Dua orang
perempuan baru saja keluar dari sebuah minimarket.
Yang satunya masih bocah. Mereka berjalan bergandengan sambil menikmati es krim
masing-masing.
“Tumben kamu
traktir aku es krim?” tanya si bocah dengan pandangan curiga.
“Ya, kan
daripada kita duduk jongkok mulu, kamu terus-terusan menggambar ayam yang
gitu-gitu aja ...,” selorohku.
“Yang-gitu-gitu-aja?”
si bocah tampak tak terima.
“Benar, kan?”
Si bocah
bersungut-sungut.
“Hei, jangan
cemberut, aku kan ingin berteman dengan tulus sama kamu.”
“Aaah ...
lagi-lagi aku mendengar kata itu. Rasa-rasanya sudah banyak kali kamu menyebut
‘tulus’ hari ini.” Si bocah menjilat lelehan es krim di tangannya.
“Ya, em, ya,
karena memang aku ingin tulus.”
“Kamu ingin
tulus berteman denganku?”
“YA!”
“Aku pun begitu,
Sobat.”
“E, tapi ... ada
saja orang-orang yang tidak paham dengan sikapku.”
“Ada apa, eh?”
Saya menjilati
dulu es krim cokelat beberapa kali, “Aku bingung dengan cara bersosial, cara
merajut hubungan dengan orang lain. Apa perlu dari awal berkenalan kita harus menyepakati
apa hubungan kita, berteman, bersahabat, berkawan, berkeluarga, kekasih, atau
sebatas kenal saja, oh well ... itu
lucu sekali. Tapi kalau tidak begitu, khawatirnya pihak dia merasa salah paham
atas apa yang kulakukan, atas semua sikap-sikapku.”
“Pasti dia
laki-laki!” Si bocah berkata dengan mantap.
“Ternyata kamu
paham.”
Lalu kami saling
diam, menjilati es krim masing-masing sambil jongkok, dan si bocah diam-diam
jelalatan mencari ranting.
0 komentar:
Posting Komentar