Sabtu, 27 Oktober 2018

Ritual Sebelum Tidur



Sejak mengenal self-healing, saya jadi paham bahwa saya juga (sangat) perlu untuk menyembuhkan diri. Banyak. Banyak hal.

Yang sedang saya ‘kerjakan’ sekarang adalah semua hal tentang tidur. Aktivitas yang menyenangkan ini begitu dinanti-nantikan, bukan? Suatu kegiatan yang—seharusnya—bisa merilekskan, memulihkan energi, menyegarkan kembali tubuh kita, dan sebagainya. Namun, apa jadinya kalau tidur justru jadi aktivitas yang memberatkan?

Saya mengalaminya, entah sejak kapan tepatnya gangguan ini terjadi. Rasanya sudah bertahun-tahun. Saya tidak tahu banyak bagaimana pengalaman orang lain tentang aktivitas tidurnya. Namun, saya bisa berbagi cerita tentang tidur saya. Kurang lebih seperti ini:

Saya punya masalah dengan aktivitas tidur. Mulai dari sleep paralysis, mimpi yang bejibun, dan sering kali terbangun. Kedengarannya biasa, ya? Akan tetapi tidak untuk saya. Karena ... saya tidak menerimanya. Tidak terima hal itu terjadi pada saya. Tidak pernah. Dan—sepertinya—itulah masalahnya!

Saat saya kuliah, sleep paralysis adalah hal yang kelewat biasa untuk saya alami. Para tetangga indekos saya juga mengalaminya, terkadang kita sharing pengalaman masing-masing. Dan tentu saja, hal itu dikaitkan dengan hal-hal mistis. Saya setengah percaya setengah tidak, hla wong ada penjelasan medisnya kok. Dalam satu kali waktu tidur, saya bisa mengalami sampai tiga kali. Terbiasa, iya. Tersiksa, iya.

Oh ayolah, bukankah tidur harusnya menyenangkan?

Selain kelumpuhan tidur, saya juga punya masalah sama mimpi. Tidak peduli orang lain menitipkan pesan “mimpi indah ya” atau “mimpiin aku ya”. Argh ... asdfghjkl@#$%^&**! Saya tidak peduli! Saya hanya ingin tidur!

Saya pernah bahas di tulisan lain bahwa saya tidak menyukai mimpi—apa pun itu genrenya. Jadi, apa pun mimpinya akan tetap memengaruhi kondisi emosional saya. Saya sungguh-sungguh terganggu. Ditambah dengan kondisi lainnya, saya kepikiran untuk menemui psikolog, tetapi sampai sekarang nyatanya belum kesampaian—semoga bisa tercapai suatu saat nanti.

Karena ‘gangguan’ saya itu, saya pernah mengadu pada Ibu. Namun, pada intinya beliau berpesan untuk lebih tulus berdoa sebelum tidurnya, abaikan saja semua mimpi-mimpi itu. Lalu saya berhenti untuk bercerita. Bukannya tidak menghargai saran beliau, hanya saja rasanya memang agak ribet untuk membuatnya mengerti tentang apa yang saya rasakan.

Saya juga pernah mengonsumsi obat tidur. Berdasarkan teori yang saya ‘ciptakan’ sendiri: harusnya dengan adanya pengaruh dari obat tidur maka tidur akan lebih pulas dari biasanya, dan kemungkinan bermimpi akan semakin kecil. Konyol? Sepertinya iya. Namun, saya memang pernah memercayai itu, walau pada praktiknya sering kali tidak sesuai ekspektasi. Saya tetap bermimpi. Mungkin dosis obat tidurnya kurang tinggi? Entahlah, saya sudah melupakan obat-obatan itu.

Saking tidak maunya mengalami mimpi, saya ‘menciptakan’ teori baru: saya harus sangat lelah untuk bisa tidur lebih pulas. Jadilah saya melakukan aktivitas-aktivitas fisik sebelum tidur, bisa dengan beres-beres kamar dan kegiatan lainnya. Saya menunggu sampai saya benar-benar lelah―dan sudah tidak kuat menahan kantuk―barulah berbaring. Bisa jadi di atas jam 2 dini hari. Dan ternyata? Itu juga tidak begitu manjur. Tentu saja, saya bahkan beberapa kali menimbang apakah sebaiknya saya tidak usah tidur saja.

(Pembahasan tentang mimpi selanjutnya akan saya bagikan di tulisan lain; Urusan Mimpi (2))

Oh ayolah, bukankah tidur harusnya menyenangkan?

Saya lelah. Saya sangat lelah.

Belum lagi dengan urusan begitu seringnya saya terbangun dari tidur. Bangun dan minum. Ini seperti sudah menjadi kebiasaan. Saya tidur harus didampingi segelas air putih, karena saat saya terbangun pasti saya kehausan. Entahlah, hal ini sebenarnya baik atau tidak, tetapi saya merasa terganggu. Terganggu karena terus-terusan terbangun, ini juga melelahkan.

Oke. Sepertinya ada benarnya juga kata Ibu, saya harus tulus berdoa sebelum tidur. Lalu saya teringat seorang kawan perempuan, tetangga indekos dulu. Dia adalah satu-satunya manusiayang saya kenalyang ritual sebelum tidurnya lamaaa banget. Saya tahu karena dulu sering tidur bareng. Saya hanya membaca satu doa pendek lalu bersiap tidur, sedangkan dia―yang ada di sebelah saya―masih terus berkutat dengan ritual doanya yang begitu lama.

Beberapa minggu yang lalu saya berhasil menghubunginya kembali―setelah lama tak ada kabar. Saya menanyakan apa sebenarnya ritual dia sebelum tidur itu? Sambil tertawa, dia menjelaskan semuanya. Saya tidak akan menyebutkan di sini, karena itu bejibun banyaknya. Sumpah. Saya manggut-manggut. Cara yang itu saya simpan dulu. Sekarang saya sedang mencoba yang lain. Apa itu? Self-healing.

Seperti yang saya bilang di awal, saya perlu menyembuhkan diri dan inilah saatnya. Saya perlu mengelola apa yang ada di batin saya. Ingin berdamai. Berdamai dengan semua keresahan, gangguan, semua emosi, trauma, luka batin, dan sejenisnya. Saya pernah bilang di tulisan lainnya, dari mana sumber saya belajar menyembuhkan diri.

Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan sendiri tanpa dampingan terapis. Untuk sebelum tidur, saya melakukan relaksasi napas 4-7-8 dan teknik Magic Finger―penjelasannya ada di IG TV Reza Gunawan. Tentu sambil berdoa juga. Hasilnya? Alhamdulillah, ada perubahan yang baik, walau memang belum tuntas, tetapi setidaknya saya sekarang ‘tidak apa-apa’ dengan tidur. Masih perlu banyak belajar lagi.

Ya. Kesimpulannya, sekarang saya sedang melakukan terapi tidur sendiri. Kalau dulu cuma asal berdoa, merebahkan badan, lalu tutup mata, sekarang jadi lebih bermakna. Saya melakukan ritual sebelum tidur―yang agak panjang itu―dengan khusyuk dan tulus. Saya juga mencatat perubahan-perubahan yang terjadi setiap harinya, ini penting untuk evaluasi.

Saya melakukannya karena saya mencintai diri ini dan saya berhak untuk tidur dengan nyenyak. Kalau kamu, apa ritual sebelum tidurmu?

...

...


PS: Tuhan ... saya ingin merasakan tidur yang berkualitas, yang lelap, yang enggak terputus-putus, yang enggak ada mimpinya. Boleh, ya? (Nah, kan, jadinya berdoa di blog.)
PS (lagi): Jadi ingat Alfa Sagala alias Ichon―baca Supernova: Gelombang.

2 komentar:

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo