Jumat, 30 November 2018

Kasih Putih


Kedengarannya memang konyol kalau jatuh cinta via medsos. Kamu jatuh cinta pada seseorang pemilik akun A, kamu follow dia, nge-like semua post-nya, nontonin story dan live-nya. Tapi dia enggak melakukan semua hal itu balik ke kamu. Dia ada di utara, kamu di timur. Enggak nyambung dan enggak masuk akal bangetlah menurut banyak orang. Dan ya ... memang itu konyol.

Setidaknya sudah kedua kali saya mengalami hal itu. Dulu saya mengagumi seseorang yang pernah saya ceritakan di sini. Awalnya saya mengagumi pria itu sejak masih aktif Facebook-an, sampai akhirnya beralih ke Instagram. Saya mengikuti semua yang dia bagikan di sana. Dan bersyukur, dia mengikuti akun saya balik, juga terkadang mampir nge-love di beberapa foto yang saya unggah.

Saya kepedean? Enggak. Tapi, sangat berbahagia. Tentu saya menyelipkan logika dalam peristiwa itu. Enggak ada yang spesial hanya dari sebuah notifikasi ‘menyukai’ unggahan. Itu hal yang sangat biasa yang bisa dilakukan dengan mudah oleh sejuta umat. Sambil merem pun saya bisa mengklik love pada semua unggahan yang muncul di beranda.

Sampai akhirnya dia menikah. Saya sedih? Hmmm ... enggak juga. Lebih ke ... merasa miris kali ya. Saya melewati suatu peristiwa yang sangat-sangat konyol. Bagaimana mungkin saya mengharapkan dia ‘menyukai’ saya balik? Itu sangat sulit untuk dijangkau. Jadi, waktu itu saya enggak menangis, saya membagikan emosi saya pada sahabat, dan kita ngakak bareng. Si sahabat saya itu malah mengejek-ejek saya, jadilah saya makin tertawa sedih tapi lucu, konyol lah pokoknya.

Lalu, saya mengambil langkah. Biar lebih waras, saya mem-block akun si doi dan istrinya itu. Tujuannya? Ya biar saya enggak menengok-nengok lagi isinya. Berusaha move on dengan cara yang seperti itu. Meredakan emosi yang tidak jelas. Tapi ... saya masih sering mengingkari, dengan cara minta izin memakai akun Instagram sahabat saya untuk ‘mengintip’ akun pasutri itu.

Awalnya sahabat saya memperbolehkan, sampai kemudian lama-kelamaan dia tidak mengizinkan lagi. Ya, saya harus benar-benar bisa ‘mengikhlaskannya’.

Dan ...

Sekarang ini saya sedang mengalami hal serupa (lagi). Saya menemukan akun si doi dari sebuah akun yang sudah lama saya ikuti. Saya kagum dengan karyanya—walau waktu itu belum menghayati benar-benar atas karyanya itu—lalu jatuh cinta pada sosoknya. Sama dengan kejadian pertama, saya mengikuti akun itu, menyukai setiap unggahannya, menonton story dan live-nya. Sesekali bahkan saya merespons story-nya yang berujung pada beberapa kali kita saling balas via DM.

Untuk yang kali ini saya lebih berani. Ibaratnya, saya enggak ingin ‘kecolongan’ seperti yang pertama. Inginnya, walau dia tidak melakukan semuanya balik ke saya, tapi setidaknya saya sudah pernah berusaha menunjukkan bahwa saya ada, ini loh saya. Sempat merasa kok kayaknya saya terlalu agresif. Lalu berusaha untuk mengontrol itu agar tampak wajar. Lagian, sebenarnya percakapan kita lebih mengarah ke profesional, bukan sebagai teman atau kenalan.

Saya pernah mengajukan permintaan untuk berteman. Dia menerimanya—oh well, tentu saja, siapa yang akan menolak?—tapi ya ... secara profesional. Padahal bukan itu yang saya mau. You know, bagi introver yang sudah meminta untuk berteman, itu tandanya kamu benar-benar orang terpilih untuk menjalin hubungan yang BENAR-BENAR BERTEMAN.

Kenapa berteman? Karena bagi kami—introver—untuk menjalin sebuah hubungan serius seperti berkencan, tahapan awalnya adalah berteman. Ketika kita bisa berteman, saya tentu akan merasa nyaman dengan dia. Ketika tahap pertemanan itu berhasil, maka saya bisa yakin untuk menjadikannya pasangan. You get the poin?

Lagian agak frontal juga sih kalau langsung minta jadian, hehehe.

Nah, percakapan terakhir saya dengan si doi adalah mengenai sebuah tawaran saya atas sesuatu, dia menyetujui, dibubuhi emotikon senyum!—oh well, ini pasti secara profesional lagi—tapi ... ketika dia akan memberikan sesuatu yang berkaitan dengan tawaran saya itu, dia meminta saya untuk menunggu. Saya ulangi, dia berjanji akan memberikan sesuatu tapi meminta saya untuk menunggu.

Saya memang tipikal orang yang bisa sabar menunggu. Tapi ketahuilah bahwa saya benar-benar gelisah dan begitu berdebar selama menunggu, apalagi objeknya adalah sesuatu yang saya kagumi. Saya tipe orang yang menganggap serius janji seseorang. Entah apa motif dari perkataannya—yang mungkin bisa jadi hanya basi-basi untuk menyempurnakan percakapan—tapi saya benar-benar menunggu.

Awalnya saya merasakan keganjilan. Kenapa dia meminta saya untuk menunggu atas hal yang sebenarnya bisa dia berikan saat itu juga? Menguji atau menolak? Hanya dua hal itu terus yang paling jelas terbayang di kepala saya, banyak kemungkinan lain tapi saya berusaha tidak mengacuhkannya.

Satu dua hari terlewati, saya masih baik-baik saja. Mulai satu minggu dan belum ada kabar dari dia, saya mulai gelisah dan sangat berdebar. Masuk ke minggu kedua, saya merasa gila. Awalnya saya tidak mau memikirkan macam-macam, saya mengenyahkan semua suara-suara di kepala saya tentang situasi ini. Saya menolak apa pun yang terlintas di logika.

Lalu saya pikir, saya tidak bisa terus-terusan seperti ini. Saya harus mengelolanya, saya tidak bisa membiarkan suara-suara, semua pikiran itu, hanya menghantam-hantam kepala saya. Jadi, saya berusaha mengurainya. Pada suatu malam di mana saya bisa menyendiri dalam sebuah kamar yang nyaman, saya mulai coret-coret. Tarik dan embuskan napas, tenangkan diri, lalu memulai coretan pertama, membuat peta-peta.

Dimulai dari cerita awal ‘menemukannya’, alasan-alasan (menurut logika) bisa mengaguminya, kemungkinan-kemungkinan apa yang dia pikirkan atas tawaran saya hingga tercetusnya janji itu, semua perkiraan kenapa dia bersikap seperti itu, sampai pada solusi untuk diri saya biar tetap waras. Semua coret-coret itu menghabiskan tiga halaman. Lalu saya melempar pulpen sambil berseru lega. Menyenangkan juga bisa mengurai yang kusut di kepala.

Saya bisa merasakan efeknya setelah mengelola semua itu, jadi lebih merasa tenang, bisa agak berdamai, dan merasa lebih waras tentunya. Keesokan harinya, saya mengambil sikap nyata untuk lebih berusaha untuk waras.

Apa itu? Kali ini saya enggak nge-block si doi (seperti kisah pertama), tapi ... saya menghapus aplikasi Instagram. *saya ngakak pas mengetik bagian ini*

Kenapa saya lebih memilih untuk menghapusnya? Saya tidak mau mem-block karena saya tetap menyelipkan sedikit kemungkinan dia akan menghubungi saya lagi untuk menepati janjinya suatu saat nanti—yang bisa jadi berpuluh-puluh tahun kemudian, ngek! Takutnya dia tidak bisa menemukan saya lagi. Jadi, menghapus aplikasi Instagram rasanya langkah yang tepat.

Lagian, itu juga jadi suatu upaya saya untuk lebih sehat fisik—selain waras batin. Mengurangi intensitas menatap layar ponsel juga. Manfaatnya bagus, kan?

...
...

Berulang kali saya menyebut kata “konyol” di atas, itu hanya sebuah kata untuk mengungkapkan situasinya saja. Jujur, apa yang saya rasakan ini sama sekali tidak konyol. Saya tulus, saya bersungguh-sungguh. Sebuah kasih putih yang hangat di dada.

Sadar dengan seutuhnya bahwa ini bukan chapter dalam roman picisan, di mana akhir cerita akan bahagia dengan bersatunya tokoh yang mengagumi dan yang dikagumi. Oh sungguh, ini tidak semudah itu, saya sadar betul. Lagian, saya enggak muluk-muluk kok sebenarnya. Saya, kan, minta berteman. Dan saya benar-benar ingin bisa berteman dengannya. Dengan tulus.

Sekali lagi. Saya hanya ingin berteman. ...*



PS: Instagram? Akan ada saat saya aktifkan kembali. Sebagai persiapan, sejak awal saya sudah membekali diri dengan mencoba ikhlas apa pun keadaannya ketika akun saya aktif kembali. Apa yang akan terjadi? Seharusnya saya tidak mengharapkan apa-apa, bukan?
*lanjutannya dalam hati saja.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo