“Saya
sama sekali tidak menduga persahabatan
yang
saya jalani bermula seperti ini.”
–
Eby Tabita.
Namanya Aisyah, siapa yang
enggak kenal dia!? Banyak, sih. Kami kuliah di fakultas yang sama, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo. Hanya saja berbeda jurusan,
dia Ilmu Administrasi, saya Ilmu Komunikasi. Ruang kuliah dia di lantai dasar,
saya di lantai atas. Sejak awal perkuliahan―setahu saya―kita sudah saling tahu
satu sama lain, hanya memang tidak pernah berkenalan resmi, hanya saling sapa
seadanya saja jika bersisian di fakultas, itu pun karena kita punya teman yang
sama (temannya juga temanku).
Waktu itu, rasanya ... siapa
sih yang enggak tahu Aisyah? Mungkin saya berlebihan, tapi yaa ... kurang lebih
begitu. Kenapa dia cukup dikenal? Karena dia orang Jawa! Saya juga Jawa, ya,
memang. Tapi sudah terdampak naturalisasi lingkungan (((naturalisasi))). Saya
seorang Jawa yang lahir dan tinggal di Sulawesi, jadi tidak terlalu “wah”. Beda
dengan Aisyah, yang gerak-gerik dan tutur katanya Jawa banget; lemah lembut.
Dan memang dia benar-benar datang dari Jawa.
Pada suatu ketika, di sore hari
yang cerah, cuaca begitu indah, sekonyong-konyong Aisyah muncul di kos saya!
Begini ceritanya. Saya seorang introver, yang malas dapat kejutan berupa
hadirnya seseorang secara tiba-tiba alias mendadak alias tanpa pemberitahuan
sebelumnya, entah teman, pacarnya teman, temannya teman, mantannya teman,
apalagi orang tak dikenal. Di hari itu seorang teman sudah membuat janji akan datang
karena ada perlu, saya mengiakan dan mempersiapkan diri.
Namanya Wulan, dia
benar-benar datang sore itu. Dia mengetuk pintu dan memanggil nama saya. Saya
membuka pintu dengan mantap penuh percaya diri karena tahu itu dia dan memang
sudah ada janji temu. Yang tampak begitu pintu terbuka memang wujud penuh
seorang Wulan. Saya segera mempersilakannya masuk. Wulan lalu menoleh ke sisi
kirinya, bercakap sedikit dengan sosok tak terlihat―setidaknya dari posisiku―dan
juga mempersilakan sosok itu untuk ikut masuk. Saya heran, dia ngomong sama siapa? Dan ... taraaa! Muncullah sosok tak
terlihat itu sebagai seorang Aisyah. Saya terkejut, iya.
Kok bisa!?
Itu yang saya pikirkan. Bukan karena heran tentang Wulan bersama Aisyah, karena
saya tahu mereka juga sudah saling kenal. Tapi, saya heran, kok bisa dia ikut datang
ke kos ini? Ada apa? Sudah cukup terkejut karena di luar ekspektasi―Wulan
membawa orang lain tanpa bilang-bilang―ditambah orang itu adalah Aisyah.
Kemudian mereka masuk. Saya
mempersilakan Aisyah untuk duduk di karpet, semata-mata karena sopan santun
sebagai pemilik kediaman yang menyambut baik tamu baru. Kalau Wulan sih saya
biarkan, enggak urus dia mau duduk di mana, wong
ibaratnya dia seolah-olah pemilik kamar ini juga saking seringnya dia (dan kawan-kawan
lain) bertandang ke kosan.
Seingat saya, Wulan tidak
lama kemudian pamit pergi karena memang keperluannya dengan saya hanya sebentar
(lupa tentang apa). Saya cukup panik. Ini berarti Aisyah masih (ter)tinggal di sini,
dan apa yang harus saya perbincangkan?
Untungnya, kita berbincang
dengan lancar dan saya merasa enggak ada tekanan berupa duh ngomong apa lagi nih ya? Obrolan berjalan normal dan lancar
seperti kawan lama. Di tengah-tengah perbincangan itulah saya menyimpulkan
sesuatu, oh ... anaknya ekspresif banget.
Karena Aisyah itu kalau bercerita selalu diiringi dengan penggambaran kejadian,
dia mempraktikkan suatu momen (sambil berdiri-berdiri), lengkap dengan
ekspresinya. Sebagai introver yang anteng, saya cukup kagum dengan kepribadiannya
yang baru saja perkenalan ini dimulai dia sudah seaktif itu.
Sebelum magrib tiba, Aisyah
berpamitan. Ajaibnya, di saat perpisahan itu kami sudah mengatur janji hari di
mana dia akan menginap di kosan saya! Sebuah apresiasi untuk diri ini yang bisa
berlaku begitu ke orang baru. Saya pun terheran-heran.
Pada hari yang sudah
ditentukan, Aisyah benar-benar datang untuk bermalam di kos saya. Saya
menyambutnya dengan baik, seolah-olah hal itu sudah sangat ditunggu-tunggu.
Malam hari itu kami mengikrarkan sebagai sahabat. Hebat, kan? Bilang iya saja!
Seorang saya bisa berlaku begitu ke orang baru berarti itu benar-benar
keajaiban. Kami merasa sangat cocok satu sama lain.
Sana sini kita saling
bercerita. Sepanjang malam kita mengobrol dengan meledak-ledak. Sesekali kita
istirahat untuk salat, makan, dan minum. Bersama Aisyah lah rekor saya
mengobrol sampai jam 5 pagi! Obrolan yang terus berkelanjutan, begitu saya
selesai membicarakan satu topik, langsung disambar oleh Aisyah. Begitu dia
selesai, langsung saya sambar lagi. Maka tidak heran kalau kami ngos-ngosan.
Kami sadar diri waktu sudah
menunjukkan pukul 5 pagi dan hari itu kami sama-sama ada kuliah pagi. Jadi kami
sengaja (berusaha) membuat percakapan berhenti. Lalu kami salat Subuh dan
memutuskan tidur sejenak, barang satu jam, sebelum siap-siap ngampus.
Sejak itulah kami ‘tak
terpisahkan’. Layaknya persahabatan, kami sering menghabiskan waktu bersama,
sambil memperkenalkan diri masing-masing lewat cerita-cerita yang dibagikan.
…
…
Itulah awal persahabatan
kami. Pernah kami mereminisensi tentang awal mula persahabatan ini, Aisyah
berceletuk “Kok bisa ya, dulu aku pede banget datang ke kosmu?”
“Tauk! Kamu, kan, emang gitu
orangnya, kepedean.” Kami terbahak.
Omong-omong, sampai sekarang
pun kalau kami ngobrol bisa panjang lebar berjam-jam. Entah membahas hal
eksternal maupun internal yang berkaitan dengan diri kami. Padahal kami sudah
bersahabat kurang lebih empat tahun, dan kalau ketemu pasti ngobrol. Tapi kok
kayak belum habis-habis, ya, ceritanya? Masih ada saja hal-hal mengenai diri
masing-masing yang belum diceritakan. Hm ....
0 komentar:
Posting Komentar