Kamis, 15 November 2018

Aku Tidak Ingin Menebak


Alasan-alasan apa pun itu.
Apa pun isi kepalanya.
Apa begini?
Apa begitu?
Atau mungkin ...
Enyahlah. Enyah!



“Es krimmu meleleh!” Sebuah suara menyadarkanku dari lamunan. Pandanganku meluruh ke tangan kanan dan baru menyadari dinginnya lelehan es krim yang sudah melumuri jari-jari.

“Ouh!” Aku segera menjilati es krimnya sebelum habis meleleh.

“Memikirkan apa kali ini?” Suara itu lagi.

Aku menoleh ke kanan, “Tumben bukan ayam.”

Bocah yang sedang menggambar di tanah itu menggumam, “Belakangan aku sedang memikirkan rumah.”

“Oh ... rumaaah ....” Pandanganku kembali menerawang jauh.

“Apa sih yang sedang mengganggumu?”

“Kenapa kamu penasaran sekali?!” Aku melirik sinis ke si bocah.

“Oh ayolah, sama siapa lagi kamu cerita kalau bukan padaku?” katanya enteng sambil masih mencoret-coret tanah.

“Kamu mengatakan itu seolah menegaskan bahwa aku menyedihkan―karena hanya punya kamu.” Aku juga dengan enteng mengatakannya masih sambil menjilati es krim. Si bocah cekikikan.

“Sepertinya maksud baikku sedang ditolak. Kau tau, kan, aku itu susah berteman. Sekalinya merasa cocok dengan seseorang, eh dianya gak mau. Berteman itu memang susah, ya,” kataku sambil memandang lurus ke depan.

“Emangnya orang itu sudah benar-benar menolak? Siapa tau cuma perasaanmu aja.”

“Belum sih, tapi aku merasa begitu. Yaaah ... siapa tau dia orang yang gak bisa menolak, jadi dia menyampaikannya secara tidak langsu―”

“Dengan cara yang halus alias bersikap baik padamu sekaligus membuat keadaan jadi menggantung, begitu maksudnya? Ha?” serobotnya dengan tegas.

“Ehe, jangan marah begitu.” Aku jadi merasa tidak enak mengacaukan emosi si bocah. “Entahlah, kamu ada benarnya.”

...

...

“Kalau memang benar begitu keadaannya, aku jadi merasa kasihan sekaligus sebal dengannya. Kasihan karena aku bisa membayangkan ada di posisinya, ketika merasa tidak tertarik pada seseorang dan bingung bagaimana cara menolak. Dan sebal karena ... kenapa sih dia gak jujur aja? Kenapa dia harus memilih cara yang semembingungkan itu? Menolak secara transparan tapi tetap dengan baik, kan lebih enak begitu. Lebih sehat! Ah, sudah, sudah! Aku tidak mau memikirkannya lagi.” Aku mengibas-ngibaskan tangan di udara.

“Kalau memang ternyata dia tidak peduli denganmu, menolakmu dengan cara seperti itu, apa kamu akan membencinya? Kamu tidak akan suka lagi padanya?”

Pandanganku menerawang. “Sebaiknya aku tidak membencinya. Ya, kan? Aku masih bisa menikmati karya-karyanya. Dia tidak sepenuhnya menyebalkan kok.” Aku tersenyum.

“Lagian nih ya, kalau memang benar dia menolakmu, toh ini bukan penolakan pertama yang kamu terima, kan ...?” kata si bocah dengan lebih riang.

“Betul. Sudah selama ini aku hidup, aneka ragam penolakan sudah terjadi. Tapi tetap saja rasanya nyeri.”

“Tapi, kan, kamu selalu bisa coba menyembuhkan diri.” Si bocah tersenyum. Aku lalu mengerling jahil padanya, tanda setuju.

 “Ngomong-ngomong ... aku kok gak kamu kasih es krim sih?” Bocah itu menatapku dengan memelas. Aku lalu memandang stik es krim yang sudah bersih di tanganku. Merasa bersalah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo