Selasa, 13 Februari 2018

Sebutan Unik

Di ibu kota ini saya tinggal bersama Mbak Oka. Dia sebenarnya tante saya, tetapi tidak mau dipanggil ‘Tante’, ‘Bibi’, atau―yang lebih Jawa―‘Bulik’. Dia hanya mau dipanggil seperti itu kalau nanti dia sudah punya anak. Well … dia memang belum menikah. Dan saya hanya enam tahun lebih muda darinya.

Beda dengannya, saya justru suka dan harus dipanggil sesuai tingkatan saya dalam keluarga. Kami, orang Jawa, memberlakukan panggilan sesuai dengan tingkatan “pohon” keluarga. Jadi, tidak heran jika saya memanggil sepupu saya dengan sebutan Mas atau Mbak padahal dia masih kecil. Juga memanggil yang lain dengan sebutan Dik, padahal dia jauh lebih tua.

Ketentuan itu berdasarkan tingkatan orang tua kami. Misal, kakak laki-laki bapak saya memiliki dua orang anak, sehingga saya diharuskan memanggil mereka―sepupu saya itu―dengan panggilan Mas atau Mbak. Walau kenyataannya anak keduanya sekarang masih SMA, beberapa tahun lebih muda dari saya, saya tetap harus memanggilnya Mbak. Karena itu tadi, bapak mereka adalah kakak bapak saya.

Contoh lain, adik perempuan dari ibu saya punya dua anak. Saya harus memanggil mereka dengan sebutan Dik dan mereka memanggil saya Mbak, walau sebenarnya anak pertamanya lebih tua beberapa tahun dari saya. Lagi-lagi, karena itu tadi, ibu saya adalah kakak dari ibu mereka.

Saya juga sudah punya cucu, sampai sekarang jumlahnya masih tujuh orang. Bahkan cucu yang tertua usianya juga lebih tua dari saya. Unik, kan? Cucu saya itu merupakan cicit dari kakak perempuan bapak saya―yang juga berarti cicitnya bapak. Sampai sini paham? Semua diajarkan oleh orang tua mereka untuk memanggil saya ‘Mbak’, padahal saya tidak keberatan kalau harus dipanggil ‘Nenek’ atau ‘Mbah’, wong saya suka! Sebutan ‘Mbah’ ada di antara kita biasanya hanya untuk guyonan dan saya menikmati.

Namun, bukan berarti tidak ada yang salah. Berhubung kami―dari pihak Ibu ataupun Bapak―adalah keluarga besar yang berarti saya punya banyak sepupu, keponakan, dan cucu. Ada beberapa orang dari kerabat saya yang saling-salah-panggil dengan saya. Menurut saya, itu adalah kesalahan orang tua kami dulu ketika memperkenalkan kami. Ketika kami sudah dewasa dan menyadari kesalahan itu, panggilan itu sudah susah dan aneh kalau diubah atau dibenarkan. Jadi, kami membiarkan hal itu terus berlangsung.

Namun, untuk kerabat dekat yang masih kecil, saya memaksa untuk memanggil saya dengan benar. Anak dari sepupu saya misalnya―keponakan saya―yang tinggalnya bersebelahan dengan rumah orang tua saya. Mereka memanggil adik saya dengan sebutan ‘Om’ dan itu benar, tetapi memanggil saya ‘Mbak’. Sudah tahu kelirunya? Seharusnya mereka memanggil saya ‘Tante’.

Karena mereka masih kecil dan saya pun dekat dengan mereka, maka saya mengubah itu. Membiasakan mereka memanggil saya dengan benar. Sekarang, kalau kami bertemu, sesekali mereka masih memanggil saya ‘Mbak’ tetapi saya terus mengoreksi sampai mereka ingat bahwa harus memanggil saya ‘Tante’. Bagaimanapun juga mereka sering kembali memanggil saya ‘Mbak’ karena orang tua mereka mengajarkan sepeti itu, oh well ….

Selain sebutan antaranggota keluarga, saya juga senang dengan sebutan yang diberikan oleh teman-teman saya. Mulai dari teman SD. Ada si A yang memanggil saya ‘Baby Huey’, ada yang ingat dengan kartun itu? Entah kenapa dia memanggil saya seperti itu, Baby Huey berbadan gemuk sedangkan saya tidak. Apakah saya mirip bebek? Oh I dunno ….
Lalu, ada juga si B yang memanggil saya ‘njebebeb’. Aneh, ya? Apa artinya coba? Dia sendiri pun tak tahu apa motivasinya memanggil saya begitu.

Si C (teman SMA) memanggil saya ‘Abel’ yang pada akhirnya saya juga memanggilnya begitu. Kalau yang ini karena pada masa itu ada sinetron yang pemerannya mengejek pemeran lain dengan sebutan ‘Abel’ sebagai singkatan dari ‘ABG Lebay’.

Kemudian teman-teman saya di bangku kuliah. Entah siapa yang memprakarsai duluan, terciptalah panggilan ‘Ebing’ atau disingkat ‘Bing’. Karena mereka dulu sering kumpul-kumpul di indekos saya dan menimbulkan keributan, maka tetangga-tetangga saya pun mendengarnya. Jadilah beberapa orang tetangga saya malah ikutan memanggil saya ‘Ebing’.
Ada yang lain, beberapa orang teman juga memanggil saya ‘Ebong’ atau disingkat ‘Bong’. Namun, tetangga saya tidak ikut-ikutan, rupanya mereka sudah nyaman dengan ‘Ebing’.

Terkait panggilan-panggilan itu, saya tidak mempermasalahkannya. Justru suka. Kenapa? Karena menurut saya, dengan adanya panggilan yang berbeda, membuat saya merasa spesial dan akan selalu diingat. Setuju dengan teori ini?


NB: semua sebutan untuk saya di atas masih berlaku sampai saat ini. Sebenarnya masih ada panggilan-panggilan lain yang datang dari rekan-rekan sekolah, tetapi tidak saya sebutkan, karena pertama … sebutan itu hanya singkat masa berlakunya. Sehingga, kedua … saya jadi lupa. Namun, saya yakin sekali ada beberapa panggilan lain untuk saya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo