Kamis, 29 Maret 2018

Saya dan Tetangga


Sudah lebih satu bulan saya tinggal di kota S. Untuk sementara saya tinggal di rumah Mbah saya. Lagi-lagi saya dituntut untuk “bertetangga”. Menyapa, basa-basi, dan hal lainnya. Sering kali saya beli sarapan―tidak masak sendiri―yang mengharuskan saya melewati rumah-rumah tetangga. Dan di sinilah masalahnya… saya introver yang tidak pandai menyapa.

Selain ketika membeli sarapan saya juga sesekali keluar rumah untuk berbagai urusan. Di saat-saat itulah saya berharap para tetangga sedang tidak ada di depan rumahnya. Tapi saya tidak bisa memaksakan keadaan itu, kan itu rumah mereka, mereka mau bikin apa juga terserah mereka!

Ada dua rumah yang paling sering ada orangnya di depan. Rumah pertama yang paling dekat dari rumah Mbah, sering kali ada seorang pria yang duduk-duduk santai di terasnya. Mungkin usianya pertengahan tiga puluhan. Ketika saya lewat dia selalu memperhatikan saya, tapi diam saja, saya juga tidak pernah menoleh. Sungguh, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Ya, mungkin sederhana, harusnya saya menoleh saja sambil tersenyum lalu sudah. Tapi saya benar-benar kikuk. Pernah saya menoleh, menatapnya, tapi dia tidak bereaksi apa-apa. Lalu saya tidak berminat mengulanginya lagi.

Beda lagi dengan tetangga yang satunya. Pakde Itu sering berkunjung ke rumah Mbah, saya sering bertemu dengannya dan dia orang yang pandai bercakap-cakap. Kalau berbicara dengan saya, dia yang aktif bertanya. Lalu kemudian saya hafal polanya, ketika berjalan melewati depan rumahnya. Yang perlu saya lakukan hanya menoleh, memeriksa dia ada di sana atau tidak. Kalau dia tidak ada ya tidak apa-apa, kalau ada tapi dia sedang sibuk (ada bengkel sederhana di halaman rumahnya) maka saya tidak perlu menyapa karena dia tidak melihat saya. Kalau pun dia ada dan dia kebetulan juga sedang melihat saya maka dia yang akan menyapa saya duluan.

See? Dia tetangga yang menyenangkan. Pakde Itu tahu bagaimana harus berhadapan dengan saya, dan kalau diperhatikan dia memang supel ke semua orang.

Suatu hari saya bertanya pada Mbah tentang siapa pria yang sering kali duduk di teras rumahnya itu. Saya heran sekaligus penasaran apa yang dilakukannya? Dia hanya duduk diam sambil memandang-mandang. Dia bisa berjam-jam ada di sana. Tidak jelas sekali. Sangat beda dengan Pakde Itu yang jelas-jelas selalu ada di depan rumahnya karena dia membuka bengkel, terkadang menimang cucunya, terkadang hanya bersantai.

Ternyata, berdasarkan informasi dari Mbah, pria itu sebenarnya agak tidak waras. Dan memang tidak memiliki kegiatan apa-apa, ya jadi begitulah kesehariannya. Kemudian saya hanya mengujar “oh” yang panjang lalu merasa sangat lega, perasaan bersalah saya karena tidak menyapanya―dan takut dianggap sombong―jadi mereda. Berikutnya saya leluasa lewat dengan tampang cuek, toh dia hanya menatap linglung. Bukan berarti saya pilih-pilih orang, toh orang stres―untuk tidak menyebut gila―juga manusia sama dengan saya, tapi memang saya tidak bisa menyapanya.

“Betah tinggal di sini? Kan, nggak ada temannya,” tanya Pakde Itu.

Dengan ceria saya menjawab, “Saya nggak ada teman nggak apa-apa, kok.”

Maksud “nggak ada teman nggak apa-apa” di sini bukan berarti saya tidak membutuhkan orang lain, oh itu sungguh pemikiran yang keliru. Maksud pertanyaan Pakde Itu pasti mengkhawatirkan saya apakah saya tidak bosan sendirian terus, tidak ada teman ngobrol dan melakukan hal lain―selain dengan Mbah. Mungkin Pakde Itu membayangkan betapa jenuh dan membosankan hari-hari yang saya lalui di sini, karena lebih sering sendiri dan belum punya teman di mana-mana, hanya sesekali tampak “keluyuran” ke kota bersama Pram.

Ternyata pemikiran itu salah besar. Saya orang yang sangat suka sendiri. Jadi, kalau sudah merasa sangat cukup sendiri kenapa harus ada orang lain? Tinggal sendiri itu menyenangkan. Seperti saat saya masih tinggal di 28.

Dengan sendiri saya menjadi bebas. Saya bisa leluasa melakukan aktivitas-aktivitas saya. Kalau orang lain bosan dan jenuh dengan kesendirian, saya justru mendambakannya. Ketika orang lain tidak punya hal-hal yang bisa dilakukannya ketika sendiri, saya justru punya banyak kesibukan.

Belakangan ini, saya bukan hanya memiliki tetangga di luar rumah, tapi juga di dalam rumah. Tetangga-di-dalam-rumah saya ini seorang perempuan. Ya, dia ngekos di rumah Mbah saya. Suatu hari Pakde Itu berkata lagi, “Ya bagus ada yang ngekos, kamu jadi ada temannya.”

Saya hanya tertawa garing yang berusaha tampak semarak. Teman? Oh yeah… kalau yang dimaksud adalah teman ngobrol, bercanda tawa, teman piknik, teman main, tentu masih salah besar. Kamar kami memang sebelahan, tapi nyaris tak pernah menyapa. Saya orangnya bingung kalau disuruh berbasa-basi, perkenalan sederhana kami pun dia duluan yang memulai. Selanjutnya hanya obrolan yang lebih cocok disebut tanya jawab “satu ronde”. Maksudnya adalah dia bertanya dan saya menjawab, dan sudah. Tidak ada pertanyaan kedua dan tentu tidak ada jawaban kedua.

Selain itu, dia bekerja dari pagi hingga menjelang magrib, biasa malah sampai malam. Pada pagi hari, saya duluan yang keluar dari kamar, melakukan beberapa aktivitas, ketika selesai saya akan kembali masuk ke kamar melakukan berbagai hal. Pada saat itu dia baru keluar kamar untuk menyapu dan mandi lalu berangkat kerja. Kita tidak bertemu sepanjang hari.

Ketika dia pulang, dia akan langsung masuk di kamar cukup lama hingga keluar lagi ketika malam untuk mandi dan membeli makanan di luar, lalu menghabiskan banyak waktu untuk istirahat di kamarnya kembali. Sementara itu saya masih bergelut dengan aktivitas saya; piknik. Hanya keluar kamar saat makan malam, mencuci baju, atau pun buang air kecil. Dan yeah… kita tidak pernah bertemu, apalagi bercakap. Begitulah fenomena hubungan “bertetangga” kami.

Nah, sama saja bukan? Saya tetap lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Untuk itu saya berkata “nggak ada teman, nggak apa-apa”.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo