Awal Oktober 2017 lalu saya
berencana membuat tulisan tentang Kedai Kopi Favorit di Kendari sebagai
perayaan berpisahnya saya dengan kota itu. Sebenarnya tulisan itu sudah hampir
rampung, tetapi saya urung untuk menyelesaikan dan memublikasikannya. Setelah beberapa
bulan berlalu, saya menemukan kesadaran-kesadaran baru. Akhirnya saya mengganti
tulisan itu dengan tulisan yang sekarang ini bisa kita baca bersama.
Kalau ditanya kedai favoritku
yang mana? Saya bisa jawab, tetapi sepertinya jawaban itu berkala, alias
musiman. Tergantung di mana saya berada dan kapan waktunya? Seperti pada saat
awal Oktober lalu di Kendari ada tiga kedai kopi yang menjadi favoritku. Namun sekarang? (Jika saja saya masih di Kendari) rasa-rasanya ada yang gugur dan
tergantikan dengan kedai kopi lain.
Kenapa begitu?
Karena, sekarang saya semakin
menyadari bahwa kedai yang idaman, yang nyaman, yang ada spot foto
instagramable, sudah menjadi urusan kesekian. Yang lebih utama adalah siapa
baristanya? Siapa saja yang bekerja di sana? Lupakan tipe-tipe kedai kopi
idaman, yang harus cocok buat me time lah, yang nyaman untuk menulis
lah, yang sofanya sesuai seleraku lah. Ketika saya sudah cocok dengan para
pekerjanya, maka semua akan baik-baik saja, kan? Sudah pasti nyaman dan asyik,
walaupun ada saja satu dua tipeku yang gugur. Tidak akan jadi masalah.Namun tidak bisa dipungkiri ya, kita walaupun sama-sama pencinta kopi punya kedai favorit yang berbeda-beda. Tergantung selera, kenyamanan, dan rasa percaya. Kenapa rasa percaya? Ya, terkadang kita perlu percaya bahwa di tempat itulah yang paling bagus atau nyaman, percaya bahwa baristanya akan menyeduhkan kopi terenak, semacam menyugesti diri bahwa kedai itulah yang terbaik. Ya, ini terkadang perlu, terkadang enggak, sih.
Saya punya pengalaman baru di kota
tempat saya tinggal untuk sementara sekarang ini. Kedai kopi pertama yang saya
kunjungi, tentunya yang seperti kita bersama (mungkin) tahu, kedai kopi yang
cukup tersohor namanya. Namun, kok, saya merasa biasa-biasa saja? Justru saya
merasa sial, karena saya tidak bisa mencicipi V60. Untung saja waktu itu
saya tidak datang sendirian, jadi setidaknya ada teman mengobrol. Kalau tidak?
Saya akan merasa … krik krik krik … hanya pesan kopi lalu duduk sendirian, saya
akan seperti makhluk luar angkasa, alien, yang teronggok di pojokan, terabaikan
oleh siapa pun. Mengerikan sekali. Saya berpikir dua kali untuk berkunjung
sendirian ke sana. Kecuali kalau saya memang lagi korslet.
Kedai kopi berikutnya yang saya
kunjungi berasal dari pencarian iseng di Google. Tidak muluk-muluk, tidak
berdasarkan yang terbaik atau teridaman, tetapi yang terdekat, cukup. Kunjungan
pertama saya tidak sendirian. Kami disambut baik di sana. Saya memesan, “Pesan
V60 satu.”
“Mau yang bagaimana? Yang …”
“Terserah,” saya buru-buru
menyerobot. Dia lalu mengerutan kening, semoga dia tidak membatin, Dasar
perempuan!
“Kalau terserah, saya jadi bingung
mau bikinnya yang bagaimana, Mbak bisa request …”
“Gak apa-apa, terserah Mas saja mau
buatkan saya yang bagaimana, yaa …,” saya menyerobot lagi.
Akhirnya dia sepakat. Begitu dia
mengantarkan kopiku, dia berkata lagi. “Silakan dicoba dulu, sesuai apa nggak.
Mbaknya nggak mau bilang yang bagaimana, sih,” ujarnya sambil bercanda.
“Iya, ini saja, gak apa-apa.”
“Serius nggak apa-apa? Yakin?” Dia
ragu.
“Iya, Mas. Terima kasih, ya.” Dalam
hati saya tertawa, dia belum terbiasa dengan saya.
Kunjungan kedua. Saya datang
sendirian di hari Senin. Karena, pertama, saya memang ingin menulis di sana.
Kedua, karena saya pengangguran. Yang menerima pesananku adalah barista yang
berbeda dari kunjungan pertama. Dia juga mengerutkan kening saat saya bilang
“terserah”, dia lalu menunjukkan dua jenis biji kopi yang paling recommended
sambil menjelaskan sedikit – dan saya enggak menyimak sama sekali – lalu
menyilakan saya untuk memilih. Baiklah … saya yang menyerah dan saya memilih
dengan asal tunjuk.
Ketika hendak pulang, saya
mengembalikan folpen yang saya pinjam – di awal saya meminjam folpen sama
barista yang terima pesanan kopi, karena lupa bawa. Ternyata barista yang saya
temui di kunjungan pertama yang menerima, “Kok tumben datang sendiri, biasanya
sama temen,” ujarnya.
Saya sebenarnya bisa langsung
menjawab, hanya saja saya lebih memilih bengong dua detik untuk meratapi
kekaguman saya padanya. Bagaimana tidak? Ini kunjungan kedua saya dan saya sudah
dikatai “tumben” dan “biasanya”?! Woooaa.
Kunjungan ketiga. Baristanya beda
lagi. Seperti biasa, setelah saya bilang “terserah” dia mengerutkan kening.
“Yang asem banget mau nggak?”
“Ya, tentu,” ujarku mantap.
Singkat cerita, pada saat saya
hendak pulang. Di depan kedai sambil menunggu ojek online, saya disapa oleh bapak tukang
parkir. Kurang lebih seperti ini, “Mbaknya kok sering datang ke sini, emang
suka banget kopi, ya?”
“Hehehe, ya begitulah, Pak.” Saya
mesem-mesem, belum menyadari keganjilan. Detik berikutnya saya berpikir, “Kok Bapak tahu?!” sambil menunjukkan ekspresi yang rusuh.
“Ya tahu lah, biasanya Mbak duduk di
situ, terus tadi duduk di situ …,” bapak itu menunjuk dengan dagunya.
Saya menatapnya dengan kagum. “Kok
datangnya sendirian terus, nggak sama temen atau sama pacar …?” tanyanya lagi.
“Ah … belum punya temen di sini, Pak,
hehe.” Dan percakapan berlanjut bla bla bla sampai ojeknya datang.
Karena saya tipe orang yang jatuh
cinta pada kunjungan pertama, makanya selalu kembali ke kedai ini. Toh, enggak
jauh dari kediaman. Di sini memang enggak ada sofa idaman saya, tetapi saya nyaman.
Bukankah itu yang penting?
Jadi … satu hal yang utama tentang kedai ini adalah walaupun saya datang sendiri, duduk sendiri, minum kopi sendiri, tetapi saya enggak merasa jadi alien. Saya merasa ini ‘rumah’, di mana orang-orangnya peduli dengan saya – tanpa perlu tahu nama dan tanpa ditunjukkan secara nyata.
Jadi … satu hal yang utama tentang kedai ini adalah walaupun saya datang sendiri, duduk sendiri, minum kopi sendiri, tetapi saya enggak merasa jadi alien. Saya merasa ini ‘rumah’, di mana orang-orangnya peduli dengan saya – tanpa perlu tahu nama dan tanpa ditunjukkan secara nyata.
“Asal nggak minta duit aja, Mbak,”
kata seorang barista ketika saya bertanya “Saya boleh duduk lama di sini?” lalu
diikuti dengan terkekeh berjemaah.
Kesimpulan dari panjangnya tulisan
ini - yang (mungkin) bisa jadi catatan buat para pekerja di kedai kopi - yaitu:
costumer itu pengin diperhatiin. Sekian.
NB: Saya jadi berpikir, kapan ya di
sini ada yang menerima pesanan kopi saya tanpa harus mengerutkan kening?
0 komentar:
Posting Komentar