Selasa, 02 Juni 2020

Namanya Lusi


Namanya Lusi

Waktu itu, saya sedang berkuliah di Kendari (lupa tahun berapa). Pada suatu libur semester, saya pulang ke rumah orang tua. Saat itulah Adik memberikan sebuah boneka mungil ke saya. Tentu saya heran, Adik punya boneka, dari mana? Katanya, boneka itu dia temukan di suatu tempat*.

Saya geleng-geleng kepala. Oke, boneka temuan itu jadi milik saya lalu saya bawa ke Kendari. Awalnya semua baik-baik saja. Boneka mungil itu bertempat di kasur dan sering kali terabaikan eksistensinya karena ukurannya yang terlalu kecil. Sampai kemudian di suatu malam, saya sedang sendirian di kamar indekos, dikejutkan dengan bunyi aneh yang datang dari arah boneka itu. Bayangkan, malam hari sendirian di sebuah kamar yang tenang, sebuah suara aneh tiba-tiba mengejutkanmu!

Jantung saya berdegup kencang, saya sangat kaget. Otak saya berpikir cepat untuk menelaah situasi. Apa yang terjadi? Suara apa itu? Bagaimana bisa? Saya harus apa? Ya, boneka itu mengeluarkan suara dari sebuah mesin yang ada di perutnya. Yang harus saya lakukan—dengan informasi kilat dari otak—adalah meraih boneka itu lalu mencoba menekan bagian perutnya, barangkali begitu cara mematikan suara aneh itu.

Saya kemudian memahami bahwa memang boneka ini adalah jenis boneka yang bisa mengeluarkan musik saat perutnya dipencet dan akan berhenti dengan memencet kembali di bagian yang sama. Saya tidak pernah menyadari sebelumnya. Tidak pernah detail memeriksa tubuhnya, hanya asal saya miliki, bawa, dan simpan.

Kenapa saya menyebutnya “suara aneh”? Karena memang aneh—cenderung mengerikan. Pertama, karena suaranya yang serak, tersendat-sendat, seperti kaset rusak. Kedua, saya sama sekali sedang tidak menyentuhnya, seperti yang saya sebutkan di atas, sering kali eksistensi boneka mungil itu terabaikan. Bagaimana bisa dia tiba-tiba berbunyi seperti itu jika cara kerjanya adalah harus memencet bagian perutnya? Sekilas saya merasa takut akan hal gaib, boneka ini adalah barang temuan yang tidak jelas asal-usulnya, bagaimana kalau “ada apa-apanya”?

Pemikiran tersebut hanya sekilas saja, karena bagaimanapun juga saya punya akal dan bisa menelaah sesuatu lebih dari satu sisi. Saya menyadari boneka ini bukan dimiliki dari kondisi baru, entah bagaimana asal-usulnya boneka itu bisa berada di lokasi Adik menemukannya, dibuang atau terjatuh. Dan karena bukan kondisi baru (bekas) itulah jadi masuk akal kalau boneka itu sudah korsleting. Di waktu-waktu tertentu bisa bunyi sendiri—tanpa ada yang menyentuhnya—dan suaranya sudah tidak jernih karena baterai/mesinnya soak.

Walau saya punya kesimpulan yang ilmiah, tetap saja saya merasa takut. Di momen-momen berikutnya, beberapa kali boneka itu kembali bunyi sendiri dengan suara musik yang aneh. Saya tidak bisa terbiasa dengan keadaan itu, masih selalu terkejut. Suatu ketika, Adik, Ibu, dan Bapak mengunjungi saya di Kendari. Saya menceritakan “kerusakan” boneka itu dan meminta Adik untuk kembali membawanya pulang, saya tidak mau menyimpannya lebih lama lagi.

Sejak boneka itu dibawa kembali oleh Adik, saya sudah tidak pernah memikirkannya sama sekali. Hingga belakangan bahasan si boneka kembali terdengar. Saya akhirnya mengetahui bahwa boneka itu sudah berpindah tangan (lagi). Begini ceritanya:

Adik membawanya pulang. Beberapa waktu berlalu hingga seorang keponakan perempuan datang ke rumah orang tua saya. Boneka mungil itu ditawarkan kepadanya dan anak itu mau. Dibawalah boneka itu pulang. Namanya A, perempuan, usianya sekarang baru 5 tahun, masih TK. Beberapa hari lalu, saya dan Adik diundang ke rumah A untuk makan ayam bakar bersama. Malam itu, A mengeluarkan semua boneka yang dimilikinya, dengan riangnya dia “mengenalkan” satu per satu koleksi bonekanya pada saya. Hebatnya, semua diberinya nama dan A ingat semua tanpa ada yang tertukar. (FYI, bahkan kambing-kambing peliharaan bapaknya juga diberinya nama.)

Dari seluruh boneka yang dikenalkannya, tidak ada yang saya ingat namanya. Ya iyalah, kenalan sama orang baru saja saya sulit ingat namanya, apalagi boneka! Saya perhatikan satu per satu, kok tidak ada boneka mungil itu? Bukankah katanya A yang menyimpannya sejak beberapa tahun lalu? A tiba-tiba berseru, “Bulik, aku masih punya dua boneka lagi, tapi kecil-kecil.” Ini dia! Saya penasaran, lalu memintanya untuk mengeluarkan kedua boneka yang dimaksud itu.

Benar, boneka mungil itu salah satunya. A mengenalkan, namanya adalah Lusi. Saya terkikik-kikik sambil melirik ke Adik yang juga tertawa kecil. Di situlah saya mendapat cerita lengkap, dari ibu dan bapak A (sepupu saya) serta nenek A (bude saya), rupanya A sangat menyayangi boneka itu. Sejak awal menjadi miliknya, Lusi selalu dibawa ke mana-mana, bahkan saat berkunjung ke rumah kerabat di berbagai kota.

Pernah dulu neneknya A mencuci Lusi di mesin cuci, alhasil mata kirinya copot (dan hilang), A menangis hebat. Hidungnya pun pernah copot, A menangis lagi, tetapi bapaknya segera menempelkan kembali hidung itu. Ibunya A juga membedah punggung Lusi untuk mengeluarkan mesin kecil di sana, lalu menjahitnya kembali. Konon katanya, kalau tidur Lusi selalu diselipkan di ketiak A, harus begitu! A tidak mau tidur kalau tidak ada Lusi. (Saya tertawa saat diceritakan ini.)

A juga akan mengomel kalau saat ia terbangun dari tidur dan tidak menemukan wujud Lusi. Maklum, ukurannya yang kecil sering kali terlilit-lilit selimut dan tertindis bantal. A akan heboh mengobrak-abrik kasur untuk menemukan Lusi, lalu mengomel “Kamu tuh keluyuran terus!” (Saya masih tertawa.)

Begitulah “hidup” Lusi saat ini. Dia menemukan tuan yang sangat menyayanginya. Walau tampak kucel, ada jahitan di punggungnya, mata kiri yang hilang, mata kanan hampir copot, dan hidung yang ditempel ulang, Lusi tetaplah boneka kesayangan kami semua. Hehe.

...
...
...

*Adik tidak ingat sama sekali di mana dia menemukan boneka itu dan saya pun lupa jawaban dia saat saya tanya pertama kali, jadi saya juga tidak bisa menceritakan di mana boneka itu ditemukan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo