Jauh hari sebelum saya meninggalkan Kendari, saya sudah berencana untuk hidup diam-diam. Dalam artian tidak memublikasikan di mana saya berada atau tinggal. Saya punya alasan khusus mengenai hal itu, yang kemudian belakangan ini alasan untuk hidup diam-diam semakin terasa kental.
Awalnya, saya memilih
untuk hidup diam-diam oleh satu alasan, yaitu karena saya mengetahui bahwa
dalam beberapa bulan saya tidak akan menentu tinggal di mana, alias tidak
menetap. Jadi saya berencana untuk “diam” sampai saya merasa sudah cukup jelas menetap
dalam satu kota dan sudah jelas tentang apa yang saya kerjakan. Lalu jika kemudian
bertemu dengan kawan-kawan, saya akan bercerita banyak dan terbuka tentang
perjalanan saya yang “diam-diam” itu. Namun―seperti yang saya sebut di paragraf
atas―belakangan saya semakin serius untuk hidup dalam “diam”.
Oleh karena itu,
rencana saya yang sebenarnya dalam beberapa bulan ke depan akan membongkar
semuanya, saya urungkan kembali. Saya akan meneruskan diam!
Hal itu saya patenkan
sejak saya menemukan seseorang―yang kemudian membawa saya menemukan orang-orang
lain―yang juga “hidup dalam diam” atau (dia suka menyebutnya) “hidup dalam
keheningan” dan saya setuju. Untuk berikutnya, mari kita sebut “seseorang” itu
dengan nama Darma (bukan nama sesungguhnya). Saya sepakat dengan Darma―dan juga
semua orang yang berpikiran sama―bahwa hidup adalah pilihan, bagaimana kita
menjalani hidup adalah kita sendiri yang tentukan. Dan saya memilih begini, hidup
dalam keheningan. Karena sejak sebelum mengenal Darma saya sudah mulai hidup
dalam diam, maka melanjutkannya dengan lebih fokus pada keheningan saya pikir
itu pilihan yang tepat dan tidak begitu rumit (karena saya sudah memulai).
Memang saya masih
sering kali mem-posting atau
menjadikan story entah di Instagram
atau WhatsApp tentang hal-hal yang menyinggung tempat hidup dan keseharian saya.
Misal, saya mengatakan bahwa saya sedang berpindah-pindah kota, gambaran
tentang indekos, gambaran tentang kota yang sedang saya tempati, aktivitas sehari-hari, dan hal-hal lain yang bersinggungan.
Ya, saya mengakui itu.
Bukan bermaksud untuk mencari-cari sensasi yang kemudian mengharapkan netizen
bertanya-tanya atau menebak-nebak di mana sekiranya saya berada. Karena saya
bukan siapa-siapa yang layak untuk diperdebatkan keberadaannya. Hanya saja saya
masih manusia pada umumnya yang tentu tergiur dengan aktivitas “pamer” di media
sosial. Untuk menyalurkan hasrat pamer itu, saya tetap sharing di media sosial, tetapi serba-saya perketat untuk tidak
menyebutkan secara detail atau blak-blakan. Jujur, itu saja saya cukup
kesulitan menahan, sesekali saya ingin juga tag
lokasi, ingin tag orang-orang yang
sedang bersama saya. Akan tetapi saya berhasil menahannya.
Bahkan bukan hanya
hal-hal yang terlalu gamblang seperti itu, saya juga berusaha tidak menyebutkan
suatu benda atau “sesuatu” lain dengan cara menyamarkannya menggunakan nama
umum. Bahkan foto pun harus saya “manipulasi”. Maksudnya saya harus
memotong-motong foto, pandai memilah-milah foto, memotret (untuk kebutuhan upload) di sudut-sudut yang “aman”.
Misal, ketika saya berfoto di suatu objek wisata, dari sekian banyak foto, saya
khusus memotret diri di rerumputan untuk diunggah di media sosial. Dengan
tujuan agar tidak ketahuan bahwa saya sedang ada di sana. Oh, yeah … siapa yang akan tahu saya di mana
kalau hanya rumput? Itulah cara saya, untuk tetap “pamer” dalam keheningan.
Jadi, maafkan saya yang
menyatakan ingin hidup dalam keheningan, tetapi masih sering pamer di media
sosial. Pamer sedang sedih, sedang bahagia, sedang takut, sedang takjub, dan
banyak lagi hal lain. Selain di media sosial―dalam hal ini Instagram―saya
berencana untuk tetap menuliskan banyak hal tentang hidup saya lalu menyimpan
dalam blog. Jadi mohon maafkan kekhilafan saya sebagai manusia yang suka pamer,
padahal saya berencana hidup dalam keheningan.
Beberapa teman awalnya
suka bertanya di mana keberadaan saya, tetapi saya hanya meresponsnya dengan
guyonan, menjawab seperlunya―hanya kulitnya saja. Sering juga saya no comment. Oh ya, saya sering kali
terpingkal-pingkal dengan aneka tebakan dari teman-teman. Dari seluruh
kota-kota yang disebutkan semuanya lucu-lucu, dan saya heran atas dasar apa
mereka menebak bahwa saya ada di kota itu? Biasanya saya berbagi tawa dengan
Mbak Oka. Dia pun juga tertawa mengetahui teman-teman yang berusaha menebak
saya di kota sana lah, di kota sini lah, dan sebagainya, karena memang nyaris
tidak ada yang benar.
Dalam kesempatan ini
saya juga sekalian meminta maaf kepada teman-teman yang pernah bertanya “kamu di mana?” tetapi malah tidak saya
jawab atau saya menjawab tetapi tidak “menjawab”. Saya melakukannya karena inilah
pilihan hidup saya. Bukan bermaksud pelit dan sok ingin dicari-cari.
Tapi … (ini penting!)
tapi … untuk siapa pun yang mengenal saya, baik kerabat, teman, kawan, dan
lainnya dari mana pun itu, mohon untuk tidak salah paham. Saya tidak menutup
diri sepenuhnya dari dunia. Oh yeah,
itu terlalu berlebihan. Kalian tetap bisa menghubungi saya, karena saya tetap ADA.
Kita masih bisa bertemu, di mana pun itu. Maka, jika ada di antara kalian ingin
bertemu dengan saya (entah dalam rangka apa pun) tentu bisa. Asalkan sesuai
situasi dan kondisinya, entah dari pihak saya atau pihak kalian. Namun maaf,
saya tentu bisa menceritakan pengalaman-pengalaman saya (dengan tidak
menyebutkan sebuah “nama” apa pun), tetapi tidak dengan di mana saya tinggal.
Saya pun juga akan menghubungi kalian jika saya mendambakan sebuah pertemuan.
Saya juga sering rindu bisa berbincang semeja dengan teman-teman lagi.
Saya paham, kalian
pun mungkin menanyakan di mana saya tinggal hanya karena ingin tahu, bukan
karena mau mengejar-ngejar atau meneror saya. Saya paham. Tapi saya telah memilih
untuk tidak menyebutkan di mana saya berada. Dan saya pikir, apa yang saya
pilih untuk hidup kali ini akan saya syukuri di masa depan nanti.
0 komentar:
Posting Komentar