Di
ibu kota ini saya tinggal bersama Mbak Oka. Dia sebenarnya tante saya, tetapi
tidak mau dipanggil ‘Tante’, ‘Bibi’, atau―yang lebih Jawa―‘Bulik’. Dia hanya
mau dipanggil seperti itu kalau nanti dia sudah punya anak. Well … dia memang belum menikah. Dan saya
hanya enam tahun lebih muda darinya.
Beda dengannya, saya justru suka dan harus dipanggil sesuai tingkatan saya dalam keluarga. Kami, orang Jawa, memberlakukan panggilan sesuai dengan tingkatan “pohon” keluarga. Jadi, tidak heran jika saya memanggil sepupu saya dengan sebutan Mas atau Mbak padahal dia masih kecil. Juga memanggil yang lain dengan sebutan Dik, padahal dia jauh lebih tua.
Ketentuan
itu berdasarkan tingkatan orang tua kami. Misal, kakak laki-laki bapak saya
memiliki dua orang anak, sehingga saya diharuskan memanggil mereka―sepupu saya
itu―dengan panggilan Mas atau Mbak. Walau kenyataannya anak keduanya sekarang masih
SMA, beberapa tahun lebih muda dari saya, saya tetap harus memanggilnya Mbak.
Karena itu tadi, bapak mereka adalah kakak bapak saya.
Contoh
lain, adik perempuan dari ibu saya punya dua anak. Saya harus memanggil mereka
dengan sebutan Dik dan mereka memanggil saya Mbak, walau sebenarnya anak
pertamanya lebih tua beberapa tahun dari saya. Lagi-lagi, karena itu tadi, ibu
saya adalah kakak dari ibu mereka.
Saya
juga sudah punya cucu, sampai sekarang jumlahnya masih tujuh orang. Bahkan cucu
yang tertua usianya juga lebih tua dari saya. Unik, kan? Cucu saya itu
merupakan cicit dari kakak perempuan bapak saya―yang juga berarti cicitnya
bapak. Sampai sini paham? Semua diajarkan oleh orang tua mereka untuk memanggil
saya ‘Mbak’, padahal saya tidak keberatan kalau harus dipanggil ‘Nenek’ atau ‘Mbah’,
wong saya suka! Sebutan ‘Mbah’ ada di
antara kita biasanya hanya untuk guyonan dan saya menikmati.
Namun, bukan berarti tidak ada yang salah. Berhubung kami―dari pihak Ibu ataupun Bapak―adalah
keluarga besar yang berarti saya punya banyak sepupu, keponakan, dan cucu. Ada
beberapa orang dari kerabat saya yang saling-salah-panggil dengan saya. Menurut
saya, itu adalah kesalahan orang tua kami dulu ketika memperkenalkan kami.
Ketika kami sudah dewasa dan menyadari kesalahan itu, panggilan itu sudah susah
dan aneh kalau diubah atau dibenarkan. Jadi, kami membiarkan hal itu terus berlangsung.
Namun,
untuk kerabat dekat yang masih kecil, saya memaksa untuk memanggil saya dengan
benar. Anak dari sepupu saya misalnya―keponakan saya―yang tinggalnya
bersebelahan dengan rumah orang tua saya. Mereka memanggil adik saya dengan
sebutan ‘Om’ dan itu benar, tetapi memanggil saya ‘Mbak’. Sudah tahu kelirunya?
Seharusnya mereka memanggil saya ‘Tante’.
Karena
mereka masih kecil dan saya pun dekat dengan mereka, maka saya mengubah itu.
Membiasakan mereka memanggil saya dengan benar. Sekarang, kalau kami bertemu,
sesekali mereka masih memanggil saya ‘Mbak’ tetapi saya terus mengoreksi sampai
mereka ingat bahwa harus memanggil saya ‘Tante’. Bagaimanapun juga mereka
sering kembali memanggil saya ‘Mbak’ karena orang tua mereka mengajarkan sepeti
itu, oh well ….
Selain
sebutan antaranggota keluarga, saya juga senang dengan sebutan yang diberikan
oleh teman-teman saya. Mulai dari teman SD. Ada si A yang memanggil saya ‘Baby
Huey’, ada yang ingat dengan kartun itu? Entah kenapa dia memanggil saya
seperti itu, Baby Huey berbadan gemuk sedangkan saya tidak. Apakah saya mirip
bebek? Oh I dunno ….
Lalu,
ada juga si B yang memanggil saya ‘njebebeb’. Aneh, ya? Apa artinya coba? Dia
sendiri pun tak tahu apa motivasinya memanggil saya begitu.
Si
C (teman SMA) memanggil saya ‘Abel’ yang pada akhirnya saya juga memanggilnya
begitu. Kalau yang ini karena pada masa itu ada sinetron yang pemerannya
mengejek pemeran lain dengan sebutan ‘Abel’ sebagai singkatan dari ‘ABG Lebay’.
Kemudian
teman-teman saya di bangku kuliah. Entah siapa yang memprakarsai duluan,
terciptalah panggilan ‘Ebing’ atau disingkat ‘Bing’. Karena mereka dulu sering
kumpul-kumpul di indekos saya dan menimbulkan keributan, maka tetangga-tetangga
saya pun mendengarnya. Jadilah beberapa orang tetangga saya malah ikutan
memanggil saya ‘Ebing’.
Ada
yang lain, beberapa orang teman juga memanggil saya ‘Ebong’ atau disingkat ‘Bong’. Namun, tetangga saya tidak ikut-ikutan, rupanya mereka sudah nyaman dengan ‘Ebing’.
Terkait
panggilan-panggilan itu, saya tidak mempermasalahkannya. Justru suka. Kenapa?
Karena menurut saya, dengan adanya panggilan yang berbeda, membuat saya merasa
spesial dan akan selalu diingat. Setuju dengan teori ini?
NB:
semua sebutan untuk saya di atas masih berlaku sampai saat ini. Sebenarnya masih
ada panggilan-panggilan lain yang datang dari rekan-rekan sekolah, tetapi tidak
saya sebutkan, karena pertama … sebutan itu hanya singkat masa berlakunya.
Sehingga, kedua … saya jadi lupa. Namun, saya yakin sekali ada beberapa panggilan
lain untuk saya.
0 komentar:
Posting Komentar