Jumat, 18 Mei 2018

Surat: Pengakuan, Klarifikasi, Penolakan



“Wah ... kayaknya yang ini privasi banget deh.” Tante melipat kembali kertas yang dipegangnya.

Saya yang sedang melihat-lihat gambar buatan almarhum Om, langsung menoleh. “Apa?”

“Suratnya ibumu, hahaha.”

“Mana, mana!” Kertas itu berpindah ke tanganku. Di selembar kertas usang itu tersebar tulisan yang acak-acakan.

“Hahahaha …” saya terpingkal-pingkal.

“Yang ini dari pihak si cowok. Wahahaha ….” Rupanya Tante mendapat surat lain. “Itu isinya apa?” tanyanya.

“Yang itu dulu, isinya apa?”

“Jadi, laki-laki ini klarifikasi bahwa gosip tentang dirinya yang mau menikah dengan perumpuan dari A itu nggak bener. Dia berharap ibumu nggak percaya dengan berita itu. Dia seriusnya sama ibumu. Hahahaha.”

“Hahahaha …. Kalau yang ini, penyampaiannya panjang lebar sih, tapi intinya adalah … penolakan.”

“Hahahaha …”

“Jadi begini ya caranya menolak cowok, hahahaha. Ribet banget, hahahaha. Harus muter-muter dulu ngomongnya.”

“Hahaha ….”

Kegiatan memilah-milah barang lama di rumah nenek ini jadi semarak, seiring adanya penemuan-penemuan barang-antik-nan-fenomenal milik tante-tante, om, dan ibu saya.

Perihal surat-surat antara ibu saya dan lelaki itu, kami bukannya mentertawakan perasaan-perasaan mereka, bukannya tidak menghargai atau meremehkan. Hanya saja, kami yang hidup di era milenial ini sangat merasa lucu dan takjub dengan kisah cinta puluhan tahun yang lalu. Surat dan segala prosesnya. Masing-masing pihak sama-sama sopan dan saling menghargai. Walaupun menolak atau ditolak, tapi semua tetap berjalan lembut dan hangat.


NB: setelah dua orang teman yang lalu, apakah ada lagi yang minat berkirim surat dengan saya?

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo