Jembatan Pensil. Sebuah
film yang berlokasikan di Pulau Muna. Sudah, gitu aja penjelasannya. Kali ini
saya nonton bersama salah satu sahabat saya, namanya Wa Ode Titi Ismawati. Saya
merasa wajib menonton film ini karena ada rasa kedekatan antara saya dan lokasi
film itu dibuat. Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, tempat lahir saya, rumah saya, kampung
halaman saya, saya tumbuh besar di sana, sekolah dari TK sampai SMA juga di
sana. Bagaimana reaksi saya menonton film ini? Rusuh!
Biasanya saya tidak
suka nonton di bioskop karena banyak penonton lain yang ribut mengobrol sana sini.
Kali ini kebalikannya, kami berdua yang ribut. Bodo amat. Berikut kisaran
percakapan kami berdua:
“Tuh,
kan, di Meleura .…”
“Towea
itu di mana?”
Sejauh ini saya yang
sibuk bertanya tentang ini itu pada sahabat saya, karena dia yang lebih tahu, Muna a-se-li.
“Logatnya,
kok .…’
“Logatnya .…”
Nyaris berbarengan kami
berucap. Saya sangat menghargai para aktor dan aktrisnya yang berusaha menggunakan
logat lokal di sana, tetapi tetap saja ada sisi-sisi yang kurang klop (menurut
kami).
“Ini
kayak Munanya Kambara!” celetuk Wati yang diikuti gelak
tawaku, membenarkan. Maksudnya adalah logat Muna yang sudah bercampur dengan
suku Jawa, Bugis, Bali, Bajo … seperti di daerah Kambara :D
Kami menyayangkan
percakapan yang kurang kental Munanya. “Kayaknya
tidak ada yang pakai ‘kune’ dan ‘bela’ ...,” Wati berkomentar.
“Aiih …
pakai sandal di dalam rumah!” protes Wati.
“Harusnya
panggil Idha dan Ama, biar Muna.” Masih kata Wati. Saya mengangguk-angguk kencang.
“Nah,
ini baru Muna!” seru Wati pada pemeran peternak
sapi. Saya tak kuasa menahan tawa. Memang ada beberapa pemeran yang asli Muna kok, kelihatan banget bedanya.
“Loh!
Menyeberangnya di Kali Sangia, sekolahnya di Towea??” Saya lupa siapa yang pertama kali membahas ini, yang pasti karena hal inilah kami
tak henti-hentinya tertawa bahkan ketika di perjalanan pulang. Jauh bangeeett! (Penjelasan di bawah)
“Beraninya anak-anak itu, padahal di sana banyak buaya,” celetuk Wati.
“Beraninya anak-anak itu, padahal di sana banyak buaya,” celetuk Wati.
“Ada
goa terapung di dekat Meleura,” kata Wati.
“Bagian
mananya?” Saya memang hanya pernah ke dermaganya saja.
“Sebelah
sini-sininya .…” Wati mengibas-ngibaskan tangannya dan saya mengangguk sambil ber-oh panjang.
“Layang-layang
itu namanya Ka … Ka … apa pi lagi Wati?” Saya tak sengaja lupa.
“Kolope,” jawabnya.
“Ah,
ya, Kolope!”
“Hahaha,
harusnya penyebutannya ka-gha-ti, bukan kagati.”
Wati mengoreksi seolah-olah La Ondeng mendengarnya.
“Ah,
ya, Kaghaaati Kolope.” Saya menyebut ‘gha’ dengan jelas
dan dipanjang-panjangkan.
“Perahunya
bagus sekaliii!” Saya tidak tahan untuk meremas lengan
Wati, gemas melihat miniatur perahu.
“Itu
pakai nentu, kayak dari nena …” kalimatnya tak
selesai, Wati tampak berpikir keras, seperti ada yang terlupa. Tinggallah saya
yang menganga.
“Maksudnya
‘nentu kayak dari nena’ itu apa?”
“Itu …
yang semacam tali … kamu pernah lihat Idhaku bikin atap?”
“Mungkin
iya, saya paham dengan bentuk atap yang kamu maksud, tapi nentu dan nena itu
apa?” Saya gemas sendiri. Sedangkan Wati tak bisa
menjelaskan. Pembahasan ini berakhir tanpa titik terang.
“Itu
toko roti di bagian mana, ya?” Saya bertanya-tanya
pada saat adegan di toko roti Raha. “Ah …
jarang mi sa ke Raha pale .…” Saya menjawab sendiri.
“Ah …
itu bikin katumbu!” seru Wati. Saya paham karena saya juga
mengenal makanan itu.
“Nama
tempatnya itu apa?” tanyaku.
“Katumbu.
Penumbuknya itu namanya anak katumbu.”
“Oooh …
jadi katumbu itu sebenarnya nama alatnya?” Saya paham lagi.
“Wiih …
ada lapa-lapa juga!” Sesekali kami masih berseru.
Hingga tiba pada saat
Ondeng meninggal, kami fokus membaca tulisan di kayu patokannya. Karena mata
saya tak jelas melihat, jadilah saya mendengarkan Wati yang membaca. “Lahir di Meleura, tapi meninggalnya di
Napabale?” Wati bertanya-tanya.
“Bukannya
dia meninggal di Meleura, ya? Hanya saja dikelilingkan dulu sampai di Napabale.” Wkwkwk kami kompak tertawa.
Di akhir, pada saat
pembuatan jembatan pensil, Wati berseru lagi, “Orang-orang Banpres semua itu!” candanya membuat saya tertawa juga.
Intinya … film ini
sangat menghibur. Keren. Cakep. Dan … pembahasan tentang “jembatannya di Banpres, sekolahnya di Towea!” tak pernah usai kami
tertawakan, lucu. Saya bangga sekali, ada film lagi yang mengenalkan
daerah-daerah di Pulau Muna, sampai pada budaya-budayanya. Ah, makin keren saja
Munaku tercinta, jadi enggak sabar menunggu tahun depan :)
Note: Tempat
menyeberang anak-anak itu bernama Kali Sangia (kami menyebutnya begitu) di daerah yang namanya Banpres
(Bantuan Presiden), letaknya di Kabupaten Muna Barat masih ke sana-sananya lagi desaku.
Sedangkan sekolahnya di Towea, bagian Raha, Kabupaten Muna. Lokasi Meleura juga di
dekat-dekat sana, di Muna. Beda kabupaten. Jauuuh!! Hahaha .…
Note lagi: Maaf kalau adegan
pembahasan pada percakapan di atas terbalik-balik susunannya dengan alur cerita
di film, namanya juga cuma berdasarkan apa yang saya ingat, saya tidak
mencatat.
0 komentar:
Posting Komentar