Alasan-alasan apa pun itu.
Apa pun isi kepalanya.
Apa begini?
Apa begitu?
Atau mungkin ...
Enyahlah. Enyah!
Apa pun isi kepalanya.
Apa begini?
Apa begitu?
Atau mungkin ...
Enyahlah. Enyah!
“Es krimmu
meleleh!” Sebuah suara menyadarkanku dari lamunan. Pandanganku meluruh ke
tangan kanan dan baru menyadari dinginnya lelehan es krim yang sudah melumuri
jari-jari.
“Ouh!” Aku
segera menjilati es krimnya sebelum habis meleleh.
“Memikirkan apa
kali ini?” Suara itu lagi.
Aku menoleh ke
kanan, “Tumben bukan ayam.”
Bocah yang
sedang menggambar di tanah itu menggumam, “Belakangan aku sedang memikirkan
rumah.”
“Oh ... rumaaah
....” Pandanganku kembali menerawang jauh.
“Apa sih yang
sedang mengganggumu?”
“Kenapa kamu
penasaran sekali?!” Aku melirik sinis ke si bocah.
“Oh ayolah, sama
siapa lagi kamu cerita kalau bukan padaku?” katanya enteng sambil masih
mencoret-coret tanah.
“Kamu mengatakan
itu seolah menegaskan bahwa aku menyedihkan―karena hanya punya kamu.” Aku juga
dengan enteng mengatakannya masih sambil menjilati es krim. Si bocah cekikikan.
“Sepertinya maksud
baikku sedang ditolak. Kau tau, kan, aku itu susah berteman. Sekalinya merasa
cocok dengan seseorang, eh dianya gak mau. Berteman
itu memang susah, ya,” kataku sambil memandang lurus ke depan.
“Emangnya orang
itu sudah benar-benar menolak? Siapa tau cuma perasaanmu aja.”
“Belum sih, tapi
aku merasa begitu. Yaaah ... siapa tau dia orang yang gak bisa menolak, jadi
dia menyampaikannya secara tidak langsu―”
“Dengan cara
yang halus alias bersikap baik padamu sekaligus membuat keadaan jadi
menggantung, begitu maksudnya? Ha?” serobotnya dengan tegas.
“Ehe, jangan
marah begitu.” Aku jadi merasa tidak enak mengacaukan emosi si bocah.
“Entahlah, kamu ada benarnya.”
...
...
“Kalau memang
benar begitu keadaannya, aku jadi merasa kasihan sekaligus sebal dengannya.
Kasihan karena aku bisa membayangkan ada di posisinya, ketika merasa tidak
tertarik pada seseorang dan bingung bagaimana cara menolak. Dan sebal karena
... kenapa sih dia gak jujur aja? Kenapa dia harus memilih cara yang
semembingungkan itu? Menolak secara transparan tapi tetap dengan baik, kan
lebih enak begitu. Lebih sehat! Ah, sudah, sudah! Aku tidak mau memikirkannya
lagi.” Aku mengibas-ngibaskan tangan di udara.
“Kalau memang
ternyata dia tidak peduli denganmu, menolakmu dengan cara seperti itu, apa kamu
akan membencinya? Kamu tidak akan suka lagi padanya?”
Pandanganku
menerawang. “Sebaiknya aku tidak membencinya. Ya, kan? Aku masih bisa menikmati
karya-karyanya. Dia tidak sepenuhnya menyebalkan kok.” Aku tersenyum.
“Lagian nih ya,
kalau memang benar dia menolakmu, toh ini bukan penolakan pertama yang kamu
terima, kan ...?” kata si bocah dengan lebih riang.
“Betul. Sudah
selama ini aku hidup, aneka ragam penolakan sudah terjadi. Tapi tetap saja
rasanya nyeri.”
“Tapi, kan, kamu
selalu bisa coba menyembuhkan diri.” Si bocah tersenyum. Aku lalu mengerling
jahil padanya, tanda setuju.
“Ngomong-ngomong ... aku kok gak kamu kasih es
krim sih?” Bocah itu menatapku dengan memelas. Aku lalu memandang stik es krim
yang sudah bersih di tanganku. Merasa bersalah.
0 komentar:
Posting Komentar