Dari tulisan pertama
yang saya baca di sana―di blog itu maksudnya―saya kemudian mengurungkan
menambah tempat kerja. Maksud saya, menambah pekerjaan dengan bergabung di
perusahaan/instansi―apalah namanya itu―yang lain. Surat lamaran yang sudah setengah
jadi itu akhirnya tidak saya lanjutkan.
Dia―sebut saja begitu,
sebagai kata ganti penulis blog itu―memang tidak melarang saya, bahkan tidak
ada larangan tersirat dalam tulisannya. Sebagai selayaknya pembaca, saya
menyimpulkan sendiri makna dari apa yang saya baca, walau mungkin bukan begitu
maksud dari si penulis.
Di dalam blog itu
terdapat berbagai macam topik. Dia aktif menjadi bloger sejak 2009, maka tidak
heran jika tulisan/posting-annya
sudah mencapai 2000-an (tepatnya 2073, maaf kalau salah hitung) di blog itu.
Saat ini, saya baru membaca 302 judul. Ya, saya mencatatnya, biar ingat. Saya
membaca dari yang terbaru sampai yang terlama, susunannya seperti itu, biar
tidak berantakan dan tidak ada yang terlewatkan. Masih cukup jauh untuk bisa
menyelesaikan seluruh isi blog itu. Apalagi Dia punya blog lain yang isinya 4362
judul!―maaf kalau salah hitung. Namun percayalah, kalaupun saya salah hitung,
angkanya berada di kisaran itu.
Karena blognya ada dua,
mari kita membedakannya dengan penyebutan blog A dan blog B. Blog A adalah blog
yang pertama kali saya temukan, isinya seputar catatan dan ocehan-ocehannya.
Sedangkan blog B adalah blog yang sama sekali belum pernah saya baca tulisannya
satu judul pun. Isi blog B pun lebih serius dan ilmiah karena memang isinya
tentang berbagai ilmu pengetahuan.
Dan sekarang, saya akan
membahas blog A lebih lanjut. Berhubung blog itu berisi catatan, ocehan, dan
pemikiran bebasnya Dia, jadi saya sangat nyaman membacanya. Sebagian isinya
memang serius, tetapi dikemas dengan rapi dan ringan, saya yakin orang awam pun
bisa memahami maksud perkataannya―harusnya begitu.
Ukuran panjang tulisan
setiap judulnya beragam. Ada yang panjangnya mbuh-mbuhan sampai saya capek
men-scroll, dan ada yang berisi hanya
sepotong kalimat bahkan satu kata! Jujur saya lebih nyaman yang sedang-sedang
saja. Karena terlalu pendek itu terkadang membingungkan, biasanya dengan hanya
tersedia satu kalimat malah membuat saya berpikir terlalu lama. Apa maksudnya kira-kira? Saya butuh
penjelasan lebih.
Terlalu panjang juga
sedikit melelahkan, walaupun tetap saja setiap paragrafnya berkualitas dan
penting, tetapi terkadang saya butuh penjelasan lebih ringkas dari itu. Namun
kelebihannya dari penjelasannya yang panjang, saya jadi bisa memahami suatu hal
dengan lengkap.
Dari sekitar 300-an
judul yang saya baca, saya mulai mengelompokkan tema-tema yang dia tulis―ya
walaupun sebenarnya itu sudah tersedia di bagian label―tetapi karena saya membaca
berdasarkan urutan waktu terbaru ke waktu terlama, bukan berdasarkan label,
maka saya membaca apa saja yang saya temui di tahun itu dan di bulan itu.
Saya mulai sedikit
bosan―bukan dalam artian bosan lalu berhenti membacanya sama sekali―ketika
mendapati judul dengan topik yang lagi-lagi sama. Saya suka membatin, itu lagi, itu lagi! Mungkin saya begitu
karena saya mulai mengetahui sudut pandangnya terhadap hal X, misalnya. Dan
sejauh ini ya begitu-begitu saja.
Misalnya, terhadap
topik X, sejauh ini pendapatnya tetap sama. Namun, bukan berarti saya akan
berhenti untuk membaca topik itu, karena saya juga sedang mencari tahu, apakah
ada tulisan yang memuat tentang pandangannya yang berbeda terhadap X dari yang
sekarang ini saya tahu?
Dari tulisan-tulisannya
saya mendapatkan banyak pembelajaran. Jujur, saya lebih suka mendapatkan
informasi dengan membaca tulisannya, daripada membaca di situs-situs berita
online. Padahal notabenenya sama-sama memberitakan atau mengabarkan suatu
peristiwa. Karena itu tadi, pengemasannya yang apik dan blak-blakan. Tidak
membosankan, saya seperti membaca cerita fiksi yang fakta.
Dari dia juga, saya
jadi gila untuk “belajar”, ya walaupun belajar yang saya maksud adalah tentang
hal-hal yang saya gemari dulu. Untuk hal lain bisa menyusul suatu saat nanti.
Mungkin saat saya sudah tua, itu tidak masalah.
Saya juga cemburu
padanya. Cemburu dengan buku-buku bacaannya, cemburu pada keseriusannya belajar
dan bekerja. Dan saya ingin punya semangat yang sama. Dia bloger idola saya.
Karenanya, saya juga
suka gatel, pengin banget untuk ngomong dan berbagi pemikiran tentang
tulisan-tulisan di blog itu maupun sosok si penulisnya. Namun, saya pikir untuk
melakukan sharing tentang blog itu enggak bisa ke sembarang orang. Pasalnya, jika
saya menjelaskan tentang Dia dan tulisannya hanya sepotong-sepotong, bisa-bisa
lawan bicara saya malah menangkap maksud yang salah.
Dan lebih parahnya,
bisa-bisa saya dilarang untuk membaca tulisan-tulisan itu lagi! Karena dianggap
enggak normal.
Untuk itu, saya perlu
mencari lawan bicara yang cocok. Terpilihlah Mbak saya (ulasan tentang dia akan
ada di tulisan lain). Mbak Oka adalah orang yang posisinya terdekat dengan saya
sekarang ini. Setiap hari ketemu, karena memang kami tinggal serumah.
Apakah Mbak Oka
langsung setuju dengan apa yang saya katakan tentang Dia? Tidak.
Bahkan Mbak Oka pun salah memahami tentang Dia―bloger itu maksud saya―tentunya itu terjadi saat pertama kalinya saya bercerita. Dan pada saat itu situasinya adalah saya baru membaca beberapa puluh tulisan Dia. Jadi, saya belum mengenal Dia dan Mbak Oka pun sebagai orang yang menampung ceritaku menjadi salah paham.
Bahkan Mbak Oka pun salah memahami tentang Dia―bloger itu maksud saya―tentunya itu terjadi saat pertama kalinya saya bercerita. Dan pada saat itu situasinya adalah saya baru membaca beberapa puluh tulisan Dia. Jadi, saya belum mengenal Dia dan Mbak Oka pun sebagai orang yang menampung ceritaku menjadi salah paham.
Namun lama-kelamaan
Mbak Oka sudah bisa sepaham dengan saya, bahwa Dia adalah manusia yang “beda”.
Tulisan dan pemikirannya normal, bahkan sangat … sangat normal. Hebatnya, walau
terkadang saya kurang setuju dengan pemikiran Dia, tetapi saya bisa menerima.
Begitulah.
Jadi, karena sekarang
saya mengidolakan Dia, maka jangan heran jika beberapa gaya penuturanku agak
mengikuti cara penyampaiannya. Ya, begitulah … intinya Dia sudah menyuntikkan
virus positif kepada saya. Saya berutang banyak padanya.
Sedikit kesimpulan,
sesuatu yang menjadi daya tarik saya untuk mengidolakannya yaitu, saya merasa
punya teman. Walau tentunya kita jelas-jelas berbeda, tetapi ada beberapa hal
yang saya rasa klop, entah apa. Dan karena Dia, sekarang saya berani keluar
rumah di jam-jam kerja, menantang para tetangga yang mungkin selalu bertanya-tanya
dalam hati, “Anak ini nggak kerja, ya?” Oh, well ….
NB: Mungkin saya kudet, karena baru menemukan Dia. Tapi lebih baik begitu daripada tidak sama sekali :)
NB: Mungkin saya kudet, karena baru menemukan Dia. Tapi lebih baik begitu daripada tidak sama sekali :)
0 komentar:
Posting Komentar