“Jae Ha benar. Aku mengabaikan yang penting
dan menghindari masalah dengan pura-pura bekerja
keras.”
―Hae Won
“Ketika semuanya sulit ... ingatlah aroma tanah,
angin, dan matahari di sini.
Lalu Ibu tahu kau bisa membersihkan dirimu dan bangkit
lagi.
Anggap saja ini sebagai awal perjalanan panjang untuk
kembali ke rumah.”
―Ibu Hae Won
“Untuk Ibu ... sifat, memasak, dan cintanya padaku
adalah hutan kecilnya.
Aku juga harus mencari hutan kecilku sendiri.”
―Hae Won
Film dari Negeri
Ginseng ini begitu sederhana dan hangat. Di balik ketidakmengertian saya dengan
apa yang terjadi pada Hae Won dan ibunya, saya sangat menyukai kesibukan Hae
Won di rumah kampung halamannya. Bagaimana dia menanam, menyaksikan benih yang
tumbuh, menyiangi ladang, panen, lalu mengolahnya menjadi makanan lezat.
Awalnya saya
merasa heran, “Ini film kok kayak video kuliner?” Namun lama-kelamaan saya
sangat menikmatinya. Si pemeran utama, Hae Won, selalu menyiapkan persediaan
makannya sendiri, terkadang juga disantap bersama sahabat-sahabatnya. Dia
selalu bisa menyiapkan persediaan makanan untuk musim berikutnya. Itu yang
membuatnya keren.
Namun … ada dua
masakan yang sangat mengejutkan saya, dan paling tidak bisa saya tolerir. Dua
masakan tersebut melibatkan bunga. Ya, bunga. Saya sangaaat … sangat
menghindari makan bunga. Di film ini kita diperlihatkan bagaimana bunga-bunga
yang cantik itu diolah, disajikan, dan dimakan dengan nikmat! Wooaaa.
Oke, kita
beralih dari urusan bunga-bunga itu. Saya sangat menyukai film ini. Persahabatannya,
suasana kampungnya, kebun-kebunnya, masyarakatnya, dan semuanya. Oh, betapa
menyenangkan dan gembiranya bertani/berkebun. Masyarakat di desa selalu punya
cara untuk menyajikan makanan-makanan segar. Mereka adalah orang-orang yang
mandiri, bisa hidup sendiri, dari tanaman-tanaman mereka … dari alam. Oh,
sungguh, semesta selalu punya caranya sendiri.
Tontonlah film
ini, dan siap-siap ngiler! :p
0 komentar:
Posting Komentar