Rabu, 02 Mei 2018

Gathering Aroma Karsa



“Penciuman adalah jendela pertama
manusia mengenal dunia.
Dunia ini sesungguhnya dunia aroma.”
―Aroma Karsa, Dee Lestari

Hari itu saya bangun kesiangan. Bersiap dan mandi dengan terburu-buru. Perjalanan ke Kota Itu akan menghabiskan waktu berjam-jam, dan saya bertekad untuk tidak terlambat sampai Beruntung, saya memang tidak terlambat. Tiba tepat pada saat registrasi dibuka. Sebagai ‘pelanggan penuh’ yang bergabung di Digital Tribe dan memegang Priority Pass, saya termasuk yang masuk duluan ke ruang acara. Senang iya, bangga iya.

Priority Pass punya saya. Uyeah!

Ketika masuk, otomatis kami duduk berombongan sesama Digital Tribe dan paling depan. Kita langsung heboh. Saling berkenalan dan menanyakan asal daerah. Maklum, biasanya kita hanya bersua di grup Facebook saja.

Nah, ini kami (sebagian kecil) dari Digital Tribe

Begitu acara dimulai … saya tidak bisa menggambarkan perasaan itu. Penulis idola saya ada di hadapan. Dirinya terlihat langsung oleh mata, suaranya terdengar langsung di telinga. Haru dan gugup, membuat hasil video yang saya rekam jadi bergetar-getar. Ketahuilah, bahwa saat itu saya sedang berjuang untuk meredakan sesenggukan, menahan agar air mata tidak berlinang, sambil menggigit-gigit bibir.

Kami (Digital Tribe) juga diberikan kesempatan untuk foto bareng. Saat itu pertama kali saya bersalaman dengan Dee Lestari dan Reza Gunawan (sebagai suami dan produser). Pada saat sesi bincang-bincang, beberapa kali Digital Tribe disebut-sebut untuk menunjukkan diri. Dengan semarak membahana kami berseru dan bertepuk tangan. Di saat-saat seperti itulah saya jadi manusia yang heboh. Dan saya selalu tertawa geli saat mengingat diriku saat itu. Mungkin karena faktor tidak ada satu pun yang mengenaliku plus emosi yang sedang memuncak karena bahagia.

Ya, saya jadi manusia yang heboh, dalam tertawa, berseru, dan tepuk tangan. Namun tetap saja, heboh yang terkontrol. Karena saya tetap tidak ingin menonjol. Saya tetap saya. Tidak ingin terlihat, tidak ingin mengambil perhatian. Maka saya menyesuaikan  seruan-seruan saya dengan yang lainnya.

Sesi tanda tangan, menjadi bagian paling mendebarkan. Saat itu saya kembali berjabat tangan, duduk bersebelahan, dan ‘sedikit’ ngobrol. Ya, sedikit. Kalimat yang sudah saya siapkan menguap begitu saja. Saya seperti orang linglung, enggak tahu mau ngomong apa. Tapi saya tetap bersyukur.

Setelah acara selesai, saya kembali linglung. Hendak ke mana kemudian? Memang sih, saya pasti akan ke Gramedia terdekat karena ada sepupu yang pesan buku. Tapi setelahnya? Saya berdiri lama di depan gedung itu. Sampai akhirnya memutuskan untuk segera ke toko buku saja dulu. Tempat berikutnya bisa dipikir nanti.

Saya tidak menghabiskan banyak waktu di Gramedia karena kepala saya sakit, mungkin karena euforia yang berlebihan tadi. Begitu mendapatkan buku yang saya cari, saya segera membayar dan keluar. Di depan toko buku, saya terduduk lama, bingung, dilema. Masak cuma begini saja? batin saya waktu itu. Maklum, jauh-jauh ke kota itu masak hanya sampai di situ saja jalan-jalan saya? Kok kayaknya kurang ‘sesuatu’? Saya ke sini sendirian, seandainya ada teman, tentunya lebih tenang karena ada yang diajak diskusi.

Saya sempat juga berjalan-jalan sebentar di trotoar, tapi tidak jauh-jauh dari Gramedia―karena menghemat tenaga―sambil terus berpikir. Kemudian saya memutuskan untuk berkunjung ke museum saja karena memang di kota ini jumlah museum sampai belasan. Saya hanya bisa mengunjungi tiga musem saja. Oleh ibu-ibu GO-JEK bahkan ditanya, “Mbaknya lagi tour museum, ya? Tapi kok sendiri?”

Oh ya, ibu itu juga mengajak ngobrol banyak di perjalanan. Dan pertanyaan paling mencengangkan adalah “Bagaimana sih caranya biar bisa punya bakat kayak Mbak, gitu? Kok orang-orang itu bisa pintar?”

“A … ah …, hah?” Terbata-bata dan linglung saya meresponsnya. Sampai di situ saja, percakapan berikutnya sangat panjang. Saya tidak sanggup mengetikkannya.

Nah, saya membatasi sampai tiga museum saja. Karena pertama, saya belum makan nasi sejak pagi. Kedua, hari sudah sore, kalau dihitung-hitung waktu perjalanan pulang, saya akan tiba malam hari. Jadi ya pulang saja.

Well … seperti itulah perjalanan saya di Kota Itu. Sebenarnya sudah yang ketiga kali saya ke sana. Tapi ini baru pertama kali saya pergi sendiri. Awesome!

PS: sayang banget nggak foto bareng Bapak Produser, hehehe.

Bareng Ibu Suri :)
 
EDITOR :)

Sambutan dari Digitribe

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo