Selasa, 29 Desember 2020

Tentang Menekuk Lutut dan Lainnya

“Ayo. Bisa.”
Kita hanya butuh kata-kata tepat, bukan kutipan bijak,
bukan kalimat dari motivator hebat.
—Eby Tabita

 

Ini kisah yang panjang—walau sudah banyak cerita di-skip. Silakan tarik napas dulu.

...

Di sebuah malam Jumat Kliwon (Kamis malam), saya dan Pe (baca: Pi) berkendara dengan sepeda motor pinjaman seperti biasa. Malam itu, elpiji di indekos habis, jadi kami pergi membelinya. Sekalian ke rumah temannya Pe, lalu “mampir” beli kebab.

Perjalanan lancar seperti biasa. Di perjalanan pulang, sampailah kami di area roller coaster—sebutan kami untuk jalan itu. Seperti wahana roller coaster, medan jalan itu naik turun. Kami hampir selalu berseru-seru sambil mengebut kalau lewat di sana, seolah-olah sedang menikmati roller coaster benaran.

Kondisi jalan di sana cukup gelap, hanya ada lampu remang-remang dari beberapa bangunan di sekitarnya. Sepi juga, tidak banyak kendaraan yang lewat karena memang bukan jalan raya. Hanya jalan kecil yang muat maksimal dua mobil bersisian. Lokasinya dekat dengan indekos.

Malam itu, Pe mengendarai motor seperti biasa saat melewati area roller coaster. Namun, siapa sangka, terjadilah insiden nahas itu. Kami tidak ada yang bisa melihat serakan pasir di tengah jalan—yang terbawa air hujan sore harinya—karena jalan itu cukup gelap. Ban motor tergelincir. Kami terjatuh dengan hebat. Kecelakaan tunggal.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya jadi punya pengalaman seintens itu menatap aspal, karena posisi jatuh saya adalah tengkurap. Begini, kami jatuh ke arah kanan, jadi tubuh bagian kanan duluan yang membentur aspal. Berikutnya, tubuh saya tengkurap dan terbanting beberapa kali lalu terseret hingga berhenti di posisi miring ke arah kanan (jadi semi-tengkurap dengan tubuh bagian kiri yang menopang).

Saat tubuh sudah benar-benar berhenti dan masih dalam posisi yang sama, saya melihat ke arah bawah, di sanalah Pe terbaring. Saya sempat dengar dia memanggil nama saya, tetapi saya tidak bisa menjawab. Seluruh badan rasanya tak karuan. Berusaha bangun, tetapi tidak bisa. Beberapa detik terasa kosong dan … terasa sangat lama. Saya membatin, Kenapa tidak ada orang yang lewat? Kenapa lama sekali tidak ada yang menolong? Saat itulah saya sempat melihat tabung elpiji yang baru kami beli, menggelinding jauh ke bawah. Tiiit ... saya tidak bisa memikirkannya.

Saat saya belum bisa bangun, Pe sudah berdiri dan segera membantu saya. Namun, saya benar-benar tidak bisa berdiri. Hanya bisa terduduk lalu menyeret tubuh (mengesot) ke pinggir aspal. Saat itulah orang-orang berdatangan—yang lewat, maksudnya. Seorang bapak-bapak hendak membantu saya berdiri. Saya bergumam pelan dengan khawatir, “Gak bisa (berdiri).”

Bapak itu ternyata dengar. Lalu beliau berkata, “Ayo. Bisa,” dengan raut wajah tenang dan nada yang sangat percaya bahwa saya bisa, saya enggak akan kenapa-kenapa. Dua kata mungil yang berdampak besar ke saya, seperti ... bisa menghipnotis. Auranya khas bapak-bapak bijak. Beliau menarik kedua pergelangan tangan saya dengan kuat. Dan ... saya berdiri.

...

Orang-orang bertanya, apa kami tidak apa-apa? Jawaban refleks saya adalah “Tidak apa-apa.” Lalu saya menoleh ke kanan, bertanya pada Pe, “Kamu gak apa-apa?” Setelah saya bertanya, Pe baru sadar. Dia melihat pergelangan kaki kanannya yang terluka cukup parah dan dia baru merasakan sakit.

Menulis di bagian ini, tiba-tiba saya kepikiran suatu kalimat yang cukup mainstream. Ya, walau momennya enggak begitu nyambung sih, hehe.

“Aku baik-baik saja, sebelum kamu bertanya.” 

Lanjut.

Berikutnya, saya merasa “ada yang salah” dengan wajah saya. Saya memang curiga saat sementara jatuh tadi, sepertinya wajah saya luka karena helm saya terlepas. Saat saya menyentuhkan tangan ke wajah bagian kiri, terasa basah. Saya turunkan tangan dan ada darah di sana. Refleks langsung gemetar, dada saya rasanya berdesir kencang.

Saat itu, saya memang juga merasa “ada yang salah” dengan kaki saya karena bahkan tadi kesulitan untuk berdiri, tetapi belum benar-benar tahu apa yang terjadi. Rok berbahan jeans yang saya pakai tampak baik-baik saja. Saya baru tahu keadaannya saat mulai diobati. Celana dalaman rok saya robek di bagian lutut dan darah sudah merembes.

...

Karena luka saya benar-benar ada di pucuknya lutut (kaki kanan), saya memutuskan untuk tidak menekuknya. Karena kalau saya tekuk, pasti rasanya seperti luka itu diperas. Dan memang disarankan—oleh dokter yang mengobati—untuk tidak ditekuk dulu sampai lukanya membaik. Lagi pula, lutut saya membengkak, kulitnya mengencang, mustahil untuk bisa ditekuk. Jadi, posisi kaki kanan saya selalu lurus. Seperti garis yang tertarik lurus dari posisi 0 ke 180 derajat. Yang saya tidak sangka, hal itu benar-benar membuat lutut saya tidak bisa ditekuk dalam waktu yang lama!

Di 4—5 hari pertama, rasanya mau gila. Pegal-pegal dan ngilu. Gemas! Pengin sekali menekuknya. Setelah satu minggu kaki baru bisa ditekuk kira-kira 5 derajat. Sedikit sekali, ya? Memang, tetapi sangat berarti bagi saya. Setidaknya tidak hanya lurus 0—180 derajat saja posisinya. Alhamdulillah, keadaannya terus membaik.

Untuk mengatasi rasa rindu menekuk kaki kanan, saya memainkan kaki satunya yang sehat. Bermain “lurus-tekuk” berkali-kali di kaki kiri, sambil mengelus-elus dan bergumam-gumam “Hah, enaknyaaa, nikmat sekaliii.” Hal yang tidak pernah saya sadari sebelumnya.

Dua minggu setelah jatuh, saya keluar “melihat dunia”. Melihat dunia adalah sebutan saya dan Pe untuk momen pertama kami keluar indekos setelah terjatuh. Sebelumnya, kami sama sekali tidak pernah pergi dari indekos, keluar dari bangunannya saja tidak. Pe sudah duluan melihat dunia beberapa hari sebelum saya. Saat itu, Pe kembali ke indekos dengan heboh bercerita tentang “dunia yang dilihatnya”. Mobil-mobil bergerak, kawan-kawannya bergerak, dan hal remeh-temeh lain yang tidak disadari keajaibannya bagi kebanyakan orang.

Perjalanan pertama

Hari itu, saya pergi ke dua tujuan. Pertama, ke kantor pos. Saya memesan taksi online, bukan ojek karena lutut bahkan belum bisa menekuk 90 derajat. Lucunya, karena itu pertama kalinya saya naik mobil dengan kaki tidak bisa ditekuk, saya jadi kebingungan. Cara dan posisi saya masuk ke mobil sangat aneh. Sambil beraduh-aduh, saya berhasil masuk dengan sangat lucu. Si sopir menyadari, tampak perhatian, tetapi tidak bertanya. Saya terharu atas simpati beliau.

Perjalanan kedua

Setelah dari kantor pos, saya akan ke toko roti langganan. Hendak beli cake dan beberapa kue lain. Ternyata saya mendapatkan taksi online yang sama. Tadinya si sopir hendak membukakan saya pintu, tetapi saya tolak. Dari kursi kemudi, ia tetap memperhatikan cara saya masuk mobil dengan simpati. Saya sudah tahu caranya. Berdiri menghadap samping kiri mobil, dudukkan bokong dahulu, lalu tarik seluruh tubuh masuk ke mobil. Berhasil. Masalahnya, bagaimana cara menutup pintu mobil? Tangan saya kesulitan menggapai hendel pintu, tetapi tetap bisa kok, dengan usaha lebih tentunya. Si sopir yang sama dengan saat saya ke kantor pos tadi ini, selalu mengucapkan “Hati-hati, Mbak,” tiap kali saya turun dan berpisah dengannya. Baik sekali, ya.

Perjalanan ketiga

Dari toko roti saya akan pulang ke indekos. Taksi online yang saya pesan sudah datang, tetapi berhentinya jauh di pinggir jalan, bukan masuk ke halaman toko. Jadi, saya berjalan agak jauh dengan terpincang. Saya masuk mobil dengan cara sebelumnya. Si sopir menyadari keanehan saya dan bertanya “Bisa?” Tentu saya menjawab bisa. Saat tubuh sudah sempurna masuk dan sedang berusaha menutup pintu, tiba-tiba si bapak penjaga parkir menghampiri, menutupkan pintu sambil tersenyum dan bilang “Hati-hati.” Ya Tuhaaan! Seorang bapak itu bersikap begitu?!

Begini, begini. Itu toko roti yang paling sering saya kunjungi, jadi saya juga lumayan sering berjumpa dengan si bapak parkir. Sepengalaman saya, bapak itu cueknya ampun-ampunan, sering kali fokusnya ke layar ponsel dengan kuping yang tersumpal earphone. Pokoknya dia itu seperti para tukang parkir pada umumnya; menyebalkan dan paling dihindari, yang tiba-tiba muncul hanya pas pengendara mau pergi.

Eh, hari itu dia bersikap sangat manis ke saya! Jadinya, dalam perjalan pulang ke indekos saya sibuk terharu sambil mengusap air mata. (Istilah Jawa-nya “mbrebes” = momen mata berkaca-kaca dan air mata berlinang sedikit.) Terharunya. Hangat sekali. Hari yang indah.

Nah, gantian saya yang heboh bercerita ke Pe saat sampai di indekos. Berseru-seru mengatakan “Oh ... ternyata dunia begitu indah, ternyata banyak orang baik. Indahnyaaa dunia iniii!” Dan terus begitu sampai beberapa lama. Hahaha.

Bersyukur sekali saya bertemunya dengan orang-orang baik. Bagaimana kalau pada momen “melihat dunia” saya justru bertemu sama orang-orang yang kurang baik? Apakah saya akan mengutuk semesta? Untung hal itu tidak terjadi. Terima kasih, Tuhan.

Bakat menari balet

Saya dan Pe tinggal di kamar yang sama, berukuran sekitar 2 x 3 m. Selain kaki kanan saya yang tidak bisa ditekuk, kaki kanan Pe juga tidak bisa digerakkan/ditekuk bagian pergelangan telapak kakinya. Kami juga punya luka-luka lain di tubuh. Jadi, dengan kondisi itu kami beraktivitas dengan tidak seperti biasanya. Banyak gerakan aneh yang terpaksa dilakukan, padahal sesederhana menuang air, mengambil sesuatu di rak, bahkan berdiri dari kasur. Keluarlah candaan di antara kami, tampaknya kami cukup berbakat jadi penari balet. Haha. Maaf, ini hanya bercanda.

Sembuh total

Perlu waktu dua bulan lebih beberapa hari untuk kaki saya benar-benar sembuh total. Bisa ditekuk sempurna tanpa rasa sakit. Walaupun sudah sembuh, tetapi saya belum sepenuhnya lega karena ukuran kaki saya jadi tidak normal alias kecil sebelah. Ya, kaki kanan saya jadi sangat kurus. Perbandingan diameter kedua kaki seperti angka 1 (kanan) dan 0 (kiri).

Ngeri tiap kali melihat kaki. Awalnya saya berpikir, apakah ada masalah dengan tulang kaki saya? Ah, tidak. Kaki saya hanya luka luar, tidak ada masalah dengan tulang. Saya kemudian menyadari bahwa begitulah anggota tubuh manusia, akan menyusut/mengecil jika tidak digunakan.

Perlu waktu agak lama sampai ukuran kedua kaki saya bisa sama kembali.

Lupa cara berjalan

Kami sempat lupa cara berjalan yang benar, karena terbiasa sekian lama jalan dengan tertatih-tatih. Kami sama-sama belajar berjalan kembali. Saat orang normal berjalan, ya tentu tinggal jalan saja. Namun, saya harus jalan dengan penuh kesadaran karena sering kali masih lupa kalau tekukan kaki saya sudah cukup bisa untuk berjalan (walau belum bisa jongkok/duduk bersila). Jadi, tidak perlu lurus lagi kaki kanannya, sudah bisa ditekuk saat berjalan. Namun, gerakannya kaku, seperti robot. Masih perlu didikte otak untuk melangkah normal.

Saya merasa belajar jalan dari awal lagi. Saya jadi benar-benar memperhatikan bagaimana bentuk kaki seharusnya dalam aktivitas berjalan. Lagi-lagi, hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Mari bersyukur

(Dalam rangka bersyukur sambil mengajak kamu—yang juga baca tulisan ini.) Jika saat ini badan kamu baik-baik saja, tidak ada rasa sakit sama sekali. Jika lututmu bisa ditekuk sempurna dan tidak nyeri. Jika kamu bisa duduk, berjalan, masuk mobil, naik tangga, dengan nyaman dan normal. BERSYUKURLAH! Sungguh, itu nikmat yang luar biasa.

Gumaman syukur saya lainnya bisa dibaca di sini dan di sini.

Terima kasih banyak

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih Pe, Ibu dan Bapak Kos, para orang baik yang menolong kami, para yang mengobati luka, para tetangga kamar, para teman Pe, para orang baik yang saya temui saat melihat dunia kembali, dan para-para lainnya. O iya! Terima kasih kloset duduk, tanpamu saya merana! (Alhamdulillah kloset di indekos itu kloset duduk, bukan jongkok.)

...

...

 

Fun fact:

Pe menyaksikan tabung elpiji yang menggelinding itu berhenti dalam posisi berdiri. Wow, keren!

 

Not so fun fact:

Kata Bapak Kos, setelah insiden jatuhnya kami, ada beberapa orang yang juga jatuh di lokasi yang sama. Bahkan sebelum kami jatuh, ada orang yang jatuh di sana dan meninggal. Saya dan Pe terpekik ngeri. Namun, sayang kami tidak bisa bertanya lebih detail, karena waat itu Bapak Kos sedang sibuk mengepel kos-kosan yang kemasukan air—saya tidak menyebutnya banjir, karena memang bukan banjir.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo