Kamis, 30 Agustus 2018

Mau Bersyukur (Lagi)



Terima kasih Tuhan, telapak tanganku ada garis-garisnya, kakiku masih bisa melangkah, suaraku masih sama, bulu mata masih normal, masih bisa tengok kiri-kanan, dan mencium aroma makanan.

Terima kasih Tuhan, aku masih menghirup udara bersih, bisa membedakan hitam dan kuning, kukuku tidak berhenti tumbuh, tidak pernah mimisan, dan aku masih punya pulsa.

Minggu, 26 Agustus 2018

Seandainya Ada Adik ...



Hal ini sudah lama mengusik saya. Tadinya hanya sekadar terpikir sambal lalu, tetapi seiring berjalannya waktu sampai hari ini, hal itu terus terpikirkan dan semakin kepikiran.

Ada berbagai kejadian atau hal yang seharusnya dilakukan di tempat kerja―yang selalu berkaitan dengan Adik. Beberapa hari yang lalu ada suatu hal yang harus dikerjakan atau dibuat, tetapi karena tidak ada yang ‘mampu’ akhirnya kita kalang kabut mencari solusi agar hal itu bisa terselesaikan/terwujudkan. Terkadang, bahkan ada hal-hal yang terpaksa tidak jadi dilakukan, hanya diucapkan semata.

Senin, 20 Agustus 2018

Mau Menakali Apa?



Belakangan ini ada satu topik pembicaran dengan Adek yang membuat saya terus memikirkannya. Saya memang pemantik percakapan paling aktif kalau sedang berbincang dengannya via telepon. Menanyakan apa ada yang sakit di badannya? Adakah masalah dengan sekolah atau kawannya? Apakah sering dimarahi Bapak-Ibu? Sudahkah cium lutut hari ini?

Pertanyaan yang cukup sering saya ajukan juga adalah ‘kamu nakal nggak?’ Dan yang terakhir ini dia menjawab pertanyaan saya berbeda dengan jawaban-jawaban sebelumnya. Entah, apakah dia bosan dengan pertanyaan itu atau dia baru menemukan kesadaran/jawaban yang lebih tepat.

Sabtu, 18 Agustus 2018

Malam Sakit Kepala, Pagi Ceria



“Salah satu hadiah ternikmat dari Tuhan adalah malamnya sakit kepala,
esok paginya ceria.” ―Eby Tabita

Oh, sungguh, itu nikmat sekali. Ketika pada malam hari kepala rasanya mau pecah. Nyut-nyutan enggak karuan―apalagi kalau ada tambahan masalah. Yang saya butuh di saat itu hanyalah ... tidur―yang berkualitas.

Jumat, 17 Agustus 2018

Mengenal Introver (2)



Baca Mengenal Introver (1) di sini.

Ya, kembali lagi ke urusan introver. Untuk saya, semakin bertambah usia semakin ada perubahan yang lebih baik. Introver terparah saya terjadi ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dan saya bersyukur bisa sedikit demi sedikit berubah. Bukannya tidak menerima kondisi diri saya, saya senang mengalami perubahan ini karena dulu itu saya tersiksa sekali. Pada saat itu, saya adalah korban bully, yang lebih mengarah ke pelecehan, tetapi saya tidak berani melaporkannya. Saya sangaaat sangat pendiam, dan sama sekali tidak berani melawan, juga tidak punya banyak teman.

Kamis, 16 Agustus 2018

Tentang Mata Minus



Belakangan ini di tempat kerja lagi sering membahas mata minus, dan rasa-rasanya saya yang paling jarang turut sumbang suara.

Sebenarnya bagaimana keadaan mata saya? Ya, saya juga minus, sudah lama, sudah periksa juga. Entah berapa kali, lupa, sejak SMA pokoknya. Sampai bosan rasanya cek mata, dari mulai ukuran minus rendah (di bawah 1) sampai yang terakhir sudah lebih dari 1. Tepatnya saya lupa, mata kiri dan kanan memang berbeda ukuran minusnya (sama seperti ibu saya). Intinya, yang satu 0.75 yang satu sudah 1.25, itu hasil tes terakhir. Seandainya sekarang ini saya cek lagi, hm ... kira-kira minus berapa, ya?

Bagaimana Kalau Orang yang Memojokkanku (Ayam Goreng)?



Sebenarnya saya tidak tahu lelaki itu sebagai apa di sana, di sebuah tempat makan pinggir jalan, menyediakan menu ayam dan bebek. Saya datang bersama keluarga, ada yang pesan ayam ada yang bebek, saya memilih ayam. Awalnya, lelaki lain yang melayani kami, sampai kemudian datanglah dia. Saya begitu terpana. *ngetik sambil malu-malu

Selasa, 14 Agustus 2018

Ternyata Saya Perlu Menikah



Urusan menikah itu memang ribet, benar?

Sering kali saya merasa ragu. Kalau dipikir-pikir, hidup sendiri saja bentuknya begini, bagaimana mau memasukkan satu orang lagi ke hidup saya―selamanya? Bagaimana saya bisa percaya dia? Apakah dengan hidup bersamanya hari-hari saya jadi lebih nyaman atau justru malah lebih repot?*

Senin, 13 Agustus 2018

Tidak Punya Siang



Belakangan ini saya menyadari bahwa rasa-rasanya saya tidak punya siang.

Saya tinggal di tempat kerja, bangunan ini sudah menjadi rumah bagi saya. Tapi, karena saya tinggal di sini, saya jadi punya manajemen waktu―apa ya sebutan yang tepat?―yang berbeda. Jam sembilan pagi adalah jam bangun tidur saya (paling lama). Kenapa bisa sesiang itu? Begini, saya tinggal bersama dua teman kerja yang lain, dan pola bangun kita itu ilustrasinya seperti ini:

Lagi Rindu



Sumpah demi apa, ini lagi iseng banget, tulisan ini sebenarnya sudah lama saya rencanakan, tapi baru jadi ditulis sekarang. Itu pun karena tadi ada pemantiknya, sering lupa sih.

Nah, jadi ceritanya ... saya tuh lagi rindu. Eh, tapi bukan rindu yang gimana-gimana loh ya. Saya sedang rindu dengan sebuah pertemanan. Sampai sekarang masih berteman sih, tapi sudah tidak pernah berjumpa lagi, hanya bisa ngobrol via media sosial saja.

Sebenarnya siapa mereka?

Jumat, 10 Agustus 2018

Tulus Berteman



Dua orang perempuan baru saja keluar dari sebuah minimarket. Yang satunya masih bocah. Mereka berjalan bergandengan sambil menikmati es krim masing-masing.

“Tumben kamu traktir aku es krim?” tanya si bocah dengan pandangan curiga.

“Ya, kan daripada kita duduk jongkok mulu, kamu terus-terusan menggambar ayam yang gitu-gitu aja ...,” selorohku.

“Yang-gitu-gitu-aja?” si bocah tampak tak terima.

Kamis, 09 Agustus 2018

Surat yang Tidak Jadi Ditulis


(Tulisan ini dikerjakan dalam rangka mengalihkan perhatian dari mood yang kurang baik. Pekerjaan dikesampingkan dulu, bukannya susah untuk dikerjakan, tapi memang lagi enggak bagus saja perasaan ini, halah … sudahlah.)

Jadi, di awal bulan Agustus ini saya menemukan sebuah lomba menulis yang temanya keren banget! “Untuk Kamu, Jodohku: Walau waktu belum mempertemukan, kuharap surat bisa menyampaikan”. Nah … sudah tahu, kan, penerbit mana yang mengadakan lomba ini? Hehe.

Kamis, 02 Agustus 2018

Introver Itu Spesial



Itu kata seorang kawan. Dan saya begitu terharu mendengarnya, apalagi yang mengatakan itu bukan orang introver. Kalau yang mengatakan itu juga orang yang introver bisa jadi hal itu hanya semacam pembenaran atau pembelaan diri, tapi dia bukan. Di situ saya terharu, ‘kaum kami’ mendapat sebutan atau pemahaman yang begitu indah, hehe.

Saya sangat menghargai para ekstrover yang bisa memahami pihak introver, sungguh. Karena menurut pengalaman saya, memperoleh teman―bagi introver―sebagian besar karena pihak ekstrover yang menemukan, memahami, dan beradaptasi dengan saya.

Saat ini, yang dikatakan ‘orang normal’ adalah manusia-manusia yang ekstrover, sedangkan yang introver dianggap sebuah ‘kelainan sosial’. Kenapa harus begitu terhadap kami?

We’re not anti-social. We’re different social.
―Unknown
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo