mereka, hehe.
Sebenarnya saya sudah
memulai membaca Supernova sejak 2014, belum lama memang apa lagi kalau diukur
dari kelahiran awal KPBJ, tentunya sangat jauh. Proses memiliki ‘mereka’
terjadi secara acak, mulai dari Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh (KPBJ); Petir; Gelombang; Partikel; Akar; lalu Intelegensi Embun Pagi (IEP). Membacanya pun
juga acak; KPBJ, Petir, Akar, Partikel, lalu Gelombang. Berhenti di Gelombang (itu pun belum setengahnya selesai dan
memilih berhenti total) saya sering macet membacanya. Pada saat mogok baca
berulang kali itulah saya membeli IEP yang masih hangat-hangatnya ada di toko
buku. Dari sudut pandang saya waktu itu, saya mempunyai keterbatasan dalam
membaca Gelombang karena bahasa-bahasa asing yang banyak terdapat di sana. Agak
kerepotan membaca sambil bolak-balik kamus atau bersandingan dengan Google Translate. Dan sampai batas membaca yang
tak seberapa itu, saya menyimpulkan tak terlalu suka dengan ceritanya (jangan buru-buru protes).
Alasan lain yang
membuat saya berhenti membaca Gelombang adalah hadirnya IEP. IEP sebagai buku
akhir, penutup dari Supernova dan saya merasa belum banyak memiliki bekal untuk
membacanya. Walaupun banyak yang bilang membaca Supernova tak perlu runut,
langsung membaca IEP pun tak masalah. Namun, saya tidak mau, saya harus menabung
informasi untuk benar-benar siap (kelihatan
banget, kan, gak terlalu pintarnya). Apalagi jarak membaca setiap seri
yang acak itu cukup jauh, pada saat itu saya mulai tak jelas mengingat jalan
cerita KPBJ, saya harus putar balik. Membaca dengan runut. Namun, itu hanya
wacana, karena tidak langsung terlaksana.
Dalam rentang waktu
saya vakum membaca Supernova, banyak bacaan dari buku lain yang saya lahap.
Banyak pula peristiwa atau kejadian-kejadian dalam hidup yang semakin banyak
mengubah pola pikir saya. Saat itu saya tahu, sudut pandang saya ketika akan
membaca Supernova (lagi) akan
berubah. Persis yang Mak Suri bilang (kalau
gak salah) pembaca yang melewati tahun-tahun akan memiliki sudut pandang
atau pemahaman yang berbeda, seiring pertambahan usia dan informasi, jadi
semakin ter-upgrade (ngomong apa sih ini? Terserahlah yang penting saya mengerti.
Lanjut.)
Di tahun 2017 (lupa tepatnya bulan berapa) ini saya
baru mulai membaca kembali Supernova. Dulu, ketika saya membaca KPBJ untuk
pertama kalinya saya merasa sangat ‘sakit kepala’. Saya susah mengikuti
arusnya, pemahaman saya tentu sangat kurang. Beda dengan tahun ini, saya lancar-lancar
saja melaluinya walau tetap ada saja sandungan-sandungan pemahaman. Saya sangat
bangga sekali pada kemajuan diri ini (yeaaah!). Tidak berselang lama, saya
lanjut ke Akar, Petir, dan Partikel. Semua aman – dan tentu saja – saya punya
banyak pemahaman baru beda dari tahun-tahun awal membaca ‘mereka’.
Gelombang. Saya sempat
ragu, mengingat masa suram saya bersama dia (opo sih). Namun itu bukan apa-apa, seiring dengan semakin dewasanya
saya (makin ngaco), saya sangat
penasaran dengan ceritanya. Sama seperti seri sebelumnya, membaca Gelombang
tidak membutuhkan waktu terlalu lama. Dan sama sekali tak terduga … ternyata … di
Gelombang saya mempunyai SEDIKIT (dibaca
dengan penekanan) kemiripan dengan Thomas Alfa Edison. Ini semua tentang
mimpi, saya juga tidak suka mimpi – tetapi bagaimana jika itu bukan mimpi? (abaikan)
Efek Gelombang masih
terbawa dalam kehidupan saya beberapa hari setelahnya. Bayang-bayang Si Jaga
Portibi erat sekali di kepala, menduga-duga kehadirannya di sudut kamar yang
remang sebelum saya bisa tertidur. Yang bisa menenangkan saya hanyalah “come on Eby! Kamu bukan peretas mimpi!”.
Mak Suri selalu berhasil menyampaikan rasa lewat penjelasannya yang sederhana.
Penjelasan kehadiran Jaga Portibi (JP, dibaca Jay Pee) sangat sederhana, hanya satu-dua kalimat, tetapi membuat
saya seperti nonton adegan horor dalam hitungan jam. Efeknya luar biasa, walau
akhirnya saya tahu JP sama sekali tidak jahat, dia tulpa-nya Alfa.
Bagaimana reaksi
setelah membaca Intelegensi Embun Pagi?
Woooaaa …!!! (Bagaimana, cukup? Dengan itu saja sudah
paham? Saya masih harus menjelaskan lagi, ya? Iyalah, biar saya ingat.)
Banyak sekali kata “woooaaa …!!!”
yang saya sebut, tentunya dengan nada yang berbeda-beda sesuai kebutuhan. Bisa
jadi singkat dan tegas, mengambang di ujung, tumpang tindih dengan tawa,
kolaborasi teriakan, efek-efek tidak terima, imbuhan nada terkejut, dan
berbagai rupa lainnya. Tak terhitung (dan tak berniat menghitung) bergelas-gelas minuman panas yang menemani sepanjang membaca IEP, apalagi air putih. Yang saya ingat, bolak-balik ke kamar mandi adalah salah satu rutinitas wajib.
Pada keping-keping awal
saya menduga di IEP tidak akan ada peristiwa romantis, sibuk dengan pertemuan-pertemuan
dan misi penting para peretas. Namun, semakin laju saya membaca akhirnya bukan
hanya kata “woooaaa …!!!” yang ada di kamus reaksi saya, mulai muncul satu-dua “ciiieee …!!!” dan sepertinya ada beberapa jenis umpatan lain yang saya tidak ingat, hehehe.
Membaca IEP, saya
memerlukan catatan. Seri yang lainnya juga, tetapi tidak seintens IEP. Saya butuh
bantuan pengingat adegan dan tokoh. Karena … di IEP tokoh penting dari semua
seri Supernova tumplek blek di sana.
Melewati pertengahan cerita, saya mulai beradaptasi dan perlahan tidak mencatat
lagi, hanya sesekali jika sangat perlu. Agak mumet dengan tumpang tindih hubungan para tokoh – yang ternyata –
saling berkaitan itu. Dua tokoh yang awalnya saya lupa mereka siapa, Simon
Hardiman dan Kastunut. Begitu paham, langsung teriak “woooaaa …!!!” lagi.
![]() |
Kesemrawutan catatan IEP |
Layaknya sebuah
penutup, banyak sekali kejutan di IEP. Jika saya menyimpulkan tentang reaksi
membaca IEP, dua kata ini sangat mewakili; merinding … dan gemas! Setiap ada
yang mulai tersibak kejelasannya, tubuh saya merinding, saya rem mendadak untuk
berhenti membaca diikuti dengan memejamkan mata kuat-kuat sambil memeluk badan
dengan tak kalah kuatnya, setidaknya itu berhasil menghilangkan kemerindingan (bueh!) dengan lebih cepat. Lebay, ya?
Gak, ah (suka-suka saya).
Beberapa hari yang lalu
Mak Suri mengabarkan bahwa dia memuat tulisan di blognya tentang adegan IEP
yang dihilangkan. Saya belum baca. Katanya, di dalamnya ada tentang Nicky Evans
the lollipop girl, selain itu, saya
berharap di sana ada pembahasan tentang Koso. Dengan banyaknya tokoh di IEP,
saya kira Koso ada hubungannya dengan mereka, entah infiltran, sarvara, atau
umbra. Namun, ternyata dia tidak ada. Saya merasa ganjil, tokoh semencuat dia di
Partikel kok enggak diangkat lagi.
Akan tetapi bukan berarti saya
sok pintar. Tentunya masih SANGAT
banyak istilah-istilah yang saya tidak mengerti, jalan cerita fantasi yang
abstrak, dan segala kehidupan ‘mereka’ masih cukup memusingkan. Dengan lumayan lancarnya saya membaca Supernova, bukan berarti saya sepenuhnya paham bahasa Inggris, saya hanya lebih bisa memahami sebisa saya tanpa blank lagi, walau pasti ada banyak yang keliru atau tak terdeteksi, saya lanjut-lanjut saja. Saya menunggu
beberapa tahun lagi (mungkin 5 tahun)
untuk membaca kembali Supernova. Saya berharap bisa menemukan pemahaman baru.
Ditunggu, ya .…
Oya, di IEP ada
beberapa yang menjadi pasangan/kelompok. Trio kwek kwek; Kell, Liong, dan Kas.
Trio sarvara; Sati, Simon, dan Togu. The
chen-doll team; Bodhi dan Kell. Sementara pasangan kasmaran ada dua, Gio &
Zarah, juga Mpret & Elektra. Beberapa kali saya berteriak “ciiieee ...!!!” dengan sangat khidmat, muka rasanya memerah, plus cengengesan kayak menangkap basah sejoli yang lagi kencan, sambil menunjuk-nunjuk (yang ditunjuk buku). Dari beberapa tahun yang lalu saya membaca
Petir, saya jatuh cinta pada Mpret (saya
lebih suka sebutan itu daripada Toni). Jatuh cinta pada caranya jatuh cinta,
dan tentu juga pada sosoknya. Sama dengan yang Mak Suri bilang, Mpret adalah
manusia yang sangat berguna sebagai sahabat dalam kehidupan ini, sosoknya itu
lo … woooaaa …!!! Enggak bisa berkata-kata. Dari dua pasang kasmaran, sudah tentu
saya lebih menyukai Mpret dan Elektra. *prok
prok prok*
Salah satu hal yang
membuat saya suka dengan tulisan Mak Suri adalah beliau pandai menyampaikan
rasa pada pembaca dengan cara yang sederhana. Tidak seperti cerita dari penulis
lain (maaf) yang begitu ‘banting
tulang’ untuk mendeskripsikan rasa sakitnya patah hati, atau betapa memabukkannya
jatuh cinta. Mamak mendesain itu dengan sederhana dan mudah dicerna yang
rasanya sampai ke tulang-tulang.
Love
you,
Mak .…
0 komentar:
Posting Komentar