Ada berbagai
pilihan bagaimana kita menyikapi apa yang hadir atau apa yang terjadi di hidup
kita. Ketika sakit, misalnya. Saya termasuk orang yang sangat jarang sariawan,
seingat saya, dalam hidup baru dua kali mengalaminya. Pertama sewaktu kuliah
dan yang terakhir beberapa minggu yang lalu, saat-saat saya makan mie ayam terenak se-Indonesia.
Karena termasuk
jarang merasakan sariawan, saya merasa kejadian itu sangat mengganggu sekaligus
aneh, karena jarang merasakan. Dan ini bukan main-main, tidak hanya satu…
jumlahnya lima titik sariawan, di mulut saya! Bicara sakit, sikat gigi sakit,
makan sakit…. Mengganggu sekali.
Sebagai manusia,
saya dikaruniai kemampuan untuk berpikir. Juga kebebasan serta kemampuan untuk
memilih bagaimana menjalani hidup saya. Pada saat sariawan, saya bisa memilih
untuk merasa terganggu, marah-marah, kesal, dan terus-terusan mengeluh. Pun
saya juga bisa memilih untuk santai saja, tetap berpikir positif, dan terus
merasa gembira, kalau perlu malah menertawakannya. Dan jelas, saya memilih yang
kedua.
Berhari-hari
saya merasa tidak nyaman dengan sariawan-sariawan itu, namun saya tetap enjoy
dan terus beraktivitas seperti biasa, seolah-olah mulut saya baik-baik saja. Rasanya
memang sangat pedih, apalagi saat mengunyah makanan, namun saya tetap berpikir
positif bahwa sakit ini akan berlalu. Pada akhirnya sariawan ini akan usai.
Abaikan saja.
Benar saja,
empat hari kemudian saya terkejut ketika tiba-tiba merasa ada yang berubah. Ya!
Sariawan saya hilang! Berkali-kali saya mengecek di depan cermin, dan
bintik-bintik mengerikan itu memang sudah lenyap, tak berbekas. Bagaimana bisa?
Saya terheran-heran. Lalu memonyong-monyongkan mulut dengan aneka gaya untuk
memastikan lagi apakah benar-benar sudah tidak sakit. Hei! Memang tidak sakit.
Saya jadi pengin peluk Tuhan.
….
Sama dengan
sariawan, seminggu yang lalu saya mengalami nyeri di punggung, sangaaat sakit
dan juga sangaaat mengganggu. Saya menyadarinya pun tiba-tiba, pada saat sedang
beraktivitas seperti biasa, saya merasa seperti ada yang salah di tubuh saya. Lalu
saya bergerak-gerak, oh yeah…
punggung saya nyeriii sekali. Di area punggung―ingat punggung, bukan pinggang―sebelah
kanan hingga ke bahu dan leher, bahkan rasanya menembus hingga ke dada. Awalnya
saya merasa panik, heran… kenapa badan saya tiba-tiba begini?
Mau berdiri
sakit, duduk sakit, geser sedikit sakit, menoleh sakit, menunduk sakit, baring
sakit, apa-apa sakit. Gerakan saya jadi serba “anggun”, tidak bisa pecicilan
lagi. Ini tidak bisa dibiarkan, pikir saya waktu itu. Karena sama sekali tidak
memiliki buku bertema kesehatan, saya menelusuri Google untuk mencari
pencerahan. Lalu saya menyimpulkan bahwa nyeri punggung saya ini diakibatkan gaya
hidup saya yang kurang baik. Seperti posisi tidur dan duduk yang salah.
Saya bisa
berjam-jam duduk di depan laptop, dan karena belum punya meja, maka posisi
duduk saya serampangan, aneka gaya, meliuk ke sana-sini apalagi saya memang
sering duduk dengan punggung yang membungkuk. Itu kesalahannya.
Penyembuhannya?
Artikel-artikel di Google menawarkan mulai dari mengonsumsi obat-obatan sampai
yang alami. Karena rasa nyeri ini sangat mengganggu aktivitas saya, sempat
berpikir untuk minum parasetamol saja. Dengan alasan biar cepat sembuhnya. Tapi
saya urungkan begitu melihat cara menyembuhkan secara alami. Dari beberapa poin
yang disarankan, saya memilih dua di antaranya. Pertama, sakit punggung ini
bisa disembuhkan dengan cara: jangan
panik/berpikir positif.
Beberapa
aritikel yang saya baca sama-sama menyebutkan “jangan panik”/”berpikir positif”
sebagai salah satu cara penyembuhan nyeri punggung. Maksudnya adalah tidak
perlu panik terhadap rasa sakit itu, panik atau cemas berlebihan―kata lainnya…
lebay―malah membuat sakit tidak kunjung sembuh. Usahakan terus berpikir positif
agar tidak stres karena bisa membuat badan serta pikiran jadi rileks, untuk
kemudian bisa mengurangi ketegangan otot-otot yang sedang sakit.
Yang kedua: tetap bergerak. Mungkin ada yang
berpikir untuk istirahat total saja, menghabiskan hari dengan rebahan di kasur.
Tadinya saya juga berpikir begitu. Namun penjelasan di artikel itu masuk akal
juga, saya harus tetap bergerak. Saya beraktivitas seperti biasa tapi dengan
posisi yang benar. Sesekali juga melakukan peregangan-peregangan tubuh, yang
ibaratnya sedang melakukan terapi pemulihan.
Nah, setelah
saya melakukan dua hal itu: jangan panik dan tetap bergerak, lalu… bum! Dua
hari kemudian nyerinya hilang! Untuk memastikannya saya sampai harus kayang
lalu salto-salto ceria―Anda percaya ini?―memelintir-melintirkan dan
meliuk-liukkan badan serta mencoba posisi aneka gaya. Benar, sudah tidak sakit.
Saya bahagia sekali. Pengin peluk Tuhan lagi.
See?
Saya memilih untuk tetap menjalani hari seperti biasa―walau tidak optimal
seperti saat normal―daripada mengeluh dan mengaduh yang hanya bisa rebahan
berhari-hari. Tuhan memberikan kejutan berupa kesembuhan yang tak diduga-duga.
Lagi pula, saya mendapatkan pelajaran penting dari sariawan dan nyeri punggung
ini, pelajaran tentang syukur.
Ketika sariawan menyerang,
saya kemudian sadar bahwa betapa nikmatnya hari-hari normal di mana saya bisa
makan dengan nyaman dan berbicara dengan bebas. Hal yang tidak saya sadari
ketika sehat. Begitu pun dengan punggung, ketika nyeri baru saya berpikir
alangkah nikmatnya ketika badan saya baik-baik saja. Lagi-lagi… hal yang tidak
saya sadari ketika sehat.
Dan hal-hal yang
tampaknya sederhana bahkan sepele―sehingga terabaikan―itulah yang harus saya
syukuri. Kenikmatan luar biasa yang diberikan Tuhan pada kita adalah kesehatan,
yang sering kali terabaikan dan baru sadar ketika sudah sakit.
Terima kasih,
Tuhan….
NB: Lalu saya
percaya bahwa sakit apa pun itu, jangan panik dan tetap berpikir positif, berdoa
dan tetap bersyukur. Itulah beberapa hal yang menjadi obat terpenting.
0 komentar:
Posting Komentar