Kedengarannya
memang konyol kalau jatuh cinta via medsos. Kamu jatuh cinta pada seseorang pemilik
akun A, kamu follow dia, nge-like semua post-nya, nontonin story
dan live-nya. Tapi dia enggak
melakukan semua hal itu balik ke kamu. Dia ada di utara, kamu di timur. Enggak
nyambung dan enggak masuk akal bangetlah menurut banyak orang. Dan ya ...
memang itu konyol.
Setidaknya sudah
kedua kali saya mengalami hal itu. Dulu saya mengagumi seseorang yang pernah
saya ceritakan di sini. Awalnya saya
mengagumi pria itu sejak masih aktif Facebook-an, sampai akhirnya beralih ke
Instagram. Saya mengikuti semua yang dia bagikan di sana. Dan bersyukur, dia
mengikuti akun saya balik, juga terkadang mampir nge-love di beberapa foto yang saya unggah.
Saya kepedean?
Enggak. Tapi, sangat berbahagia. Tentu saya menyelipkan logika dalam peristiwa
itu. Enggak ada yang spesial hanya dari sebuah notifikasi ‘menyukai’ unggahan.
Itu hal yang sangat biasa yang bisa dilakukan dengan mudah oleh sejuta umat.
Sambil merem pun saya bisa mengklik love
pada semua unggahan yang muncul di beranda.
Sampai akhirnya
dia menikah. Saya sedih? Hmmm ... enggak juga. Lebih ke ... merasa miris kali
ya. Saya melewati suatu peristiwa yang sangat-sangat konyol. Bagaimana mungkin
saya mengharapkan dia ‘menyukai’ saya balik? Itu sangat sulit untuk dijangkau.
Jadi, waktu itu saya enggak menangis, saya membagikan emosi saya pada sahabat,
dan kita ngakak bareng. Si sahabat
saya itu malah mengejek-ejek saya, jadilah saya makin tertawa sedih tapi lucu,
konyol lah pokoknya.
Lalu, saya
mengambil langkah. Biar lebih waras, saya mem-block akun si doi dan istrinya itu. Tujuannya? Ya biar saya enggak
menengok-nengok lagi isinya. Berusaha move
on dengan cara yang seperti itu. Meredakan emosi yang tidak jelas. Tapi ...
saya masih sering mengingkari, dengan cara minta izin memakai akun Instagram
sahabat saya untuk ‘mengintip’ akun pasutri itu.
Awalnya sahabat
saya memperbolehkan, sampai kemudian lama-kelamaan dia tidak mengizinkan lagi.
Ya, saya harus benar-benar bisa ‘mengikhlaskannya’.
Dan ...
Sekarang ini
saya sedang mengalami hal serupa (lagi). Saya menemukan akun si doi dari sebuah
akun yang sudah lama saya ikuti. Saya kagum dengan karyanya—walau waktu itu
belum menghayati benar-benar atas karyanya itu—lalu jatuh cinta pada sosoknya.
Sama dengan kejadian pertama, saya mengikuti akun itu, menyukai setiap
unggahannya, menonton story dan live-nya. Sesekali bahkan saya merespons
story-nya yang berujung pada beberapa
kali kita saling balas via DM.
Untuk yang kali
ini saya lebih berani. Ibaratnya, saya enggak ingin ‘kecolongan’ seperti yang
pertama. Inginnya, walau dia tidak melakukan semuanya balik ke saya, tapi
setidaknya saya sudah pernah berusaha menunjukkan bahwa saya ada, ini loh saya.
Sempat merasa kok kayaknya saya terlalu agresif. Lalu berusaha untuk mengontrol
itu agar tampak wajar. Lagian, sebenarnya percakapan kita lebih mengarah ke
profesional, bukan sebagai teman atau kenalan.
Saya pernah
mengajukan permintaan untuk berteman. Dia menerimanya—oh well, tentu saja, siapa yang akan menolak?—tapi ya ... secara
profesional. Padahal bukan itu yang saya mau. You know, bagi introver yang sudah meminta untuk berteman, itu
tandanya kamu benar-benar orang terpilih untuk menjalin hubungan yang BENAR-BENAR
BERTEMAN.
Kenapa berteman?
Karena bagi kami—introver—untuk menjalin sebuah hubungan serius seperti
berkencan, tahapan awalnya adalah berteman. Ketika kita bisa berteman, saya
tentu akan merasa nyaman dengan dia. Ketika tahap pertemanan itu berhasil, maka
saya bisa yakin untuk menjadikannya pasangan. You get the poin?
Lagian agak frontal
juga sih kalau langsung minta jadian,
hehehe.
Nah, percakapan
terakhir saya dengan si doi adalah mengenai sebuah tawaran saya atas sesuatu,
dia menyetujui, dibubuhi emotikon senyum!—oh well, ini pasti secara profesional lagi—tapi ... ketika dia akan
memberikan sesuatu yang berkaitan dengan tawaran saya itu, dia meminta saya
untuk menunggu. Saya ulangi, dia
berjanji akan memberikan sesuatu tapi meminta saya untuk menunggu.
Saya memang
tipikal orang yang bisa sabar menunggu. Tapi ketahuilah bahwa saya benar-benar
gelisah dan begitu berdebar selama menunggu, apalagi objeknya adalah sesuatu
yang saya kagumi. Saya tipe orang yang menganggap serius janji seseorang. Entah
apa motif dari perkataannya—yang mungkin bisa jadi hanya basi-basi untuk
menyempurnakan percakapan—tapi saya
benar-benar menunggu.
Awalnya saya
merasakan keganjilan. Kenapa dia meminta saya untuk menunggu atas hal yang
sebenarnya bisa dia berikan saat itu juga? Menguji atau menolak? Hanya dua hal
itu terus yang paling jelas terbayang di kepala saya, banyak kemungkinan lain
tapi saya berusaha tidak mengacuhkannya.
Satu dua hari
terlewati, saya masih baik-baik saja. Mulai satu minggu dan belum ada kabar
dari dia, saya mulai gelisah dan sangat berdebar. Masuk ke minggu kedua, saya
merasa gila. Awalnya saya tidak mau memikirkan macam-macam, saya mengenyahkan
semua suara-suara di kepala saya tentang situasi ini. Saya menolak apa pun yang
terlintas di logika.
Lalu saya pikir,
saya tidak bisa terus-terusan seperti ini. Saya harus mengelolanya, saya tidak
bisa membiarkan suara-suara, semua pikiran itu, hanya menghantam-hantam kepala
saya. Jadi, saya berusaha mengurainya. Pada suatu malam di mana saya bisa
menyendiri dalam sebuah kamar yang nyaman, saya mulai coret-coret. Tarik dan
embuskan napas, tenangkan diri, lalu memulai coretan pertama, membuat
peta-peta.
Dimulai dari
cerita awal ‘menemukannya’, alasan-alasan (menurut logika) bisa mengaguminya,
kemungkinan-kemungkinan apa yang dia pikirkan atas tawaran saya hingga
tercetusnya janji itu, semua perkiraan kenapa dia bersikap seperti itu, sampai
pada solusi untuk diri saya biar tetap waras. Semua coret-coret itu
menghabiskan tiga halaman. Lalu saya melempar pulpen sambil berseru lega.
Menyenangkan juga bisa mengurai yang kusut di kepala.
Saya bisa
merasakan efeknya setelah mengelola semua itu, jadi lebih merasa tenang, bisa
agak berdamai, dan merasa lebih waras tentunya. Keesokan harinya, saya
mengambil sikap nyata untuk lebih berusaha untuk waras.
Apa itu? Kali ini
saya enggak nge-block si doi (seperti
kisah pertama), tapi ... saya menghapus
aplikasi Instagram. *saya ngakak
pas mengetik bagian ini*
Kenapa saya
lebih memilih untuk menghapusnya? Saya tidak mau mem-block karena saya tetap menyelipkan sedikit kemungkinan dia akan
menghubungi saya lagi untuk menepati janjinya suatu saat nanti—yang bisa jadi
berpuluh-puluh tahun kemudian, ngek!
Takutnya dia tidak bisa menemukan saya lagi. Jadi, menghapus aplikasi Instagram
rasanya langkah yang tepat.
Lagian, itu juga
jadi suatu upaya saya untuk lebih sehat fisik—selain waras batin. Mengurangi intensitas
menatap layar ponsel juga. Manfaatnya bagus, kan?
...
...
Berulang kali saya
menyebut kata “konyol” di atas, itu hanya sebuah kata untuk mengungkapkan situasinya
saja. Jujur, apa yang saya rasakan ini sama sekali tidak konyol. Saya tulus,
saya bersungguh-sungguh. Sebuah kasih putih yang hangat di dada.
Sadar dengan
seutuhnya bahwa ini bukan chapter
dalam roman picisan, di mana akhir cerita akan bahagia dengan bersatunya tokoh
yang mengagumi dan yang dikagumi. Oh sungguh, ini tidak semudah itu, saya sadar
betul. Lagian, saya enggak muluk-muluk kok sebenarnya. Saya, kan, minta
berteman. Dan saya benar-benar ingin bisa berteman dengannya. Dengan tulus.
Sekali lagi. Saya hanya ingin berteman. ...*
PS: Instagram?
Akan ada saat saya aktifkan kembali. Sebagai persiapan, sejak awal saya sudah
membekali diri dengan mencoba ikhlas apa pun keadaannya ketika akun saya aktif
kembali. Apa yang akan terjadi? Seharusnya saya tidak mengharapkan apa-apa,
bukan?
*lanjutannya
dalam hati saja.
0 komentar:
Posting Komentar