“Aku justru orang yang paling bersedih. Karena aku
tahu…
apa yang nggak bakal pernah bisa aku miliki.”
―Hanya Isyarat, Rectoverso.
Belakangan ini saya ingat Rectoverso. Buku karangan
Dee Lestari yang lima cerita di dalamnya diadaptasikan menjadi sebuah film
omnibus. Dari lima cerita yang difilmkan itu, saya sangat menyukai yang
berjudul Hanya Isyarat. Syahduuu banget.
Saya sangat suka film-film yang lembut tapi pesan dan
perasaannya bisa tersampaikan. Pun monolog atau dialognya yang jernih, hening,
dan lembut. Suasananya, suara-suaranya, teknik pengambilan gambarnya, juga
semua pemerannya yang cocok dan karakternya unik-unik.
Lagu soundtrack-nya pun tidak kalah syahdunya.
Suaranya pas, liriknya mengagumkan, luar biasa. Masterpiece sebuah film pendek―menurut saya.
Cerita tentang ‘punggung’ di dalam Hanya Isyarat
sungguh menarik sekaligus menyayat hati. Cinta yang bijaksana, menyimpannya
dalam hening, mengamati punggungnya dari sudut remang. Melihat orang yang kita
cintai dari balik punggungnya, dari kejauhan. Cukup. Memberinya isyarat lewat
angin, hujan, langit, malam, puisi…. Oh, kisah yang begitu indah.
Omong-omong tentang punggung, menurut saya, punggung
memang daya tarik tersendiri dari seorang pria. :)
…
Sesaat dunia jadi tiada
Hanya diriku yang
mengamatimu
Dirimu yang jauh di sana
Ku takkan bisa lindungi hati
Jangan pernah kau tatapkan
wajahmu
Bantulah aku semampumu
…
(Sepenggal lirik lagu Hanya Isyarat)
0 komentar:
Posting Komentar