Senin, 11 Desember 2017

Kedai Kopi Favoritku yang Mana?



Awal Oktober 2017 lalu saya berencana membuat tulisan tentang Kedai Kopi Favorit di Kendari sebagai perayaan berpisahnya saya dengan kota itu. Sebenarnya tulisan itu sudah hampir rampung, tetapi saya urung untuk menyelesaikan dan memublikasikannya. Setelah beberapa bulan berlalu, saya menemukan kesadaran-kesadaran baru. Akhirnya saya mengganti tulisan itu dengan tulisan yang sekarang ini bisa kita baca bersama.

Kalau ditanya kedai favoritku yang mana? Saya bisa jawab, tetapi sepertinya jawaban itu berkala, alias musiman. Tergantung di mana saya berada dan kapan waktunya? Seperti pada saat awal Oktober lalu di Kendari ada tiga kedai kopi yang menjadi favoritku. Namun sekarang? (Jika saja saya masih di Kendari) rasa-rasanya ada yang gugur dan tergantikan dengan kedai kopi lain.

Kenapa begitu?
Karena, sekarang saya semakin menyadari bahwa kedai yang idaman, yang nyaman, yang ada spot foto instagramable, sudah menjadi urusan kesekian. Yang lebih utama adalah siapa baristanya? Siapa saja yang bekerja di sana? Lupakan tipe-tipe kedai kopi idaman, yang harus cocok buat me time lah, yang nyaman untuk menulis lah, yang sofanya sesuai seleraku lah. Ketika saya sudah cocok dengan para pekerjanya, maka semua akan baik-baik saja, kan? Sudah pasti nyaman dan asyik, walaupun ada saja satu dua tipeku yang gugur. Tidak akan jadi masalah.

Namun tidak bisa dipungkiri ya, kita walaupun sama-sama pencinta kopi punya kedai favorit yang berbeda-beda. Tergantung selera, kenyamanan, dan rasa percaya. Kenapa rasa percaya? Ya, terkadang kita perlu percaya bahwa di tempat itulah yang paling bagus atau nyaman, percaya bahwa baristanya akan menyeduhkan kopi terenak, semacam menyugesti diri bahwa kedai itulah yang terbaik. Ya, ini terkadang perlu, terkadang enggak, sih.


Saya punya pengalaman baru di kota tempat saya tinggal untuk sementara sekarang ini. Kedai kopi pertama yang saya kunjungi, tentunya yang seperti kita bersama (mungkin) tahu, kedai kopi yang cukup tersohor namanya. Namun, kok, saya merasa biasa-biasa saja? Justru saya merasa sial, karena saya tidak bisa mencicipi V60. Untung saja waktu itu saya tidak datang sendirian, jadi setidaknya ada teman mengobrol. Kalau tidak? Saya akan merasa … krik krik krik … hanya pesan kopi lalu duduk sendirian, saya akan seperti makhluk luar angkasa, alien, yang teronggok di pojokan, terabaikan oleh siapa pun. Mengerikan sekali. Saya berpikir dua kali untuk berkunjung sendirian ke sana. Kecuali kalau saya memang lagi korslet.

Kedai kopi berikutnya yang saya kunjungi berasal dari pencarian iseng di Google. Tidak muluk-muluk, tidak berdasarkan yang terbaik atau teridaman, tetapi yang terdekat, cukup. Kunjungan pertama saya tidak sendirian. Kami disambut baik di sana. Saya memesan, “Pesan V60 satu.”

“Mau yang bagaimana? Yang …”

“Terserah,” saya buru-buru menyerobot. Dia lalu mengerutan kening, semoga dia tidak membatin, Dasar perempuan!

“Kalau terserah, saya jadi bingung mau bikinnya yang bagaimana, Mbak bisa request …”

“Gak apa-apa, terserah Mas saja mau buatkan saya yang bagaimana, yaa …,” saya menyerobot lagi.

Akhirnya dia sepakat. Begitu dia mengantarkan kopiku, dia berkata lagi. “Silakan dicoba dulu, sesuai apa nggak. Mbaknya nggak mau bilang yang bagaimana, sih,” ujarnya sambil bercanda.

“Iya, ini saja, gak apa-apa.”

“Serius nggak apa-apa? Yakin?” Dia ragu.

“Iya, Mas. Terima kasih, ya.” Dalam hati saya tertawa, dia belum terbiasa dengan saya.

Kunjungan kedua. Saya datang sendirian di hari Senin. Karena, pertama, saya memang ingin menulis di sana. Kedua, karena saya pengangguran. Yang menerima pesananku adalah barista yang berbeda dari kunjungan pertama. Dia juga mengerutkan kening saat saya bilang “terserah”, dia lalu menunjukkan dua jenis biji kopi yang paling recommended sambil menjelaskan sedikit – dan saya enggak menyimak sama sekali – lalu menyilakan saya untuk memilih. Baiklah … saya yang menyerah dan saya memilih dengan asal tunjuk.

Ketika hendak pulang, saya mengembalikan folpen yang saya pinjam – di awal saya meminjam folpen sama barista yang terima pesanan kopi, karena lupa bawa. Ternyata barista yang saya temui di kunjungan pertama yang menerima, “Kok tumben datang sendiri, biasanya sama temen,” ujarnya.

Saya sebenarnya bisa langsung menjawab, hanya saja saya lebih memilih bengong dua detik untuk meratapi kekaguman saya padanya. Bagaimana tidak? Ini kunjungan kedua saya dan saya sudah dikatai “tumben” dan “biasanya”?! Woooaa.

Kunjungan ketiga. Baristanya beda lagi. Seperti biasa, setelah saya bilang “terserah” dia mengerutkan kening. “Yang asem banget mau nggak?”

“Ya, tentu,” ujarku mantap.

Singkat cerita, pada saat saya hendak pulang. Di depan kedai sambil menunggu ojek online, saya disapa oleh bapak tukang parkir. Kurang lebih seperti ini, “Mbaknya kok sering datang ke sini, emang suka banget kopi, ya?”

“Hehehe, ya begitulah, Pak.” Saya mesem-mesem, belum menyadari keganjilan. Detik berikutnya saya berpikir, “Kok Bapak tahu?!” sambil menunjukkan ekspresi yang rusuh.

“Ya tahu lah, biasanya Mbak duduk di situ, terus tadi duduk di situ …,” bapak itu menunjuk dengan dagunya.

Saya menatapnya dengan kagum. “Kok datangnya sendirian terus, nggak sama temen atau sama pacar …?” tanyanya lagi.

“Ah … belum punya temen di sini, Pak, hehe.” Dan percakapan berlanjut bla bla bla sampai ojeknya datang.

Karena saya tipe orang yang jatuh cinta pada kunjungan pertama, makanya selalu kembali ke kedai ini. Toh, enggak jauh dari kediaman. Di sini memang enggak ada sofa idaman saya, tetapi saya nyaman. Bukankah itu yang penting?

Jadi … satu hal yang utama tentang kedai ini adalah walaupun saya datang sendiri, duduk sendiri, minum kopi sendiri, tetapi saya enggak merasa jadi alien. Saya merasa ini ‘rumah’, di mana orang-orangnya peduli dengan saya – tanpa perlu tahu nama dan tanpa ditunjukkan secara nyata.

“Asal nggak minta duit aja, Mbak,” kata seorang barista ketika saya bertanya “Saya boleh duduk lama di sini?” lalu diikuti dengan terkekeh berjemaah.

Kesimpulan dari panjangnya tulisan ini - yang (mungkin) bisa jadi catatan buat para pekerja di kedai kopi - yaitu: costumer itu pengin diperhatiin. Sekian.

NB: Saya jadi berpikir, kapan ya di sini ada yang menerima pesanan kopi saya tanpa harus mengerutkan kening?

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo