Sabtu, 10 Februari 2018

Blog yang Manis

Beberapa minggu yang lalu saya mencari referensi di Google untuk membantu penyelesaian pekerjaan saya. Namun tanpa sengaja saya membuka sebuah artikel dalam blog yang sangat menakjubkan―tentunya juga membantu pekerjaan saya.

Dari tulisan pertama yang saya baca di sana―di blog itu maksudnya―saya kemudian mengurungkan menambah tempat kerja. Maksud saya, menambah pekerjaan dengan bergabung di perusahaan/instansi―apalah namanya itu―yang lain. Surat lamaran yang sudah setengah jadi itu akhirnya tidak saya lanjutkan.

Dia―sebut saja begitu, sebagai kata ganti penulis blog itu―memang tidak melarang saya, bahkan tidak ada larangan tersirat dalam tulisannya. Sebagai selayaknya pembaca, saya menyimpulkan sendiri makna dari apa yang saya baca, walau mungkin bukan begitu maksud dari si penulis.

Di dalam blog itu terdapat berbagai macam topik. Dia aktif menjadi bloger sejak 2009, maka tidak heran jika tulisan/posting-annya sudah mencapai 2000-an (tepatnya 2073, maaf kalau salah hitung) di blog itu. Saat ini, saya baru membaca 302 judul. Ya, saya mencatatnya, biar ingat. Saya membaca dari yang terbaru sampai yang terlama, susunannya seperti itu, biar tidak berantakan dan tidak ada yang terlewatkan. Masih cukup jauh untuk bisa menyelesaikan seluruh isi blog itu. Apalagi Dia punya blog lain yang isinya 4362 judul!―maaf kalau salah hitung. Namun percayalah, kalaupun saya salah hitung, angkanya berada di kisaran itu.

Karena blognya ada dua, mari kita membedakannya dengan penyebutan blog A dan blog B. Blog A adalah blog yang pertama kali saya temukan, isinya seputar catatan dan ocehan-ocehannya. Sedangkan blog B adalah blog yang sama sekali belum pernah saya baca tulisannya satu judul pun. Isi blog B pun lebih serius dan ilmiah karena memang isinya tentang berbagai ilmu pengetahuan.

Dan sekarang, saya akan membahas blog A lebih lanjut. Berhubung blog itu berisi catatan, ocehan, dan pemikiran bebasnya Dia, jadi saya sangat nyaman membacanya. Sebagian isinya memang serius, tetapi dikemas dengan rapi dan ringan, saya yakin orang awam pun bisa memahami maksud perkataannya―harusnya begitu.

Ukuran panjang tulisan setiap judulnya beragam. Ada yang panjangnya mbuh-mbuhan sampai saya capek men-scroll, dan ada yang berisi hanya sepotong kalimat bahkan satu kata! Jujur saya lebih nyaman yang sedang-sedang saja. Karena terlalu pendek itu terkadang membingungkan, biasanya dengan hanya tersedia satu kalimat malah membuat saya berpikir terlalu lama. Apa maksudnya kira-kira? Saya butuh penjelasan lebih.

Terlalu panjang juga sedikit melelahkan, walaupun tetap saja setiap paragrafnya berkualitas dan penting, tetapi terkadang saya butuh penjelasan lebih ringkas dari itu. Namun kelebihannya dari penjelasannya yang panjang, saya jadi bisa memahami suatu hal dengan lengkap.

Dari sekitar 300-an judul yang saya baca, saya mulai mengelompokkan tema-tema yang dia tulis―ya walaupun sebenarnya itu sudah tersedia di bagian label―tetapi karena saya membaca berdasarkan urutan waktu terbaru ke waktu terlama, bukan berdasarkan label, maka saya membaca apa saja yang saya temui di tahun itu dan di bulan itu.

Saya mulai sedikit bosan―bukan dalam artian bosan lalu berhenti membacanya sama sekali―ketika mendapati judul dengan topik yang lagi-lagi sama. Saya suka membatin, itu lagi, itu lagi! Mungkin saya begitu karena saya mulai mengetahui sudut pandangnya terhadap hal X, misalnya. Dan sejauh ini ya begitu-begitu saja.

Misalnya, terhadap topik X, sejauh ini pendapatnya tetap sama. Namun, bukan berarti saya akan berhenti untuk membaca topik itu, karena saya juga sedang mencari tahu, apakah ada tulisan yang memuat tentang pandangannya yang berbeda terhadap X dari yang sekarang ini saya tahu?

Dari tulisan-tulisannya saya mendapatkan banyak pembelajaran. Jujur, saya lebih suka mendapatkan informasi dengan membaca tulisannya, daripada membaca di situs-situs berita online. Padahal notabenenya sama-sama memberitakan atau mengabarkan suatu peristiwa. Karena itu tadi, pengemasannya yang apik dan blak-blakan. Tidak membosankan, saya seperti membaca cerita fiksi yang fakta.

Dari dia juga, saya jadi gila untuk “belajar”, ya walaupun belajar yang saya maksud adalah tentang hal-hal yang saya gemari dulu. Untuk hal lain bisa menyusul suatu saat nanti. Mungkin saat saya sudah tua, itu tidak masalah.

Saya juga cemburu padanya. Cemburu dengan buku-buku bacaannya, cemburu pada keseriusannya belajar dan bekerja. Dan saya ingin punya semangat yang sama. Dia bloger idola saya.

Karenanya, saya juga suka gatel, pengin banget untuk ngomong dan berbagi pemikiran tentang tulisan-tulisan di blog itu maupun sosok si penulisnya. Namun, saya pikir untuk melakukan sharing tentang blog itu enggak bisa ke sembarang orang. Pasalnya, jika saya menjelaskan tentang Dia dan tulisannya hanya sepotong-sepotong, bisa-bisa lawan bicara saya malah menangkap maksud yang salah.

Dan lebih parahnya, bisa-bisa saya dilarang untuk membaca tulisan-tulisan itu lagi! Karena dianggap enggak normal.

Untuk itu, saya perlu mencari lawan bicara yang cocok. Terpilihlah Mbak saya (ulasan tentang dia akan ada di tulisan lain). Mbak Oka adalah orang yang posisinya terdekat dengan saya sekarang ini. Setiap hari ketemu, karena memang kami tinggal serumah.

Apakah Mbak Oka langsung setuju dengan apa yang saya katakan tentang Dia? Tidak.

Bahkan Mbak Oka pun salah memahami tentang Dia―bloger itu maksud saya―tentunya itu terjadi saat pertama kalinya saya bercerita. Dan pada saat itu situasinya adalah saya baru membaca beberapa puluh tulisan Dia. Jadi, saya belum mengenal Dia dan Mbak Oka pun sebagai orang yang menampung ceritaku menjadi salah paham.

Namun lama-kelamaan Mbak Oka sudah bisa sepaham dengan saya, bahwa Dia adalah manusia yang “beda”. Tulisan dan pemikirannya normal, bahkan sangat … sangat normal. Hebatnya, walau terkadang saya kurang setuju dengan pemikiran Dia, tetapi saya bisa menerima. Begitulah.

Jadi, karena sekarang saya mengidolakan Dia, maka jangan heran jika beberapa gaya penuturanku agak mengikuti cara penyampaiannya. Ya, begitulah … intinya Dia sudah menyuntikkan virus positif kepada saya. Saya berutang banyak padanya.

Sedikit kesimpulan, sesuatu yang menjadi daya tarik saya untuk mengidolakannya yaitu, saya merasa punya teman. Walau tentunya kita jelas-jelas berbeda, tetapi ada beberapa hal yang saya rasa klop, entah apa. Dan karena Dia, sekarang saya berani keluar rumah di jam-jam kerja, menantang para tetangga yang mungkin selalu bertanya-tanya dalam hati, “Anak ini nggak kerja, ya?” Oh, well ….


NB: Mungkin saya kudet, karena baru menemukan Dia. Tapi lebih baik begitu daripada tidak sama sekali :)

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo