Belakangan ini
saya menyadari bahwa rasa-rasanya saya tidak punya siang.
Saya tinggal di
tempat kerja, bangunan ini sudah menjadi rumah bagi saya. Tapi, karena saya
tinggal di sini, saya jadi punya manajemen waktu―apa ya sebutan yang tepat?―yang
berbeda. Jam sembilan pagi adalah jam bangun tidur saya (paling lama). Kenapa bisa
sesiang itu? Begini, saya tinggal bersama dua teman kerja yang lain, dan pola
bangun kita itu ilustrasinya seperti ini:
Saya terbangun,
tengok kiri kanan masih pada tidur, akhirnya ikut tidur lagi. Yang lain gantian
ada yang terbangun, tengok sana sini masih pada tidur, jadi ikut tidur lagi.
Gantian yang satunya terbangun, dan terulang lagi seperti itu. Begituuu terus.
Pakai alarm biar bangunnya bisa bersamaan? Percuma.
Selain karena
alasan di atas, saya pikir kita lambat bangun juga karena suasana. Bangunan ini
cuma punya pintu utama di sisi depan dan tidak ada jendela atau celah lain.
Jadi, saat pintu ditutup maka seluruh ruangan gelap, untuk itu salah satu lampu
tetap menyala ketika tidur. Pada pagi hari, saat masyarakat sibuk beraktivitas;
ada yang ke kantor, ke tempat kerja, ke sekolah, ke pasar, de el el ... kami
yang berada dalam ruangan tertutup ini merasa suasana di dalam itu masih malam,
atau setidaknya masih terlalu ‘subuh’―padahal di luar sudah terik.
Nah, setelah
bangun tidur biasanya saya beres-beres kecil-kecilan dulu, baru menyapu di
halaman depan. Di saat itu, saya merasa sedang olahraga pagi, hehehe. Lalu
masuk lagi dan beraktivitas ini-itu di dalam bersama yang lain. Pada saat
tengah hari kami baru mandi karena memang jam masuk kerja pukul satu siang.
Dan … pada saat
jam menunjukkan pukul 13.00 barulah pintu utama dibuka lebar, di situ saya
benar-benar merasa bahwa aktivitas sesungguhnya baru saja dimulai. Saya merasa saat itu masih pagi, hari yang baru dimulai. Lalu, tiba-tiba sudah sore,
sebentar lagi sudah malam. Jadi saya merasa tidak punya siang.
Untuk itu saya
pernah beberapa kali melakukan kekeliruan yang konyol. Waktu itu adik saya
menelepon, di tengah perbincangan saya menyadari sesuatu dan merasa heran. “Bentar
deh … kamu kok gak sekolah?” tanya saya.
“Emang ini jam
berapa Mbaaak?” Adik menjawab dengan nada gemas. Barulah saya menengok jam,
pukul 2 siang berarti di Sulawesi sudah pukul 3 sore. Tandanya, si adik sudah
pulang sekolah, bukannya tidak sekolah!
Tragedi kedua,
waktu itu ada sepupu saya yang masih SMP datang ke tempat kerja masih pakai
seragam lengkap. Saya bertanya ke tante, “Itu dia mau ke mana?”
“Ya pulang lah,”
jawabnya.
Saya langsung
spontan melihat jam, oh iya … benar, ini sudah siang menjelang sore. Ya, saya
belum terbiasa dengan penggunaan ‘waktu’ yang kacau di sini.
Padahal, justru
seharusnya saya itu tidak punya pagi, bukannya tidak punya siang. Tapi entah
kenapa saya merasa seperti itu.
0 komentar:
Posting Komentar