Saya menutup pintu kamar setelah melepas kepulangan seorang teman yang berkunjung ke kosan. Teringat sebotol soda yang masih cukup dingin sehingga masih segar diminum. Dengan santai saya mengambil gelas yang sudah ada di meja dapur―bukan di rak piring. Terlihat ada sedikit air di dalamnya, dengan segera saya tumpahkan saja air itu lalu gelasnya saya bawa mendekat ke meja tempat laptop berada.
Minum soda sambil nonton drama Korea, asyik sekali, pikir saya. Laptop sudah menyala, video sudah
diputar―entah judul dramanya apa, saya lupa―soda dalam botol lalu saya tuang ke
gelas tadi. Sekelebat saya merasa aneh, kok
soda yang tertuang di gelas warnanya jadi lebih terang dari yang ada di botol?
Tapi tak saya hiraukan.
Kemudian saya
fokus sejenak pada alur cerita drama tersebut, sampai kemudian saya mencium
aroma yang aneh. Kok harum? Perasaan
nggak semprot parfum atau wewangian lainnya. Saya mengendus sebentar ke
sekitar badan. Nggak ada. Saya tak
memedulikan lagi. Dengan segera saya meraih gelas berisi soda yang sedari tadi
masih saya biarkan diam di tempatnya. Kuteguk dengan sangat nikmat.
Lalu … bencana
dimulai!
Tergopoh dan
dengan serampangan saya membuka pintu kamar lalu berlari keluar. Huek! Saya memuntahkan sisa soda yang
belum tertelan. Kepala saya sempat blank,
segalanya jadi susah saya pahami. Detik berikutnya rangkaian kejadian terputar
dalam otak saya.
Siang tadi saya belanja dengan Aira, dia beli sabun
cair cuci baju untuk penghilang noda alias pemutih pakaian, sebut saja sabun X.
Memintanya sedikit untuk mencuci baju saya yang kebetulan ada nodanya. Saya
menuangkan sabun X tersebut ke dalam salah satu gelas di rak yang memang
biasanya dipakai untuk minum. Aira mengingatkan saya untuk jangan menyimpan
gelas berisi sabun itu di atas meja, jangan sampai saya teledor.
Namun saya abai dan menyepelekannya. Gelas itu berada
di sana hingga malam yang kelam ini terjadi. Cairan sabun itu memang bening,
seperti air putih biasa, hanya saja sedikit kental. Tadi saya sempat
menumpahkan isinya untuk saya tuangkan soda. Namun, karena kental, tentu saja
masih ada yang tersisa di dalam gelas.
Lalu … perubahan warna pada soda tadi, jelas karena
tercampur dengan sabun pemutih itu! Dan wangi yang tercium … ya dari sabun itu!
Saya
sangat-sangat panik! Rasanya di mulut dan di perut mulai aneh. Dengan
terburu-buru saya meraih tas selempang kecil, dompet, handphone, dan kunci motor. Yang di kepala saya hanya satu: saya
butuh air kelapa! Batas pengetahuan saya tentang menangani keracunan hanyalah
tentang air kelapa. Maka saya segera melesat mencarinya.
Saya sadar hari
sudah malam, pukul setengah sembilan. Sebenarnya saya tahu, ada penjual es
kelapa muda di sekitaran depan kampus. Tapi kalau malam? Tentu tidak ada. Lalu
saya kepikiran penjual kelapa di dekat rumah sahabat saya, Aira. Saya tancap
gas ke sana. Nahas, tempat itu tutup.
Kemudian saya
lanjut saja menuju kediaman Aira. Saat itu saya sedang tidak bisa berpikir
dengan baik. Saya pun tak tahu apa yang akan saya lakukan di sana, saya hanya
ingin berkunjung dan bertanya tentang penjual kelapa muda. Barangkali dia tahu,
karena kepala saya benar-benar tidak bisa berpikir, sudah telanjur panik.
Pintu itu saya
ketuk dengan keras, Aira muncul dari balik pintu dengan heran. Saya menerobos
masuk dan mencari air minum. Waktu itu bukan air putih yang ada―lupa apa―tapi
tetap saya minum. Melihat saya yang belingsatan Aira benar-benar heran. Tapi
ini bukan waktunya untuk bercerita. Pertama, saya sedang tidak fokus. Kedua,
saya buru-buru harus menemukan kelapa muda. Ketiga, jika Aira tahu keadaan
saya, hal pertama yang pasti dia akan lakukan adalah mentertawaiku, bukannya
prihatin atau memberi solusi―khas sahabat.
“Penjual kelapa
muda di mana? Yang di sana tutup. Aku butuh buru-buru,” ujarku tanpa jeda.
“Di mana ya?
Untuk apa sih? Ada yang minta tolong sama kamu? Butuh cepet sekarang ini juga?”
Dia malah banyak bertanya.
“Iya. Aku cari
dulu ya.” Saya langsung melesat keluar dari rumahnya dengan tergopoh-gopoh, dia
benar-benar heran. Walau saat itu dia belum memberikan jawaban apa-apa. Dan
saya merasa responsnya lambat, saya ini sedang panik!
Saya kemudian
teringat sesuatu. Ada banyak penjual kelapa muda di bypass, dan buka sampai malam! Saya segera ke sana. Di sepanjang
perjalanan saya lebih banyak berkendara dengan satu tangan kanan saja. Tangan
kiri lebih sering memegang perut. Saya benar-benar mual, perut rasanya aneh …
saya tidak bisa menggambarkan situasi itu, intinya reaksi di tubuh saya aneh.
Rasanya limbung, dan saya khawatir akan jatuh pingsan sebelum saya sampai.
Mungkin
kedengarannya lebay. Mungkin itu hanya reaksi berlebihan saya karena pertama
kali kejadian itu saya alami. Keracunan! Keracunan! Itu terus yang saya
pikirkan. Sugesti itu mungkin yang membuat kondisi saya semakin parah. Maka di
sisa perjalanan saya berusaha berpikir positif untuk meyakinkan diri bahwa saya
baik-baik saja.
Saya sampai―lupa,
waktu itu di bundaran yang mana, kan ada dua. Dengan gerakan serba kilat saya
turun dari motor lalu memesan kelapa.
“Kelapanya satu,
Bu. Saya minum di sini. Tolong juga gelasnya yang besar.” Saya sebenarnya tahu,
di meja ada disediakan sedotan dan sendok―untuk makan daging kelapanya―tapi
saya sangat butuh sebuah gelas besar, bukannya pakai sedotan.
Ibu itu lalu
‘membuka’ sebuah kelapa dan menuang airnya pada gelas besar. Dengan gegas saya
menenggaknya terburu-buru. Ibu itu masih berdiri di samping saya duduk sambil memegang
buah kelapa itu―yang masih ada sedikit air di dalamnya.
“Ini masih ada
airnya,” ujarnya setelah melihat isi gelas itu tandas dalam sekejap. Saya lalu
menyodorkan gelas itu padanya. Terisi lagi. Si ibu kemudian membelah kelapa itu
dan menyerahkannya ke saya.
Sebenarnya saya
tidak butuh daging kelapanya, tapi saya mengangguk saja. Berikutnya, ketika
saya sudah mulai tenang, dan badan mulai agak rileks, saya menikmati daging
kelapa itu sambil memandang kosong ke bundaran. Lalu-lalang kendaraan yang
begitu ramai membuat lokasi itu jadi semarak dan menyala-nyala dengan seluruh
lampu-lampunya. Hiruk-pikuk khas bundaran.
Sambil menatap
keramaian itu dengan pandangan kosong, saya membayang-bayangkan kejadian yang
baru saja saya alami. Sesuatu yang ‘menakjubkan’ sepanjang hidup saya.
Menenggak SABUN CAIR PENGHILANG NODA/PEMUTIH PAKAIAN―di pikiran saya, sabun pemutih
lebih ‘keras’ daripada sabun cuci biasa―PLUS SODA!!!!! Ya, saya merasa perlu
memberinya lima tanda seru. Bayangkan saja!
So,
kesimpulan dari cerita kali ini adalah … jangan teledor! Jangan sembrono!
Jangan ngeyel! Dan berusaha sebaik mungkin memperhatikan pertanda yang
diberikan semesta, sekecil apa pun itu.
0 komentar:
Posting Komentar