“Orang bisa terbiasa dengan apa pun―termasuk
membunuh.”
―Pi Patel dalam Life of Pi
Novel ini saya
dapatkan secara tak sengaja, pada sebuah toko buku, terselip di pinggiran rak,
hanya satu, sudah terlepas dari plastik pembungkusnya. Jika buku lain banyak
yang dipajang dalam posisi menghadap ke depan, novel “sebatang kara” ini
posisinya menyamping dengan bagian punggung di sisi dalam rak (bukan sisi luar).
Karena penasaran apa judulnya, saya menarik sedikit buku itu hingga keluar
setengahnya dari rak. Dan di sana tertera… “Life of Pi”. Dalam gerakan
tergesa-gesa saya menarik seutuhnya buku itu keluar dari rak, beralih ke
pelukan saya dan tak saya lepas-lepas lagi. Tak perlu banyak pertimbangan untuk
memutuskan membeli buku ini, saya tahu ini novel bagus.
Dulu, saya
pernah lihat sekilas filmnya tapi tidak menonton, hanya melihat sekilas saja.
Informasi yang saya dapatkan waktu itu hanyalah seorang pria, di tengah lautan,
perahu kecil (yang ternyata skoci), dan seekor harimau. Sudah.
Seperti yang
saya ketahui, novel ini sangat bagus. Di bagian awal-awal saya banyak tertawa,
pembahasan tentang sloth-sloth memang
sangat lucu dan menarik. Juga membuat saya memiliki pandangan yang baru
terhadap kebun binatang. Di bagian tengah, saya mulai cemas dan tegang, walau
sesekali masih juga tertawa. Di akhir, saya masih terkagum-kagum, takjub,
heran, juga beberapa kali tertawa-tawa. Merinding? Sudah pasti!
Diceritakan
bahwa seorang anak lelaki India berusia 16 tahun bernama Pi Patel salah satu
korban tenggelamnya kapal Tsimtsum di
Samudra Pasifik pada tanggal 2 Juli 1977. Pi menjadi satu-satunya korban
selamat dan ditemukan pada 14 Februari 1978.
Pi adalah
satu-satunya manusia yang selamat bersama beberapa binatang di dalam satu-satunya
skoci yang berhasil diturunkan, sebelum kapal itu benar-benar tenggelam. Ada
seekor hyena, seekor zebra yang kakinya patah, seekor orang utan betina, juga
seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kg. Serta tikus-tikus, kecoak-kecoak,
dan lalat-lalat yang eksistensinya tak terlalu lama. Ekosistem yang jelas-jelas
sangat membingungkan.
Saat itu saya
berpikir, bagaimana jika di skoci itu juga ada sloth? Betapa lucunya fenomena itu, kemungkinan besar sloth itu tidak akan peduli dengan
kondisi semengerikan apa pun, dia cuek bebek walaupun situasinya mereka sedang
terkatung-katung di Samudra Pasifik. Dan mungkin dia akan jadi makanan Richard
Parker yang paling anteng.
Oh ya, Richard
Parker adalah nama si harimau. Sedangkan si orang utan disebut Orange Juice,
saya terpingkal-pingkal ketika mengetahui nama itu. Pasalnya si orang utan
memang air liurnya suka menetes-netes, tapi apa hubungannya sama orange juice? Saya juga bingung. Tapi
nama itu memang cocok, entah apa alasannya. Sampai saat ini saya masih terbayang
kalau melihat menu orange juice maka
saya akan ingat orang utan itu.
Kengerian yang
saya rasakan ketika si zebra dimakan hidup-hidup oleh hyena. Doaku menyertaimu, Zebra. Takjub saat Pi
sampai di sebuah pulau yang penuh ganggang. Betapa ajaib sekaligus
mengerikannya pulau itu. Pulau yang bersifat karnivora. Terkejut saat Pi
bertemu dengan orang lain di tengah lautan itu―sama-sama korban kapal
tenggelam―yang lalu saling membahas makanan. Saya juga sedih, sorry… amat teramat sedih, ketika skoci
itu berhasil menepi di daratan, begitu turun dari skoci Richard lalu pergi dan
menghilang, tanpa menunjukkan salam perpisahan apa pun pada Pi. Sejak itu, Pi
tidak pernah melihatnya lagi.
Sungguh… itu
perpisahan yang mengharukan. Emosi saya sangat tersentuh sekaligus
meledak-ledak di sini. Dibandingkan perpisahan Pi dengan orang tua dan
kakaknya―yang tenggelam bersama kapal Tsimtsum―saya lebih sedih dengan
perpisahan tak terduga ini. Mungkin karena Richard Parker menghabiskan banyak
waktu bersama Pi.
Omong-omong,
saya juga menyukai perkataan Pi yang ini; “Kalau kota Tokyo dijungkirbalikkan
dan diguncang-guncang…” Oh yeah…
bayangkan saja apa yang berjatuhan dari sana.
…
…
Saya kagum
dengan ketekunan ibadah Pi yang sembahyang lima kali sehari. Dan dia juga melakukan
misa, darshan, dan puja, karena dia Muslim, Kristen, dan
juga Hindu. Dia melakukan semuanya seorang diri di tengah Samudra Pasifik. Dan
benar, seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, kisah ini akan membuat
orang percaya pada Tuhan.
Dari novel ini
pula saya mendapatkan pelajaran apa yang harus dilakukan jika terkatung di
tengah lautan. Pelajaran tentang keperayaan atas kuasa Tuhan. Tentang betapa
hal sesederhana apa pun yang kita alami dan rasakan itu patut disyukuri. Ketika
saya melihat air, pohon, tanah, pakaian, kasur, rumah, tetangga, rumput… dan
segalanya, saya selalu ingat pada kisah Pi. Hidup saya pun berubah.
Buku yang begitu
menakjubkan, bagaimana sebuah novel telah membuat saya menjadi manusia yang
lebih baik.
NB: Novel ini sekarang
sudah ada di pangkuan Ibu. Saya mengirimnya pulang karena Ibu harus segera
baca, sehingga ketika saya pulang nanti kita akan terpekik-pekik seru membahas
novel ini :D
0 komentar:
Posting Komentar