Senang sekali
rasanya bisa menghayati rumah-rumah. Di mana pun itu, apa pun bentuknya. Namun proses
menghayati itu selalu hanya sekelebat, wajar karena saya melihat rumah-rumah
itu sambil jalan, entah naik motor, mobil, atau angkutan lainnya.
Cukup sering
saya menghayati rumah-rumah yang saya lalui. Kalau memang sedang tidak
terburu-buru, saya senang tengok kiri kanan melihat rumah-rumah. Apa sih yang
sebenarnya saya hayati? Selain bentuknya, saya juga menghayati suasananya. Mereka
beda-beda, kalaupun ada perumahan yang bangunannya sama pasti “isinya” beda.
Isi di sini bisa merujuk pada hal-hal yang materiel―penghuninya, perabotnya―maupun
yang tak tampak, suasana, rasa, aroma, emosi.
Dalam pengamatan
yang sekilas itu saya berpikir dan membayangkan bagaimana seandainya saya
tinggal di rumah itu? Ketika saya duduk di serambinya, berjalan di sampingnya,
beraktivitas di dalamnya. Sebagai catatan, bukan hanya rumah yang tampak
‘bagus’ yang saya hayati, namun apa saja, bagaimanapun bentuknya.
Maka, terkadang
saya membatin tinggal di sana kayaknya
seru juga atau uh, saya enggak bisa
tinggal di situ. Faktor penyebabnya bisa macam-macam.
Omong-omong, ada
satu rumah yang sangat ingin saya perhatikan lama-lama, tapi belum keturutan. Rumah
itu ada di belakang rumah mbah―saya tidak bilang bahwa rumah itu bagus, saya
hanya tertarik mengamatinya. Saya selalu lewat di depannya saat hendak ke
pasar, berhubung pasar di sini diadakan dua kali dalam lima hari, berarti saya
melewati rumah itu empat kali―dua kali ke pasar pulang pergi―dalam lima hari.
Tapi saya belum
benar-benar puas menghayatinya. Sebenarnya bisa saja saya mengabaikan rumah itu
sama dengan sekian ribu―atau ratusan ribu―rumah yang sudah pernah saya lewati
dalam hidup, namun berhubung rumah itu lokasinya dekat dan sering dilewati,
saya merasa perlu untuk berhasil menghayatinya. Ini misi saya.
Namun entah
mengapa saya selalu ‘tidak mampu’ melihatnya lama-lama. Padahal, letak rumah
itu menjorok ke dalam, jauh dari jalan, jadi halamannya luas sekali. Di jarak
yang jauh itu saya tetap tidak nyaman. Jadi, saya hanya melirik-lirik sedikit. Apa
yang saya takutkan? Saya takut kedapatan sedang memandang rumah itu! Ya.
Sebenarnya, entahlah ada orang atau tidak di depan rumah itu, namun tetap saja
saya was-was kalau saja ada yang menangkap basah saya sedang memandang ke sana.
Aneh. Saya
merasa aneh. Saya begitu tertarik, tapi tidak bisa memandang lama-lama karena
takut ketahuan. Untuk itu, saya menganggap ini sebuah misi yang harus
dituntaskan entah kapan, hingga saya puas menghayatinya. Kalau perlu, saya akan
berkunjung ke sana! Tapi… apa tujuannya?
Nah, untuk
urusan rumah idaman, saya tentu punya. Walau mungkin di masa depan keinginan
saya ini bisa berubah-ubah. Untuk sekarang, yang bisa saya ceritakan adalah
ketika nanti saya sudah punya rumah sendiri, di sana harus ada pohon cemara lilin.
Biar seperti castle-castle di negeri
dongeng gitu…. Pertama kali saya mengamati rumah-rumah di kaki gunung, di mana udaranya sangat lembab dan banyak kabut. Ada
beberapa rumah unik yang tampaknya nyaman, dan di sana terdapat pohon cemara
jenis itu. Indaaah sekali! Saya sungguh terpesona. Lalu saya ingin juga punya
pohon itu suatu saat nanti.
Lalu, seperti
apa rumahku nanti? Oh, tentu hanya kekasihkuyang tahu. :D
0 komentar:
Posting Komentar