Saya dan tante berjalan keluar dari sebuah mal
sambil membawa beberapa belanjaan, meninggalkan dingin AC dan menyambut udara
panas di luar. Kami belum berencana pulang karena tante saya sedang menunggu
seorang temannya―yang juga berbelanja di situ―untuk pulang bersama.
Namun karena tidak ada bangku yang kosong, kami
menunggu sambil berdiri. Waktu itu saya haus dan ingin segera minum. Botol air
mineral yang saya pegang kemudian saya buka tutupnya. Namun saya berhasil
menahan diri untuk tidak segera meneguknya karena saya masih berdiri. Saya
mengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk, namun nyatanya seluruh bangku
yang tersedia masih terisi penuh dan orang yang berdiri semakin banyak. Dan saya
tidak nyaman untuk mengambil posisi jongkok.
Saat melihat ke sana kemari itulah saya tidak
sengaja bertatapan dengan seorang pria berkaus putih sambil mengembuskan asap
rokoknya. Dia sedang duduk di depan coffee
shop mungil yang menempel pada dinding luar mal―tidak jauh dari saya. Di
saat itu pun saya tahu bahwa dia duluan yang menatap saya, sehingga situasinya
menjadi “saya mendapatinya sedang memandangi saya”. Jika kau pandai dalam hal
tatap-menatap―atau psikologi tentang kontak mata―pasti memahami situasi itu.
Menurut saya, pria itu memesona dan juga
menenteramkan. Dia tidak bertingkah berlebihan, hanya duduk sambil menyesap
rokok dengan santai di hadapan cup
kopinya dan sedang menatap saya. Hanya dua detik, lalu saya mengalihkan
pandangan duluan. Dia duduk di sebuah meja dengan dua kursi, dan posisi dirinya
duduk di kursi yang menghadap ke arah saya berdiri. Satu kursi di depannya
sedang kosong tapi, ah… tidak mungkin saya duduk di situ. Seandainya saja meja
itu benar-benar kosong pasti saya duduk di sana sebentar untuk minum lalu
berdiri lagi.
Kemudian saya melihat sebuah plang besi di pinggiran
selasar mal yang tingginya hanya sejengkal dari tanah. Di situlah saya duduk
dan minum. Saya tidak berani menatap ke arahnya lagi, karena hanya dari apa
yang ekor mata tangkap, saya merasa dia masih memandang ke arah saya―entah
menatap saya atau orang di dekat saya. Bukan bermaksud kepedean, namun saya
memilih untuk tidak memandangnya lagi karena enggan merasa “mendapatinya sedang
menatap saya”―jika benar begitu.
Karena merasa jengah, saya lalu berdiri dengan
memunggunginya. Saat itu juga saya menyesal tidak memakai masker. Kau tahu,
dengan menggunakan masker saya merasa bisa memandangi siapa pun dengan bebas,
dan bisa jadi saya malah akan melakukan adu tatap dengan dia dalam jangka waktu
tak terhingga.
….
Ah… bagaimana kalau kekasihku orang yang duduk di depan coffee shop?
0 komentar:
Posting Komentar