Senin, 13 Agustus 2018

Tidak Punya Siang



Belakangan ini saya menyadari bahwa rasa-rasanya saya tidak punya siang.

Saya tinggal di tempat kerja, bangunan ini sudah menjadi rumah bagi saya. Tapi, karena saya tinggal di sini, saya jadi punya manajemen waktu―apa ya sebutan yang tepat?―yang berbeda. Jam sembilan pagi adalah jam bangun tidur saya (paling lama). Kenapa bisa sesiang itu? Begini, saya tinggal bersama dua teman kerja yang lain, dan pola bangun kita itu ilustrasinya seperti ini:

Saya terbangun, tengok kiri kanan masih pada tidur, akhirnya ikut tidur lagi. Yang lain gantian ada yang terbangun, tengok sana sini masih pada tidur, jadi ikut tidur lagi. Gantian yang satunya terbangun, dan terulang lagi seperti itu. Begituuu terus. Pakai alarm biar bangunnya bisa bersamaan? Percuma.

Selain karena alasan di atas, saya pikir kita lambat bangun juga karena suasana. Bangunan ini cuma punya pintu utama di sisi depan dan tidak ada jendela atau celah lain. Jadi, saat pintu ditutup maka seluruh ruangan gelap, untuk itu salah satu lampu tetap menyala ketika tidur. Pada pagi hari, saat masyarakat sibuk beraktivitas; ada yang ke kantor, ke tempat kerja, ke sekolah, ke pasar, de el el ... kami yang berada dalam ruangan tertutup ini merasa suasana di dalam itu masih malam, atau setidaknya masih terlalu ‘subuh’―padahal di luar sudah terik.

Nah, setelah bangun tidur biasanya saya beres-beres kecil-kecilan dulu, baru menyapu di halaman depan. Di saat itu, saya merasa sedang olahraga pagi, hehehe. Lalu masuk lagi dan beraktivitas ini-itu di dalam bersama yang lain. Pada saat tengah hari kami baru mandi karena memang jam masuk kerja pukul satu siang.

Dan … pada saat jam menunjukkan pukul 13.00 barulah pintu utama dibuka lebar, di situ saya benar-benar merasa bahwa aktivitas sesungguhnya baru saja dimulai. Saya merasa saat itu masih pagi, hari yang baru dimulai. Lalu, tiba-tiba sudah sore, sebentar lagi sudah malam. Jadi saya merasa tidak punya siang.

Untuk itu saya pernah beberapa kali melakukan kekeliruan yang konyol. Waktu itu adik saya menelepon, di tengah perbincangan saya menyadari sesuatu dan merasa heran. “Bentar deh … kamu kok gak sekolah?” tanya saya.

“Emang ini jam berapa Mbaaak?” Adik menjawab dengan nada gemas. Barulah saya menengok jam, pukul 2 siang berarti di Sulawesi sudah pukul 3 sore. Tandanya, si adik sudah pulang sekolah, bukannya tidak sekolah!

Tragedi kedua, waktu itu ada sepupu saya yang masih SMP datang ke tempat kerja masih pakai seragam lengkap. Saya bertanya ke tante, “Itu dia mau ke mana?”

“Ya pulang lah,” jawabnya.

Saya langsung spontan melihat jam, oh iya … benar, ini sudah siang menjelang sore. Ya, saya belum terbiasa dengan penggunaan ‘waktu’ yang kacau di sini.

Padahal, justru seharusnya saya itu tidak punya pagi, bukannya tidak punya siang. Tapi entah kenapa saya merasa seperti itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo