“Wah ... kayaknya
yang ini privasi banget deh.” Tante melipat kembali kertas yang dipegangnya.
Saya yang sedang
melihat-lihat gambar buatan almarhum Om, langsung menoleh. “Apa?”
“Suratnya ibumu,
hahaha.”
“Mana, mana!”
Kertas itu berpindah ke tanganku. Di selembar kertas usang itu tersebar tulisan
yang acak-acakan.
“Hahahaha …”
saya terpingkal-pingkal.
“Yang ini dari
pihak si cowok. Wahahaha ….” Rupanya Tante mendapat surat lain. “Itu isinya
apa?” tanyanya.
“Yang itu dulu,
isinya apa?”
“Jadi, laki-laki
ini klarifikasi bahwa gosip tentang dirinya yang mau menikah dengan perumpuan
dari A itu nggak bener. Dia berharap ibumu nggak percaya dengan berita itu. Dia
seriusnya sama ibumu. Hahahaha.”
“Hahahaha ….
Kalau yang ini, penyampaiannya panjang lebar sih, tapi intinya adalah …
penolakan.”
“Hahahaha …”
“Jadi begini ya
caranya menolak cowok, hahahaha. Ribet banget, hahahaha. Harus muter-muter dulu
ngomongnya.”
“Hahaha ….”
Kegiatan
memilah-milah barang lama di rumah nenek ini jadi semarak, seiring adanya
penemuan-penemuan barang-antik-nan-fenomenal milik tante-tante, om, dan ibu
saya.
Perihal
surat-surat antara ibu saya dan lelaki itu, kami bukannya mentertawakan
perasaan-perasaan mereka, bukannya tidak menghargai atau meremehkan. Hanya
saja, kami yang hidup di era milenial
ini sangat merasa lucu dan takjub dengan kisah cinta puluhan tahun yang lalu.
Surat dan segala prosesnya. Masing-masing pihak sama-sama sopan dan saling
menghargai. Walaupun menolak atau ditolak, tapi semua tetap berjalan lembut dan
hangat.
NB: setelah dua
orang teman yang lalu, apakah ada lagi yang minat berkirim surat dengan saya?
0 komentar:
Posting Komentar