Jumat, 08 September 2017

Kerusuhan Nonton Film Jembatan Pensil




Jembatan Pensil. Sebuah film yang berlokasikan di Pulau Muna. Sudah, gitu aja penjelasannya. Kali ini saya nonton bersama salah satu sahabat saya, namanya Wa Ode Titi Ismawati. Saya merasa wajib menonton film ini karena ada rasa kedekatan antara saya dan lokasi film itu dibuat. Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, tempat lahir saya, rumah saya, kampung halaman saya, saya tumbuh besar di sana, sekolah dari TK sampai SMA juga di sana. Bagaimana reaksi saya menonton film ini? Rusuh!

Biasanya saya tidak suka nonton di bioskop karena banyak penonton lain yang ribut mengobrol sana sini. Kali ini kebalikannya, kami berdua yang ribut. Bodo amat. Berikut kisaran percakapan kami berdua:
“Tuh, kan, di Meleura .…”
“Towea itu di mana?”
Sejauh ini saya yang sibuk bertanya tentang ini itu pada sahabat saya, karena dia yang lebih tahu, Muna a-se-li.
“Logatnya, kok .…’
“Logatnya .…”
Nyaris berbarengan kami berucap. Saya sangat menghargai para aktor dan aktrisnya yang berusaha menggunakan logat lokal di sana, tetapi tetap saja ada sisi-sisi yang kurang klop (menurut kami).
“Ini kayak Munanya Kambara!” celetuk Wati yang diikuti gelak tawaku, membenarkan. Maksudnya adalah logat Muna yang sudah bercampur dengan suku Jawa, Bugis, Bali, Bajo … seperti di daerah Kambara :D
Kami menyayangkan percakapan yang kurang kental Munanya. “Kayaknya tidak ada yang pakai ‘kune’ dan ‘bela’ ...,” Wati berkomentar.
“Aiih … pakai sandal di dalam rumah!” protes Wati.
“Harusnya panggil Idha dan Ama, biar Muna.” Masih kata Wati. Saya mengangguk-angguk kencang.
“Nah, ini baru Muna!” seru Wati pada pemeran peternak sapi. Saya tak kuasa menahan tawa. Memang ada beberapa pemeran yang asli Muna kok, kelihatan banget bedanya.
“Loh! Menyeberangnya di Kali Sangia, sekolahnya di Towea??” Saya lupa siapa yang pertama kali membahas ini, yang pasti karena hal inilah kami tak henti-hentinya tertawa bahkan ketika di perjalanan pulang. Jauh bangeeett! (Penjelasan di bawah)
Beraninya anak-anak itu, padahal di sana banyak buaya, celetuk Wati.

“Ada goa terapung di dekat Meleura,” kata Wati.
“Bagian mananya?” Saya memang hanya pernah ke dermaganya saja.
“Sebelah sini-sininya .…” Wati mengibas-ngibaskan tangannya dan saya mengangguk sambil ber-oh panjang.
“Layang-layang itu namanya Ka … Ka … apa pi lagi Wati?” Saya tak sengaja lupa.
“Kolope,” jawabnya.
“Ah, ya, Kolope!”
“Hahaha, harusnya penyebutannya ka-gha-ti, bukan kagati.” Wati mengoreksi seolah-olah La Ondeng mendengarnya.
“Ah, ya, Kaghaaati Kolope.” Saya menyebut ‘gha’ dengan jelas dan dipanjang-panjangkan.
“Perahunya bagus sekaliii!” Saya tidak tahan untuk meremas lengan Wati, gemas melihat miniatur perahu.
“Itu pakai nentu, kayak dari nena …” kalimatnya tak selesai, Wati tampak berpikir keras, seperti ada yang terlupa. Tinggallah saya yang menganga.
“Maksudnya ‘nentu kayak dari nena’ itu apa?”
“Itu … yang semacam tali … kamu pernah lihat Idhaku bikin atap?”
“Mungkin iya, saya paham dengan bentuk atap yang kamu maksud, tapi nentu dan nena itu apa?” Saya gemas sendiri. Sedangkan Wati tak bisa menjelaskan. Pembahasan ini berakhir tanpa titik terang.
“Itu toko roti di bagian mana, ya?” Saya bertanya-tanya pada saat adegan di toko roti Raha. “Ah … jarang mi sa ke Raha pale .…” Saya menjawab sendiri.
“Ah … itu bikin katumbu!” seru Wati. Saya paham karena saya juga mengenal makanan itu.
“Nama tempatnya itu apa?” tanyaku.
“Katumbu. Penumbuknya itu namanya anak katumbu.”
“Oooh … jadi katumbu itu sebenarnya nama alatnya?” Saya paham lagi.
“Wiih … ada lapa-lapa juga!” Sesekali kami masih berseru.
Hingga tiba pada saat Ondeng meninggal, kami fokus membaca tulisan di kayu patokannya. Karena mata saya tak jelas melihat, jadilah saya mendengarkan Wati yang membaca. “Lahir di Meleura, tapi meninggalnya di Napabale?” Wati bertanya-tanya.
“Bukannya dia meninggal di Meleura, ya? Hanya saja dikelilingkan dulu sampai di Napabale.” Wkwkwk kami kompak tertawa.
Di akhir, pada saat pembuatan jembatan pensil, Wati berseru lagi, “Orang-orang Banpres semua itu!” candanya membuat saya tertawa juga.

Intinya … film ini sangat menghibur. Keren. Cakep. Dan … pembahasan tentang “jembatannya di Banpres, sekolahnya di Towea!” tak pernah usai kami tertawakan, lucu. Saya bangga sekali, ada film lagi yang mengenalkan daerah-daerah di Pulau Muna, sampai pada budaya-budayanya. Ah, makin keren saja Munaku tercinta, jadi enggak sabar menunggu tahun depan :)

Note: Tempat menyeberang anak-anak itu bernama Kali Sangia (kami menyebutnya begitu) di daerah yang namanya Banpres (Bantuan Presiden), letaknya di Kabupaten Muna Barat masih ke sana-sananya lagi desaku. Sedangkan sekolahnya di Towea, bagian Raha, Kabupaten Muna. Lokasi Meleura juga di dekat-dekat sana, di Muna. Beda kabupaten. Jauuuh!! Hahaha .…

Note lagi: Maaf kalau adegan pembahasan pada percakapan di atas terbalik-balik susunannya dengan alur cerita di film, namanya juga cuma berdasarkan apa yang saya ingat, saya tidak mencatat.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo