“Masuk aja dulu, nanti juga tau
betapa menyenangkannya sebuah perkenalan.”
(begitu yang tertulis di pintu masuknya*)
Sebenarnya bukan
ini yang saya maksud kedai-kopi-lima-langkah. Sebutan itu untuk kedai kopi yang
gedungnya juga milik ibu kos saya. Letaknya tidak jauh, hanya selisih beberapa
rumah dari indekos. Jalan kaki ke sana tidak sampai satu menit. Dulu, saya sangat
ingin berkunjung ke sana bersama teman sekamar saya. Namun, belum juga terwujud
bahkan sampai sekarang teman sekamar saya sudah pindah, tidak tinggal bersama
lagi.
Malam ini,
secara tidak terencana saya memilih untuk mampir ke kedai mungil ini. Ya,
mampir. Tadinya saya pergi ke toko elektronik untuk membeli
setrika-pertama-seumur-hidup-saya. Lalu pengin mampir, jadilah sekarang saya di
sini menuliskan ulasan ini.
Jadi begini,
tadinya saya datang dengan tangan kosong. Saya enggak bawa apa-apa selain
setrika baru, ponsel yang dayanya tinggal 20 persen, dompet, dan kunci kamar. Ponsel
saya tidak bisa diandalkan untuk membuat kesibukan, terus saya mau berbuat apa?
Saya lumayan merasa seperti alien di sini. Orang-orangnya milenial banget. Oke,
saya juga milenial, tetapi ya begitulah ... mereka usianya―saya yakin―di bawah
saya, dengan segala tingkah dan gaya kekiniannya. Sementara saya, hadir
sendirian dengan tampilan yang saya anggap lumayan rapi, tetapi tetap merasa
kucel.
Enggak patah
semangat, saya kekeh mau minum kopi di sini, enggak mau dibungkus. Saat
menunggu pesanan datang, saya sempat dihampiri seorang waitress-nya, dia menanyakan apakah pesanan saya akan diminum di
sini atau dibungkus? Saya menjawab dengan ramah dan tegas, saya minum di sini.
Saya memang enggak tahu, apa alasannya menanyakan itu. Hanya sekadar untuk
memastikan pesanan kah? Atau karena saya terkesan sendirian dan linglung
sementara yang lain datangnya rombongan, entah mau mabar atau nobar.
Yang saya pesan
adalah honey coffee. Harganya ramah
kantong banget. Hanya Rp10.800,00. Padahal, harga honey coffee yang tertera di papan menu adalah Rp12.000,00**, tetapi
saya enggak tanya kenapa, malas. Lumayan, saya seperti hanya mengeluarkan uang
Rp800,00 saja, karena sebelumnya harga setrika baru saya itu dapat potongan
sepuluh ribu. Nah, otak sensing saya
mulai ambil bagian, hehe. Poin plusnya, di sini enggak pakai sedotan plastik sekali
pakai, tetapi pakai sedotan stainless steel.
Poin minusnya,
musik di sini agak berisik, padahal sebenarnya lagu yang diputar cukup nyaman dan
aman, mungkin juga pengaruh dari ruangan yang kecil, berada di pinggir
jalan yang sudah pasti bising kendaraan, dan yang pada datang―anak-anak
milenial itu―ribut banget. Berikutnya, karena memang gedungnya minimalis,
kursi-kursinya engggak cukup nyaman buat kerja, ada yang sesuai sih, tetapi cuma beberapa.
Agak susah memang untuk fokus kerja di sini.
Tadinya saya
memilih duduk di luar, tetapi banyak nyamuk, lalu pindah ke dalam karena kayaknya
lebih nyaman. Setelah pindah itulah saya menemukan stop kontak di dekat kursi
saya. Lalu kepikiran untuk pulang dulu ambil laptop dan pengisi daya ponsel.
Saat kopi pesanan saya datang, saya memberi tahu waitress-nya bahwa saya akan meninggalkannya―minuman dan meja saya―sebentar.
Saya bergegas
pulang, seperti yang saya jelaskan, tidak butuh waktu lama karena sangat dekat.
Begitu saya kembali lagi, saya kecewa. Sejumlah orang yang tadinya duduk di
meja luar berpindah ke meja tempat saya duduk di dalam tadi. Jadilah saya ke
kasir hendak menanyakan keberadaan minuman saya. Sebelum saya bilang apa-apa,
baristanya sudah menyodorkan honey coffee
milik saya―tanpa penjelasan apa pun kenapa meja saya ditempati. Ya sudah lah ya―di
usia sekarang memang sering berpikir begitu terhadap banyak hal. Mereka yang
mengambil meja itu memang rombongan, sedangkan apalah daya saya yang datang
sendirian. Oke, biarkan saja.
Kesimpulannya, kedai
ini lumayan juga, tetapi untuk berikutnya saya kepengin coba datang sore saja.
Mungkin akan lebih tenang. Saya bersedia mengunjungi kedai ini lagi dengan
pertimbangan lokasi yang dekat, kecil, menunya banyak dan enak, juga harganya ramah.
Kalau ternyata datang sore lebih nyaman, kemungkinan besar berikut-berikutnya
saya akan datang sore saja.
Lumayan, ada
tempat nongkrong dekat indekos buat sesekali ‘terapi’ berada di sekitar manusia. Maklum,
pekerjaan saya membuat saya enggak ke mana-mana, semacam terisolasi. Ditambah
lagi di kota ini saya enggak punya teman―sama sekali. Saya ingin bahas tentang
keseharian saya di kota ini, tetapi nanti di tulisan lain saja.
Sebagai penutup,
sebenarnya saya berharap ada sapa hangat di sini. Saya termasuk orang yang kalau
ngopi penginnya bisa akrab sama barista, waiter/waitress,
pengin dikenal, pengin diingat, seperti para barista ini. Biar bisa menimbulkan kesan kedai kopi ini berasa rumah milik
sendiri. Pada akhirnya, tulisan yang tertera di pintu masuk itu tidak sesuai
dengan kenyataan di sana. Tapi ya gimana
ya, lihat nanti deh, setelah kunjungan yang kesekian kali. Mungkin karena orang-orangnya
kali ya, mereka masih bocah. Saya duga,
penyewa gedung ini―pemilik kedai―juga masih muda.
Menurut hemat
saya, kalau masih muda itu, pembawaannya beda. Bedalah ya sama yang sudah
seusia saya, walau usia enggak bisa jadi patokan juga sih. Tapi saya memang
sering berpikiran “ya wajar sih, umurnya masih segitu,” tiap kali saya
dihadapkan sama situasi-situasi yang enggak sesuai sama pikiran/pemahaman saya.
Begitu saja,
sekian. Perut saya mules! Harus segera pulang!
...
...
*demi keamanan
persembunyian saya, nama kedai kopi sengaja tidak disebutkan.
**setibanya saya
di kediaman, baru menemukan fakta bahwa di kertas notanya tertera potongan 10%
dalam rangka 10.10. Oalah, pantasan jadi Rp10.800,00.
0 komentar:
Posting Komentar