Jumat, 26 Juli 2019

Sebuah Awal Persahabatan


“Saya sama sekali tidak menduga persahabatan
yang saya jalani bermula seperti ini.”
– Eby Tabita.

Namanya Aisyah, siapa yang enggak kenal dia!? Banyak, sih. Kami kuliah di fakultas yang sama, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo. Hanya saja berbeda jurusan, dia Ilmu Administrasi, saya Ilmu Komunikasi. Ruang kuliah dia di lantai dasar, saya di lantai atas. Sejak awal perkuliahan―setahu saya―kita sudah saling tahu satu sama lain, hanya memang tidak pernah berkenalan resmi, hanya saling sapa seadanya saja jika bersisian di fakultas, itu pun karena kita punya teman yang sama (temannya juga temanku).

Waktu itu, rasanya ... siapa sih yang enggak tahu Aisyah? Mungkin saya berlebihan, tapi yaa ... kurang lebih begitu. Kenapa dia cukup dikenal? Karena dia orang Jawa! Saya juga Jawa, ya, memang. Tapi sudah terdampak naturalisasi lingkungan (((naturalisasi))). Saya seorang Jawa yang lahir dan tinggal di Sulawesi, jadi tidak terlalu “wah”. Beda dengan Aisyah, yang gerak-gerik dan tutur katanya Jawa banget; lemah lembut. Dan memang dia benar-benar datang dari Jawa.

Pada suatu ketika, di sore hari yang cerah, cuaca begitu indah, sekonyong-konyong Aisyah muncul di kos saya! Begini ceritanya. Saya seorang introver, yang malas dapat kejutan berupa hadirnya seseorang secara tiba-tiba alias mendadak alias tanpa pemberitahuan sebelumnya, entah teman, pacarnya teman, temannya teman, mantannya teman, apalagi orang tak dikenal. Di hari itu seorang teman sudah membuat janji akan datang karena ada perlu, saya mengiakan dan mempersiapkan diri.

Namanya Wulan, dia benar-benar datang sore itu. Dia mengetuk pintu dan memanggil nama saya. Saya membuka pintu dengan mantap penuh percaya diri karena tahu itu dia dan memang sudah ada janji temu. Yang tampak begitu pintu terbuka memang wujud penuh seorang Wulan. Saya segera mempersilakannya masuk. Wulan lalu menoleh ke sisi kirinya, bercakap sedikit dengan sosok tak terlihat―setidaknya dari posisiku―dan juga mempersilakan sosok itu untuk ikut masuk. Saya heran, dia ngomong sama siapa? Dan ... taraaa! Muncullah sosok tak terlihat itu sebagai seorang Aisyah. Saya terkejut, iya.

Kok bisa!? Itu yang saya pikirkan. Bukan karena heran tentang Wulan bersama Aisyah, karena saya tahu mereka juga sudah saling kenal. Tapi, saya heran, kok bisa dia ikut datang ke kos ini? Ada apa? Sudah cukup terkejut karena di luar ekspektasi―Wulan membawa orang lain tanpa bilang-bilang―ditambah orang itu adalah Aisyah.

Kemudian mereka masuk. Saya mempersilakan Aisyah untuk duduk di karpet, semata-mata karena sopan santun sebagai pemilik kediaman yang menyambut baik tamu baru. Kalau Wulan sih saya biarkan, enggak urus dia mau duduk di mana, wong ibaratnya dia seolah-olah pemilik kamar ini juga saking seringnya dia (dan kawan-kawan lain) bertandang ke kosan.
Seingat saya, Wulan tidak lama kemudian pamit pergi karena memang keperluannya dengan saya hanya sebentar (lupa tentang apa). Saya cukup panik. Ini berarti Aisyah masih (ter)tinggal di sini, dan apa yang harus saya perbincangkan?

Untungnya, kita berbincang dengan lancar dan saya merasa enggak ada tekanan berupa duh ngomong apa lagi nih ya? Obrolan berjalan normal dan lancar seperti kawan lama. Di tengah-tengah perbincangan itulah saya menyimpulkan sesuatu, oh ... anaknya ekspresif banget. Karena Aisyah itu kalau bercerita selalu diiringi dengan penggambaran kejadian, dia mempraktikkan suatu momen (sambil berdiri-berdiri), lengkap dengan ekspresinya. Sebagai introver yang anteng, saya cukup kagum dengan kepribadiannya yang baru saja perkenalan ini dimulai dia sudah seaktif itu.

Sebelum magrib tiba, Aisyah berpamitan. Ajaibnya, di saat perpisahan itu kami sudah mengatur janji hari di mana dia akan menginap di kosan saya! Sebuah apresiasi untuk diri ini yang bisa berlaku begitu ke orang baru. Saya pun terheran-heran.

Pada hari yang sudah ditentukan, Aisyah benar-benar datang untuk bermalam di kos saya. Saya menyambutnya dengan baik, seolah-olah hal itu sudah sangat ditunggu-tunggu. Malam hari itu kami mengikrarkan sebagai sahabat. Hebat, kan? Bilang iya saja! Seorang saya bisa berlaku begitu ke orang baru berarti itu benar-benar keajaiban. Kami merasa sangat cocok satu sama lain.

Sana sini kita saling bercerita. Sepanjang malam kita mengobrol dengan meledak-ledak. Sesekali kita istirahat untuk salat, makan, dan minum. Bersama Aisyah lah rekor saya mengobrol sampai jam 5 pagi! Obrolan yang terus berkelanjutan, begitu saya selesai membicarakan satu topik, langsung disambar oleh Aisyah. Begitu dia selesai, langsung saya sambar lagi. Maka tidak heran kalau kami ngos-ngosan.

Kami sadar diri waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi dan hari itu kami sama-sama ada kuliah pagi. Jadi kami sengaja (berusaha) membuat percakapan berhenti. Lalu kami salat Subuh dan memutuskan tidur sejenak, barang satu jam, sebelum siap-siap ngampus.
Sejak itulah kami ‘tak terpisahkan’. Layaknya persahabatan, kami sering menghabiskan waktu bersama, sambil memperkenalkan diri masing-masing lewat cerita-cerita yang dibagikan.


Itulah awal persahabatan kami. Pernah kami mereminisensi tentang awal mula persahabatan ini, Aisyah berceletuk “Kok bisa ya, dulu aku pede banget datang ke kosmu?”

“Tauk! Kamu, kan, emang gitu orangnya, kepedean.” Kami terbahak.

Omong-omong, sampai sekarang pun kalau kami ngobrol bisa panjang lebar berjam-jam. Entah membahas hal eksternal maupun internal yang berkaitan dengan diri kami. Padahal kami sudah bersahabat kurang lebih empat tahun, dan kalau ketemu pasti ngobrol. Tapi kok kayak belum habis-habis, ya, ceritanya? Masih ada saja hal-hal mengenai diri masing-masing yang belum diceritakan. Hm ....

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo