Belakangan ini
di tempat kerja lagi sering membahas mata minus, dan rasa-rasanya saya yang paling
jarang turut sumbang suara.
Sebenarnya
bagaimana keadaan mata saya? Ya, saya juga minus, sudah lama, sudah periksa
juga. Entah berapa kali, lupa, sejak SMA pokoknya. Sampai bosan rasanya cek
mata, dari mulai ukuran minus rendah (di bawah 1) sampai yang terakhir sudah
lebih dari 1. Tepatnya saya lupa, mata kiri dan kanan memang berbeda ukuran
minusnya (sama seperti ibu saya). Intinya, yang satu 0.75 yang satu sudah 1.25,
itu hasil tes terakhir. Seandainya sekarang ini saya cek lagi, hm ... kira-kira
minus berapa, ya?
Nah, kalau ibu
saya memang sudah berkacamata sejak kecil, tetapi saya lupa sejak beliau sekolah
apa. Ukuran minusnya memang tinggi, makanya selalu pakai kacamata, enggak
pernah lepas―eh, pernah ding, mandi, tidur, dan salat enggak pakai kok, hehe.
Mempunyai mata
yang tidak normal memang banyak ribetnya. Saya tidak membaca sesuatu yang jauh,
bahkan belakangan rasanya yang cukup dekat pun sudah buram juga. Naik motor
malam hari harus ekstra hati-hati, jadi kecepatan memang lebih lambat daripada
saat hari masih terang.
Dikatai sombong. Nah, yang ini agak ruwet nih. Karena tidak bisa jelas melihat wajah
orang dari jarak tertentu, jadi saya suka disalahpahami. Kalau orangnya itu
akrab dengan saya, saya sudah hafal dia maka walaupun buram saya tetap bisa
mengenali dari baju atau postur tubuhnya. Namun, beda lagi urusannya kalau saya
dipanggil atau disapa dengan orang yang tidak terlalu akrab. Sedangkan jarak
tidak memungkinkan untuk saya bisa melihat wajahnya. Biasanya, saya tetap
menoleh ke sumber suara, tetapi ... saya tidak tahu orangnya yang mana atau
siapa.
Kalau sudah
begitu, saya cuma bisa senyum sekilas sambil terus jalan. Menurut saya, itu
situasi yang sangat awkward.
Di mana orang itu akan merasa saya sombong atau tidak peduli padanya. Jujur,
saya sangat bingung bagaimana harus merespons kalau sudah begitu. Mungkin kamu
akan menyarankan; tersenyum saja sambil melambaikan tangan dan berkata ‘hai’.
Bagaimana bisa? Ke arah mana saya bersikap seperti itu? Apalagi kalau orang
yang memangil itu sedang dalam ada di kerumunan beberapa orang lain.
Respons terhadap
panggilan/sapaan ke setiap orang, kan, juga beda-beda. Benar, kan? Cara saya
menyapa si A tentu beda dengan ketika menyapa B. Nah, kalau situasinya seperti
di atas lalu saya memaksakan membalas sapaan, takutnya salah sasaran, dan orang
itu malah jadi bingung “Loh, kok Eby begitu?” Nah kan ... hahaha.
Ada contoh
kejadian lain. Saya sedang mengendarai motor dan membonceng adik. Mata saya
harus fokus dan tetap waspada (berhati-hati), lalu ada yang membunyikan klakson
pada saya sambil menyapa. Tentunya saya tidak memedulikan itu sampai kemudian
adik protes. “Mbak, kok gak dijawab sih?”
“Hah, emang
siapa?”
“Itu tadi
temanmu, Mbak X!”
“Oalaaah ....”
Kalau sudah begitu, jika saya berjumpa kembali dengan kawan saya itu, dia
menyampaikan rasa sebalnya karena saya tidak membalas sapaannya, dan saya akan
menjelaskan kondisi mata saya ini. -___-
Untuk itu, melalui
tulisan ini juga, saya memohon maaf kepada teman-teman, kepada seluruh―iya
kalau pada baca―yang dulu pernah sapa saya tetapi tidak saya respons dengan baik.
Ketahuilah bahwa mata saya ini tidak mendukung kalau melihat jarak jauh.
Beberapa cara yang saya lakukan dalam menghadapi hari-hari; jika mau membaca tulisan yang jauh bisa mengandalkan teman untuk membacakannya, kalau sedang sendiri bisa pakai kamera ponsel, dipotret dulu lalu hasil fotonya di-zoom, kalau saat perkuliahan berlangsung biasanya saya duduk di depan, tetapi kalau kebetulan duduk di belakang saya akan menyontek catatan teman bangku sebelah.
Beberapa cara yang saya lakukan dalam menghadapi hari-hari; jika mau membaca tulisan yang jauh bisa mengandalkan teman untuk membacakannya, kalau sedang sendiri bisa pakai kamera ponsel, dipotret dulu lalu hasil fotonya di-zoom, kalau saat perkuliahan berlangsung biasanya saya duduk di depan, tetapi kalau kebetulan duduk di belakang saya akan menyontek catatan teman bangku sebelah.
Sebenarnya saya
ingin merawat mata saya, pakai kacamata misalnya. Namun selalu urung, harganya
muahal-muahal! Nanti kalau sudah bisa beli sendiri saja. Dulu pernah paksa
coba pakai kamata minus yang dijual di mal-mal. Tentu harganya murah. Nyaman
sih, tetapi enggak betah. Akhirnya lepas lagi.
Ya, apalah daya.
Memang belum waktunya pakai kacamata.
0 komentar:
Posting Komentar