![]() |
Namanya Lusi |
Waktu itu, saya sedang berkuliah di Kendari (lupa tahun berapa). Pada suatu libur semester, saya pulang ke rumah orang tua. Saat itulah Adik memberikan sebuah boneka mungil ke saya. Tentu saya heran, Adik punya boneka, dari mana? Katanya, boneka itu dia temukan di suatu tempat*.
Saya geleng-geleng
kepala. Oke, boneka temuan itu jadi milik saya lalu saya bawa ke Kendari.
Awalnya semua baik-baik saja. Boneka mungil itu bertempat di kasur dan sering
kali terabaikan eksistensinya karena ukurannya yang terlalu kecil. Sampai
kemudian di suatu malam, saya sedang sendirian di kamar indekos, dikejutkan
dengan bunyi aneh yang datang dari arah boneka itu. Bayangkan, malam hari sendirian
di sebuah kamar yang tenang, sebuah suara aneh tiba-tiba mengejutkanmu!
Jantung saya berdegup
kencang, saya sangat kaget. Otak saya berpikir cepat untuk menelaah situasi.
Apa yang terjadi? Suara apa itu? Bagaimana bisa? Saya harus apa? Ya, boneka itu
mengeluarkan suara dari sebuah mesin yang ada di perutnya. Yang harus saya
lakukan—dengan informasi kilat dari otak—adalah meraih boneka itu lalu mencoba
menekan bagian perutnya, barangkali begitu cara mematikan suara aneh itu.
Saya kemudian
memahami bahwa memang boneka ini adalah jenis boneka yang bisa mengeluarkan
musik saat perutnya dipencet dan akan berhenti dengan memencet kembali di
bagian yang sama. Saya tidak pernah menyadari sebelumnya. Tidak pernah detail
memeriksa tubuhnya, hanya asal saya miliki, bawa, dan simpan.
Kenapa saya
menyebutnya “suara aneh”? Karena memang aneh—cenderung mengerikan. Pertama,
karena suaranya yang serak, tersendat-sendat, seperti kaset rusak. Kedua, saya
sama sekali sedang tidak menyentuhnya, seperti yang saya sebutkan di atas,
sering kali eksistensi boneka mungil itu terabaikan. Bagaimana bisa dia
tiba-tiba berbunyi seperti itu jika cara kerjanya adalah harus memencet bagian
perutnya? Sekilas saya merasa takut akan hal gaib, boneka ini adalah barang
temuan yang tidak jelas asal-usulnya, bagaimana kalau “ada apa-apanya”?
Pemikiran tersebut
hanya sekilas saja, karena bagaimanapun juga saya punya akal dan bisa menelaah
sesuatu lebih dari satu sisi. Saya menyadari boneka ini bukan dimiliki dari
kondisi baru, entah bagaimana asal-usulnya boneka itu bisa berada di lokasi
Adik menemukannya, dibuang atau terjatuh. Dan karena bukan kondisi baru (bekas)
itulah jadi masuk akal kalau boneka itu sudah korsleting. Di waktu-waktu
tertentu bisa bunyi sendiri—tanpa ada yang menyentuhnya—dan suaranya sudah tidak
jernih karena baterai/mesinnya soak.
Walau saya punya
kesimpulan yang ilmiah, tetap saja saya merasa takut. Di momen-momen
berikutnya, beberapa kali boneka itu kembali bunyi sendiri dengan suara musik
yang aneh. Saya tidak bisa terbiasa dengan keadaan itu, masih selalu terkejut.
Suatu ketika, Adik, Ibu, dan Bapak mengunjungi saya di Kendari. Saya
menceritakan “kerusakan” boneka itu dan meminta Adik untuk kembali membawanya
pulang, saya tidak mau menyimpannya lebih lama lagi.
Sejak boneka itu
dibawa kembali oleh Adik, saya sudah tidak pernah memikirkannya sama sekali.
Hingga belakangan bahasan si boneka kembali terdengar. Saya akhirnya mengetahui
bahwa boneka itu sudah berpindah tangan (lagi). Begini ceritanya:
Adik membawanya
pulang. Beberapa waktu berlalu hingga seorang keponakan perempuan datang ke
rumah orang tua saya. Boneka mungil itu ditawarkan kepadanya dan anak itu mau.
Dibawalah boneka itu pulang. Namanya A, perempuan, usianya sekarang baru 5
tahun, masih TK. Beberapa hari lalu, saya dan Adik diundang ke rumah A untuk
makan ayam bakar bersama. Malam itu, A mengeluarkan semua boneka yang
dimilikinya, dengan riangnya dia “mengenalkan” satu per satu koleksi bonekanya
pada saya. Hebatnya, semua diberinya nama dan A ingat semua tanpa ada yang
tertukar. (FYI, bahkan kambing-kambing peliharaan bapaknya juga diberinya nama.)
Dari seluruh boneka
yang dikenalkannya, tidak ada yang saya ingat namanya. Ya iyalah, kenalan sama
orang baru saja saya sulit ingat namanya, apalagi boneka! Saya perhatikan satu per
satu, kok tidak ada boneka mungil itu? Bukankah katanya A yang menyimpannya
sejak beberapa tahun lalu? A tiba-tiba berseru, “Bulik, aku masih punya dua
boneka lagi, tapi kecil-kecil.” Ini dia! Saya penasaran, lalu memintanya untuk
mengeluarkan kedua boneka yang dimaksud itu.
Benar, boneka mungil
itu salah satunya. A mengenalkan, namanya adalah Lusi. Saya terkikik-kikik
sambil melirik ke Adik yang juga tertawa kecil. Di situlah saya mendapat cerita
lengkap, dari ibu dan bapak A (sepupu saya) serta nenek A (bude saya), rupanya A
sangat menyayangi boneka itu. Sejak awal menjadi miliknya, Lusi selalu dibawa
ke mana-mana, bahkan saat berkunjung ke rumah kerabat di berbagai kota.
Pernah dulu neneknya
A mencuci Lusi di mesin cuci, alhasil mata kirinya copot (dan hilang), A
menangis hebat. Hidungnya pun pernah copot, A menangis lagi, tetapi bapaknya
segera menempelkan kembali hidung itu.
Ibunya A juga membedah punggung Lusi untuk mengeluarkan mesin kecil di sana,
lalu menjahitnya kembali. Konon katanya, kalau tidur Lusi selalu diselipkan di
ketiak A, harus begitu! A tidak mau tidur kalau tidak ada Lusi. (Saya tertawa
saat diceritakan ini.)
A juga akan mengomel kalau
saat ia terbangun dari tidur dan tidak menemukan wujud Lusi. Maklum, ukurannya
yang kecil sering kali terlilit-lilit selimut dan tertindis bantal. A akan
heboh mengobrak-abrik kasur untuk menemukan Lusi, lalu mengomel “Kamu tuh
keluyuran terus!” (Saya masih tertawa.)
Begitulah “hidup” Lusi saat
ini. Dia menemukan tuan yang sangat menyayanginya. Walau tampak kucel, ada
jahitan di punggungnya, mata kiri yang hilang, mata kanan hampir copot, dan
hidung yang ditempel ulang, Lusi tetaplah boneka kesayangan kami semua. Hehe.
...
...
...
*Adik tidak ingat
sama sekali di mana dia menemukan boneka itu dan saya pun lupa jawaban dia saat
saya tanya pertama kali, jadi saya juga tidak bisa menceritakan di mana boneka
itu ditemukan.
0 komentar:
Posting Komentar