Rabu, 11 April 2018

Menghayati Rumah



Senang sekali rasanya bisa menghayati rumah-rumah. Di mana pun itu, apa pun bentuknya. Namun proses menghayati itu selalu hanya sekelebat, wajar karena saya melihat rumah-rumah itu sambil jalan, entah naik motor, mobil, atau angkutan lainnya.

Cukup sering saya menghayati rumah-rumah yang saya lalui. Kalau memang sedang tidak terburu-buru, saya senang tengok kiri kanan melihat rumah-rumah. Apa sih yang sebenarnya saya hayati? Selain bentuknya, saya juga menghayati suasananya. Mereka beda-beda, kalaupun ada perumahan yang bangunannya sama pasti “isinya” beda. Isi di sini bisa merujuk pada hal-hal yang materiel―penghuninya, perabotnya―maupun yang tak tampak, suasana, rasa, aroma, emosi.

Dalam pengamatan yang sekilas itu saya berpikir dan membayangkan bagaimana seandainya saya tinggal di rumah itu? Ketika saya duduk di serambinya, berjalan di sampingnya, beraktivitas di dalamnya. Sebagai catatan, bukan hanya rumah yang tampak ‘bagus’ yang saya hayati, namun apa saja, bagaimanapun bentuknya.

Maka, terkadang saya membatin tinggal di sana kayaknya seru juga atau uh, saya enggak bisa tinggal di situ. Faktor penyebabnya bisa macam-macam.

Omong-omong, ada satu rumah yang sangat ingin saya perhatikan lama-lama, tapi belum keturutan. Rumah itu ada di belakang rumah mbah―saya tidak bilang bahwa rumah itu bagus, saya hanya tertarik mengamatinya. Saya selalu lewat di depannya saat hendak ke pasar, berhubung pasar di sini diadakan dua kali dalam lima hari, berarti saya melewati rumah itu empat kali―dua kali ke pasar pulang pergi―dalam lima hari.

Tapi saya belum benar-benar puas menghayatinya. Sebenarnya bisa saja saya mengabaikan rumah itu sama dengan sekian ribu―atau ratusan ribu―rumah yang sudah pernah saya lewati dalam hidup, namun berhubung rumah itu lokasinya dekat dan sering dilewati, saya merasa perlu untuk berhasil menghayatinya. Ini misi saya.

Namun entah mengapa saya selalu ‘tidak mampu’ melihatnya lama-lama. Padahal, letak rumah itu menjorok ke dalam, jauh dari jalan, jadi halamannya luas sekali. Di jarak yang jauh itu saya tetap tidak nyaman. Jadi, saya hanya melirik-lirik sedikit. Apa yang saya takutkan? Saya takut kedapatan sedang memandang rumah itu! Ya. Sebenarnya, entahlah ada orang atau tidak di depan rumah itu, namun tetap saja saya was-was kalau saja ada yang menangkap basah saya sedang memandang ke sana.

Aneh. Saya merasa aneh. Saya begitu tertarik, tapi tidak bisa memandang lama-lama karena takut ketahuan. Untuk itu, saya menganggap ini sebuah misi yang harus dituntaskan entah kapan, hingga saya puas menghayatinya. Kalau perlu, saya akan berkunjung ke sana! Tapi… apa tujuannya?

Nah, untuk urusan rumah idaman, saya tentu punya. Walau mungkin di masa depan keinginan saya ini bisa berubah-ubah. Untuk sekarang, yang bisa saya ceritakan adalah ketika nanti saya sudah punya rumah sendiri, di sana harus ada pohon cemara lilin. Biar seperti castle-castle di negeri dongeng gitu…. Pertama kali saya mengamati rumah-rumah di kaki gunung, di mana udaranya sangat lembab dan banyak kabut. Ada beberapa rumah unik yang tampaknya nyaman, dan di sana terdapat pohon cemara jenis itu. Indaaah sekali! Saya sungguh terpesona. Lalu saya ingin juga punya pohon itu suatu saat nanti.

Lalu, seperti apa rumahku nanti? Oh, tentu hanya kekasihkuyang tahu. :D

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo