Kamis, 12 April 2018

Menjadi Manusia Karena “Life of Pi”



“Orang bisa terbiasa dengan apa pun―termasuk membunuh.”
―Pi Patel dalam Life of Pi

Novel ini saya dapatkan secara tak sengaja, pada sebuah toko buku, terselip di pinggiran rak, hanya satu, sudah terlepas dari plastik pembungkusnya. Jika buku lain banyak yang dipajang dalam posisi menghadap ke depan, novel “sebatang kara” ini posisinya menyamping dengan bagian punggung di sisi dalam rak (bukan sisi luar). Karena penasaran apa judulnya, saya menarik sedikit buku itu hingga keluar setengahnya dari rak. Dan di sana tertera… “Life of Pi”. Dalam gerakan tergesa-gesa saya menarik seutuhnya buku itu keluar dari rak, beralih ke pelukan saya dan tak saya lepas-lepas lagi. Tak perlu banyak pertimbangan untuk memutuskan membeli buku ini, saya tahu ini novel bagus.

Dulu, saya pernah lihat sekilas filmnya tapi tidak menonton, hanya melihat sekilas saja. Informasi yang saya dapatkan waktu itu hanyalah seorang pria, di tengah lautan, perahu kecil (yang ternyata skoci), dan seekor harimau. Sudah.

Seperti yang saya ketahui, novel ini sangat bagus. Di bagian awal-awal saya banyak tertawa, pembahasan tentang sloth-sloth memang sangat lucu dan menarik. Juga membuat saya memiliki pandangan yang baru terhadap kebun binatang. Di bagian tengah, saya mulai cemas dan tegang, walau sesekali masih juga tertawa. Di akhir, saya masih terkagum-kagum, takjub, heran, juga beberapa kali tertawa-tawa. Merinding? Sudah pasti!

Diceritakan bahwa seorang anak lelaki India berusia 16 tahun bernama Pi Patel salah satu korban tenggelamnya kapal Tsimtsum di Samudra Pasifik pada tanggal 2 Juli 1977. Pi menjadi satu-satunya korban selamat dan ditemukan pada 14 Februari 1978.

Pi adalah satu-satunya manusia yang selamat bersama beberapa binatang di dalam satu-satunya skoci yang berhasil diturunkan, sebelum kapal itu benar-benar tenggelam. Ada seekor hyena, seekor zebra yang kakinya patah, seekor orang utan betina, juga seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kg. Serta tikus-tikus, kecoak-kecoak, dan lalat-lalat yang eksistensinya tak terlalu lama. Ekosistem yang jelas-jelas sangat membingungkan.

Saat itu saya berpikir, bagaimana jika di skoci itu juga ada sloth? Betapa lucunya fenomena itu, kemungkinan besar sloth itu tidak akan peduli dengan kondisi semengerikan apa pun, dia cuek bebek walaupun situasinya mereka sedang terkatung-katung di Samudra Pasifik. Dan mungkin dia akan jadi makanan Richard Parker yang paling anteng.

Oh ya, Richard Parker adalah nama si harimau. Sedangkan si orang utan disebut Orange Juice, saya terpingkal-pingkal ketika mengetahui nama itu. Pasalnya si orang utan memang air liurnya suka menetes-netes, tapi apa hubungannya sama orange juice? Saya juga bingung. Tapi nama itu memang cocok, entah apa alasannya. Sampai saat ini saya masih terbayang kalau melihat menu orange juice maka saya akan ingat orang utan itu.

Kengerian yang saya rasakan ketika si zebra dimakan hidup-hidup oleh hyena. Doaku menyertaimu, Zebra. Takjub saat Pi sampai di sebuah pulau yang penuh ganggang. Betapa ajaib sekaligus mengerikannya pulau itu. Pulau yang bersifat karnivora. Terkejut saat Pi bertemu dengan orang lain di tengah lautan itu―sama-sama korban kapal tenggelam―yang lalu saling membahas makanan. Saya juga sedih, sorry… amat teramat sedih, ketika skoci itu berhasil menepi di daratan, begitu turun dari skoci Richard lalu pergi dan menghilang, tanpa menunjukkan salam perpisahan apa pun pada Pi. Sejak itu, Pi tidak pernah melihatnya lagi.

Sungguh… itu perpisahan yang mengharukan. Emosi saya sangat tersentuh sekaligus meledak-ledak di sini. Dibandingkan perpisahan Pi dengan orang tua dan kakaknya―yang tenggelam bersama kapal Tsimtsum―saya lebih sedih dengan perpisahan tak terduga ini. Mungkin karena Richard Parker menghabiskan banyak waktu bersama Pi.

Omong-omong, saya juga menyukai perkataan Pi yang ini; “Kalau kota Tokyo dijungkirbalikkan dan diguncang-guncang…” Oh yeah… bayangkan saja apa yang berjatuhan dari sana.


Saya kagum dengan ketekunan ibadah Pi yang sembahyang lima kali sehari. Dan dia juga melakukan misa, darshan, dan puja, karena dia Muslim, Kristen, dan juga Hindu. Dia melakukan semuanya seorang diri di tengah Samudra Pasifik. Dan benar, seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, kisah ini akan membuat orang percaya pada Tuhan.

Dari novel ini pula saya mendapatkan pelajaran apa yang harus dilakukan jika terkatung di tengah lautan. Pelajaran tentang keperayaan atas kuasa Tuhan. Tentang betapa hal sesederhana apa pun yang kita alami dan rasakan itu patut disyukuri. Ketika saya melihat air, pohon, tanah, pakaian, kasur, rumah, tetangga, rumput… dan segalanya, saya selalu ingat pada kisah Pi. Hidup saya pun berubah.

Buku yang begitu menakjubkan, bagaimana sebuah novel telah membuat saya menjadi manusia yang lebih baik.


NB: Novel ini sekarang sudah ada di pangkuan Ibu. Saya mengirimnya pulang karena Ibu harus segera baca, sehingga ketika saya pulang nanti kita akan terpekik-pekik seru membahas novel ini :D

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo