Rabu, 07 Maret 2018

Bagaimana Kalau Orang yang Duduk di Depan Coffee Shop?

Saya dan tante berjalan keluar dari sebuah mal sambil membawa beberapa belanjaan, meninggalkan dingin AC dan menyambut udara panas di luar. Kami belum berencana pulang karena tante saya sedang menunggu seorang temannya―yang juga berbelanja di situ―untuk pulang bersama.



Namun karena tidak ada bangku yang kosong, kami menunggu sambil berdiri. Waktu itu saya haus dan ingin segera minum. Botol air mineral yang saya pegang kemudian saya buka tutupnya. Namun saya berhasil menahan diri untuk tidak segera meneguknya karena saya masih berdiri. Saya mengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk, namun nyatanya seluruh bangku yang tersedia masih terisi penuh dan orang yang berdiri semakin banyak. Dan saya tidak nyaman untuk mengambil posisi jongkok.



Saat melihat ke sana kemari itulah saya tidak sengaja bertatapan dengan seorang pria berkaus putih sambil mengembuskan asap rokoknya. Dia sedang duduk di depan coffee shop mungil yang menempel pada dinding luar mal―tidak jauh dari saya. Di saat itu pun saya tahu bahwa dia duluan yang menatap saya, sehingga situasinya menjadi “saya mendapatinya sedang memandangi saya”. Jika kau pandai dalam hal tatap-menatap―atau psikologi tentang kontak mata―pasti memahami situasi itu.



Menurut saya, pria itu memesona dan juga menenteramkan. Dia tidak bertingkah berlebihan, hanya duduk sambil menyesap rokok dengan santai di hadapan cup kopinya dan sedang menatap saya. Hanya dua detik, lalu saya mengalihkan pandangan duluan. Dia duduk di sebuah meja dengan dua kursi, dan posisi dirinya duduk di kursi yang menghadap ke arah saya berdiri. Satu kursi di depannya sedang kosong tapi, ah… tidak mungkin saya duduk di situ. Seandainya saja meja itu benar-benar kosong pasti saya duduk di sana sebentar untuk minum lalu berdiri lagi.



Kemudian saya melihat sebuah plang besi di pinggiran selasar mal yang tingginya hanya sejengkal dari tanah. Di situlah saya duduk dan minum. Saya tidak berani menatap ke arahnya lagi, karena hanya dari apa yang ekor mata tangkap, saya merasa dia masih memandang ke arah saya―entah menatap saya atau orang di dekat saya. Bukan bermaksud kepedean, namun saya memilih untuk tidak memandangnya lagi karena enggan merasa “mendapatinya sedang menatap saya”―jika benar begitu.



Karena merasa jengah, saya lalu berdiri dengan memunggunginya. Saat itu juga saya menyesal tidak memakai masker. Kau tahu, dengan menggunakan masker saya merasa bisa memandangi siapa pun dengan bebas, dan bisa jadi saya malah akan melakukan adu tatap dengan dia dalam jangka waktu tak terhingga.



….



Ah… bagaimana kalau kekasihku orang yang duduk di depan coffee shop?

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo