Rabu, 30 Mei 2018

Cermin Hidup dalam Eulachacha Waikiki



Awal mula kenapa saya bisa nonton drama ini adalah karena tante yang nonton duluan. Dia terpingkal-pingkal sendiri dan saya penasaran. Dia sudah mengingatkan bahwa drama ini komedi yang terkadang ceritanya absurd. Tapi, akhirnya saya terjebak juga dan bertekad menontonnya sampai habis. Sementara tante saya malah berhenti nonton.

Totalnya 20 episode. Menurutku drama ini memang lucu, untuk hiburan, tapi lucunya biasa saja. Karena … terkadang ceritanya enggak masuk akal, jadi lucunya pun enggak secara sukarela. Adakalanya saya malah merasa sebal―karena saking enggak masuk akalnya cerita itu. Kalau sudah seperti itu saya akan berhenti nonton sampai mood saya kembali baik untuk melanjutkan jalan ceritanya.

Yang saya suka dari keseluruhan drama itu adalah setiap konfliknya berjalan tidak begitu lama, sehingga segera ada penyelesaian atau akhir dari konflik itu, tidak bertele-tele yang bisa jadi menyebalkan. Mungkin kamu berpikir, 20 episode tapi konfliknya berakhir dengan cepat, bagaimana bisa? Ya, karena konfliknya bukan hanya satu, tapi bejibun!

Waikiki bisa merupakan refleksi kehidupan kita ini, hidup yang adaaa ... aja masalahnya. Dalam menggapai cita-cita, cinta, impian, selalu ada banyak rintangan―walaupun ada sih orang yang lancar-lancar saja urusannya. Dari seluruh pemeran utama Waikiki saya mendapatkan pelajaran berupa semangat mereka yang tidak pernah luruh walau selama proses menggapai impian itu tidak pernah berjalan mulus. Bahkan saat sudah tercapai pun tetap masih ada saja hambatannya.

Hidup mereka memang benar-benar kacau! Tapi … berdasarkan pengamatan saya, yang hidupnya paling sengsara adalah Lee Joon Ki. Yup, dia. Miris sekali dan saya sering terpingkal-pingkal karenanya. Kamu harus nonton drama ini kalau ingin tahu seberapa tersiksanya hidup Lee Joon Ki dalam menggapai impian dan cintanya.

Saat ini, saya sudah menyelesaikan kesemua episodenya. Ending-nya, semua baik-baik saja dan bahagia. Ada satu makna yang saya petik dari episode akhir drama itu, mereka sudah sama-sama bekerja keras untuk kemudian berhasil menggapai impian, namun bukan berarti semua harus berhenti ‘hanya’ karena cinta. Oh, cinta yang bijak. Masing-masing pihak saling memahami. Betapa indahnya.

Buku Paling Berpengaruh



Dalam hidup, kita memiliki alasan atau sebab masing-masing untuk bisa berubah, entah sikap, prilaku, pola pikir, pola hidup, dan sebagainya. Mengenai buku, ada tiga buku―setidaknya sampai saat ini―yang paling berpengaruh di hidup saya.

Pertama, Perahu Kertas. Novel Dee Lestari yang pertama kali saya kenal, saya jatuh cinta padanya, dan karena ‘dia’ hidup saya mengalami perubahan. Jujur saya katakan ini, Perahu Kertas adalah pemantik awal mula saya bisa berkarya dalam bentuk tulisan, hingga saya bisa terus menulis hingga saat ini―dan seterusnya. Beberapa pola pikir saya pun berubah.

Kedua, Life of Pi. Novel karya Yann Martel ini membuat saya berubah jadi manusia yang lebih baik. Membuka pikiran saya bahwa hal terkecil pun yang saya alami, yang saya miliki, yang saya nikmati, sampai yang paling tidak disadari sekalipun adalah nikmat yang tiada tara, saya harus sangat bersyukur atas semuanya, semuaaa.

Ketiga, Codex: Konspirasi Jahat di Atas Meja Makan Kita. Novel ini karya Rizki Ridyasmara juga sangat mengubah hidup saya. Bukan menjadi paranoid, tapi lebih waspada kepada pihak-pihak 'penggerak'/'penguasa' dunia ini, kepada seluruh kelicikan, rahasia, dan rencana-rencana jahat, pada semua kengerian isi dunia ini. Mau tidak mau, yang awalnya saya berbelanja durasinya agak lama karena harus memeriksa ada tidaknya label halal dari MUI dan mengecek tanggal kadaluwarsa, kini semakin lama karena terkadang begitu menghayati komposisi dengan kening berkerut-kerut. Ya, karena novel ini.

Tiga buku tersebut memang novel, namun ketiga buku itulah yang sampai saat ini begitu mempengaruhi hidup saya. Entah apakah akan ada buku berikutnya.

Kalau kamu, apa yang begitu berpengaruh di hidupmu?

Apa? Aku?

Uwuwuwu~

Jumat, 18 Mei 2018

Kesederhanaan dalam Little Forest



“Jae Ha benar. Aku mengabaikan yang penting
dan menghindari masalah dengan pura-pura bekerja keras.”
―Hae Won
“Ketika semuanya sulit ... ingatlah aroma tanah, angin, dan matahari di sini.
Lalu Ibu tahu kau bisa membersihkan dirimu dan bangkit lagi.
Anggap saja ini sebagai awal perjalanan panjang untuk kembali ke rumah.”
―Ibu Hae Won
“Untuk Ibu ... sifat, memasak, dan cintanya padaku adalah hutan kecilnya.
Aku juga harus mencari hutan kecilku sendiri.”
―Hae Won

Film dari Negeri Ginseng ini begitu sederhana dan hangat. Di balik ketidakmengertian saya dengan apa yang terjadi pada Hae Won dan ibunya, saya sangat menyukai kesibukan Hae Won di rumah kampung halamannya. Bagaimana dia menanam, menyaksikan benih yang tumbuh, menyiangi ladang, panen, lalu mengolahnya menjadi makanan lezat.

Awalnya saya merasa heran, “Ini film kok kayak video kuliner?” Namun lama-kelamaan saya sangat menikmatinya. Si pemeran utama, Hae Won, selalu menyiapkan persediaan makannya sendiri, terkadang juga disantap bersama sahabat-sahabatnya. Dia selalu bisa menyiapkan persediaan makanan untuk musim berikutnya. Itu yang membuatnya keren.

Namun … ada dua masakan yang sangat mengejutkan saya, dan paling tidak bisa saya tolerir. Dua masakan tersebut melibatkan bunga. Ya, bunga. Saya sangaaat … sangat menghindari makan bunga. Di film ini kita diperlihatkan bagaimana bunga-bunga yang cantik itu diolah, disajikan, dan dimakan dengan nikmat! Wooaaa.

Oke, kita beralih dari urusan bunga-bunga itu. Saya sangat menyukai film ini. Persahabatannya, suasana kampungnya, kebun-kebunnya, masyarakatnya, dan semuanya. Oh, betapa menyenangkan dan gembiranya bertani/berkebun. Masyarakat di desa selalu punya cara untuk menyajikan makanan-makanan segar. Mereka adalah orang-orang yang mandiri, bisa hidup sendiri, dari tanaman-tanaman mereka … dari alam. Oh, sungguh, semesta selalu punya caranya sendiri.

Tontonlah film ini, dan siap-siap ngiler! :p

Surat: Pengakuan, Klarifikasi, Penolakan



“Wah ... kayaknya yang ini privasi banget deh.” Tante melipat kembali kertas yang dipegangnya.

Saya yang sedang melihat-lihat gambar buatan almarhum Om, langsung menoleh. “Apa?”

“Suratnya ibumu, hahaha.”

“Mana, mana!” Kertas itu berpindah ke tanganku. Di selembar kertas usang itu tersebar tulisan yang acak-acakan.

“Hahahaha …” saya terpingkal-pingkal.

“Yang ini dari pihak si cowok. Wahahaha ….” Rupanya Tante mendapat surat lain. “Itu isinya apa?” tanyanya.

“Yang itu dulu, isinya apa?”

“Jadi, laki-laki ini klarifikasi bahwa gosip tentang dirinya yang mau menikah dengan perumpuan dari A itu nggak bener. Dia berharap ibumu nggak percaya dengan berita itu. Dia seriusnya sama ibumu. Hahahaha.”

“Hahahaha …. Kalau yang ini, penyampaiannya panjang lebar sih, tapi intinya adalah … penolakan.”

“Hahahaha …”

“Jadi begini ya caranya menolak cowok, hahahaha. Ribet banget, hahahaha. Harus muter-muter dulu ngomongnya.”

“Hahaha ….”

Kegiatan memilah-milah barang lama di rumah nenek ini jadi semarak, seiring adanya penemuan-penemuan barang-antik-nan-fenomenal milik tante-tante, om, dan ibu saya.

Perihal surat-surat antara ibu saya dan lelaki itu, kami bukannya mentertawakan perasaan-perasaan mereka, bukannya tidak menghargai atau meremehkan. Hanya saja, kami yang hidup di era milenial ini sangat merasa lucu dan takjub dengan kisah cinta puluhan tahun yang lalu. Surat dan segala prosesnya. Masing-masing pihak sama-sama sopan dan saling menghargai. Walaupun menolak atau ditolak, tapi semua tetap berjalan lembut dan hangat.


NB: setelah dua orang teman yang lalu, apakah ada lagi yang minat berkirim surat dengan saya?

Jumat, 11 Mei 2018

Cium Lutut dalam Rangka Rindu Adik


Saya tuh rindu ….

Rindu eyelannya adik ….

Rindu suara gergajinya, suara palunya, suara ketika ia berkata “Ngoten? Ngoten to … ngoten?[1]” Tentu itu adalah ejekan.

Selalu ada rahasia-rahasia di antara kami. Misalnya saja, saya merahasiakan tanggal kepulanganku dan dia merahasiakan hal-hal baru yang ada di rumah. Saya merahasiakan oleh-oleh untuk dirinya dan dia merahasiakan ornamen baru―buatannya―di kamarku.

Kami adalah orang-orang yang enggak bisa dibuat penasaran, tapi kami saling melakukannya, saling menyiksa. Biasanya kami akan saling meminta clue dan menebak-nebak. Tapi tetap tak terpecahkan, kita saling mengecoh.

….

Saya adalah orang paling cerewet tentang dia yang harus rutin mencium lututnya. Kalau kami sedang duduk-duduk lalu saya ingat hari itu dia belum mencium lututnya, maka saya akan mengingatkannya. Hal itu adalah ritual penting yang saya wajibkan untuk dilakukan olehnya.

“Cium lutut dulu.”

Lalu dia tinggal memberdirikan kakinya yang tertekuk, mencium lututnya dengan efek bunyi “Muaaach!” penuh penekanan dan begitu menghayati.

Kalau sudah begitu, saya akan menoyor kepalanya. “Yang bener!” sambil terpingkal-pingkal. Dia tahu, bukan ‘mencium lutut’ seperti itu yang saya maksud. Tapi terkadang dia memang jahil plus sepertinya sudah bosan dengan suruhanku yang satu itu.

Mencium lutut: gerakan duduk sambil meluruskan kedua kaki rapat ke depan, lalu membungkukkan badan hingga kepala menyentuh lutut. Apa ya namanya dalam olahraga? Saya tidak tahu istilahnya―dan tidak mencari tahu―untuk itu, biar mudah maka saya menyebut gerakan itu ‘mencium lutut’.

Seperti percakapan via telepon terakhir:

“Sudah cium lutut?”

“Em …” jeda dua detik, saya sudah tahu arti di baliknya. “E … sudah,” jawabnya lirih.

“Ayo cepat! Sekarang.”

“Iya-iya … sebentar.”

“Ya sekarang.” Hening. “Halo … halo,” panggilku.

Dua detik kemudian, “Nah … sudah.”

“Kamu dari mana, sih?” saya sewot.

“Katanya suruh cium lutut …,” ujarnya sebal.

“Oh ….”

Entah kenapa, menurutku orang yang bisa ‘mencium lutut’ itu keren. Pasalnya dulu ketika jaman sekolah dan pelajaran olahraga, saya tidak bisa melakukan gerakan itu. Hanya sedikit teman-teman yang bisa melakukannya dengan sempurna.

Untuk itu, sejak beberapa tahun yang lalu, ketika saya sadar adik saya bisa melakukannya dengan mudah―pasti karena tulangnya masih lentur―maka saya gencar menyuruhnya berlatih. “Biar tetap bisa, gak sakit,” ujar saya.

Pernah beberapa bulan berlalu tanpa saya mengingatkannya dan dia sama sekali tidak melakukannya. Karena … dia itu kalau enggak disuruh enggak akan gerak! Jadi saya mengingatkannya lagi.

“Sudah?”

“Iya, sudah,” jawabnya di seberang sana.

“Sakit gak?”

“Hehe … iya, sakit,” terdengar kekehannya.

“Nah, kan!” saya gemas. Kalau gerakan itu tidak latih, lama-kelamaan akan sakit di punggung saat mencobanya lagi, dan bisa jadi malah tidak bisa lagi melakukannya sama sekali.


Selain itu, saya juga rindu dialog-dialog absurd dengannya. Misalnya tentang pesan singkat di suatu malam:

“Mbak, sekarang kamu sibuk apa?”

“Kenapa?” Saya balas bertanya karena jawaban pertanyaan itu ‘tergantung’. Tergantung dia mau ada apa? Bisa jadi saya sibuk dan tidak sibuk.

“Jawab saja.”

“Gak ada apa-apa.”

“Ooh, ya udah besok aku mau ngomong. Ok.”

Lah, kenapa gak sekarang aja? Kalau gitu ngapain nanya? Pesan itu tidak saya balas.

Satu jam kemudian ada pesan baru. “Semoga kamu bisa.”

“Apa? Beli online?” Dugaan saya itu. Karena belakangan dia heboh mau beli drone secara online.

“Besok aja.”

Tidak saya balas lagi. Dia memang suka aneh. Abaikan saja.

….
….

Jadi, sudahkah kamu mencium lututmu hari ini?



[1] Begitu? Begitu ya … begitu? (dalam bahasa Jawa halus)
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo