Rabu, 21 Februari 2018

Hidup Dalam Hening


Jauh hari sebelum saya meninggalkan Kendari, saya sudah berencana untuk hidup diam-diam. Dalam artian tidak memublikasikan di mana saya berada atau tinggal. Saya punya alasan khusus mengenai hal itu, yang kemudian belakangan ini alasan untuk hidup diam-diam semakin terasa kental.

Awalnya, saya memilih untuk hidup diam-diam oleh satu alasan, yaitu karena saya mengetahui bahwa dalam beberapa bulan saya tidak akan menentu tinggal di mana, alias tidak menetap. Jadi saya berencana untuk “diam” sampai saya merasa sudah cukup jelas menetap dalam satu kota dan sudah jelas tentang apa yang saya kerjakan. Lalu jika kemudian bertemu dengan kawan-kawan, saya akan bercerita banyak dan terbuka tentang perjalanan saya yang “diam-diam” itu. Namun―seperti yang saya sebut di paragraf atas―belakangan saya semakin serius untuk hidup dalam “diam”.

Oleh karena itu, rencana saya yang sebenarnya dalam beberapa bulan ke depan akan membongkar semuanya, saya urungkan kembali. Saya akan meneruskan diam!

Hal itu saya patenkan sejak saya menemukan seseorang―yang kemudian membawa saya menemukan orang-orang lain―yang juga “hidup dalam diam” atau (dia suka menyebutnya) “hidup dalam keheningan” dan saya setuju. Untuk berikutnya, mari kita sebut “seseorang” itu dengan nama Darma (bukan nama sesungguhnya). Saya sepakat dengan Darma―dan juga semua orang yang berpikiran sama―bahwa hidup adalah pilihan, bagaimana kita menjalani hidup adalah kita sendiri yang tentukan. Dan saya memilih begini, hidup dalam keheningan. Karena sejak sebelum mengenal Darma saya sudah mulai hidup dalam diam, maka melanjutkannya dengan lebih fokus pada keheningan saya pikir itu pilihan yang tepat dan tidak begitu rumit (karena saya sudah memulai).

Memang saya masih sering kali mem-posting atau menjadikan story entah di Instagram atau WhatsApp tentang hal-hal yang menyinggung tempat hidup dan keseharian saya. Misal, saya mengatakan bahwa saya sedang berpindah-pindah kota, gambaran tentang indekos, gambaran tentang kota yang sedang saya tempati, aktivitas sehari-hari, dan hal-hal lain yang bersinggungan.

Ya, saya mengakui itu. Bukan bermaksud untuk mencari-cari sensasi yang kemudian mengharapkan netizen bertanya-tanya atau menebak-nebak di mana sekiranya saya berada. Karena saya bukan siapa-siapa yang layak untuk diperdebatkan keberadaannya. Hanya saja saya masih manusia pada umumnya yang tentu tergiur dengan aktivitas “pamer” di media sosial. Untuk menyalurkan hasrat pamer itu, saya tetap sharing di media sosial, tetapi serba-saya perketat untuk tidak menyebutkan secara detail atau blak-blakan. Jujur, itu saja saya cukup kesulitan menahan, sesekali saya ingin juga tag lokasi, ingin tag orang-orang yang sedang bersama saya. Akan tetapi saya berhasil menahannya.

Bahkan bukan hanya hal-hal yang terlalu gamblang seperti itu, saya juga berusaha tidak menyebutkan suatu benda atau “sesuatu” lain dengan cara menyamarkannya menggunakan nama umum. Bahkan foto pun harus saya “manipulasi”. Maksudnya saya harus memotong-motong foto, pandai memilah-milah foto, memotret (untuk kebutuhan upload) di sudut-sudut yang “aman”. Misal, ketika saya berfoto di suatu objek wisata, dari sekian banyak foto, saya khusus memotret diri di rerumputan untuk diunggah di media sosial. Dengan tujuan agar tidak ketahuan bahwa saya sedang ada di sana. Oh, yeah … siapa yang akan tahu saya di mana kalau hanya rumput? Itulah cara saya, untuk tetap “pamer” dalam keheningan.

Jadi, maafkan saya yang menyatakan ingin hidup dalam keheningan, tetapi masih sering pamer di media sosial. Pamer sedang sedih, sedang bahagia, sedang takut, sedang takjub, dan banyak lagi hal lain. Selain di media sosial―dalam hal ini Instagram―saya berencana untuk tetap menuliskan banyak hal tentang hidup saya lalu menyimpan dalam blog. Jadi mohon maafkan kekhilafan saya sebagai manusia yang suka pamer, padahal saya berencana hidup dalam keheningan.

Beberapa teman awalnya suka bertanya di mana keberadaan saya, tetapi saya hanya meresponsnya dengan guyonan, menjawab seperlunya―hanya kulitnya saja. Sering juga saya no comment. Oh ya, saya sering kali terpingkal-pingkal dengan aneka tebakan dari teman-teman. Dari seluruh kota-kota yang disebutkan semuanya lucu-lucu, dan saya heran atas dasar apa mereka menebak bahwa saya ada di kota itu? Biasanya saya berbagi tawa dengan Mbak Oka. Dia pun juga tertawa mengetahui teman-teman yang berusaha menebak saya di kota sana lah, di kota sini lah, dan sebagainya, karena memang nyaris tidak ada yang benar.

Dalam kesempatan ini saya juga sekalian meminta maaf kepada teman-teman yang pernah bertanya “kamu di mana?” tetapi malah tidak saya jawab atau saya menjawab tetapi tidak “menjawab”. Saya melakukannya karena inilah pilihan hidup saya. Bukan bermaksud pelit dan sok ingin dicari-cari.

Tapi … (ini penting!) tapi … untuk siapa pun yang mengenal saya, baik kerabat, teman, kawan, dan lainnya dari mana pun itu, mohon untuk tidak salah paham. Saya tidak menutup diri sepenuhnya dari dunia. Oh yeah, itu terlalu berlebihan. Kalian tetap bisa menghubungi saya, karena saya tetap ADA. Kita masih bisa bertemu, di mana pun itu. Maka, jika ada di antara kalian ingin bertemu dengan saya (entah dalam rangka apa pun) tentu bisa. Asalkan sesuai situasi dan kondisinya, entah dari pihak saya atau pihak kalian. Namun maaf, saya tentu bisa menceritakan pengalaman-pengalaman saya (dengan tidak menyebutkan sebuah “nama” apa pun), tetapi tidak dengan di mana saya tinggal. Saya pun juga akan menghubungi kalian jika saya mendambakan sebuah pertemuan. Saya juga sering rindu bisa berbincang semeja dengan teman-teman lagi.

Saya paham, kalian pun mungkin menanyakan di mana saya tinggal hanya karena ingin tahu, bukan karena mau mengejar-ngejar atau meneror saya. Saya paham. Tapi saya telah memilih untuk tidak menyebutkan di mana saya berada. Dan saya pikir, apa yang saya pilih untuk hidup kali ini akan saya syukuri di masa depan nanti.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo