Sudah lebih satu bulan saya tinggal di kota S. Untuk sementara saya tinggal di rumah Mbah saya. Lagi-lagi saya dituntut untuk “bertetangga”. Menyapa, basa-basi, dan hal lainnya. Sering kali saya beli sarapan―tidak masak sendiri―yang mengharuskan saya melewati rumah-rumah tetangga. Dan di sinilah masalahnya… saya introver yang tidak pandai menyapa.
Selain ketika membeli sarapan saya juga sesekali
keluar rumah untuk berbagai urusan. Di saat-saat itulah saya berharap para
tetangga sedang tidak ada di depan rumahnya. Tapi saya tidak bisa memaksakan
keadaan itu, kan itu rumah mereka, mereka mau bikin apa juga terserah mereka!
Ada dua rumah yang paling sering ada orangnya di
depan. Rumah pertama yang paling dekat dari rumah Mbah, sering kali ada seorang
pria yang duduk-duduk santai di terasnya. Mungkin usianya pertengahan tiga
puluhan. Ketika saya lewat dia selalu memperhatikan saya, tapi diam saja, saya
juga tidak pernah menoleh. Sungguh, saya tidak tahu apa yang harus saya
lakukan. Ya, mungkin sederhana, harusnya saya menoleh saja sambil tersenyum
lalu sudah. Tapi saya benar-benar kikuk. Pernah saya menoleh, menatapnya, tapi
dia tidak bereaksi apa-apa. Lalu saya tidak berminat mengulanginya lagi.
Beda lagi dengan tetangga yang satunya. Pakde Itu
sering berkunjung ke rumah Mbah, saya sering bertemu dengannya dan dia orang
yang pandai bercakap-cakap. Kalau berbicara dengan saya, dia yang aktif
bertanya. Lalu kemudian saya hafal polanya, ketika berjalan melewati depan
rumahnya. Yang perlu saya lakukan hanya menoleh, memeriksa dia ada di sana atau
tidak. Kalau dia tidak ada ya tidak apa-apa, kalau ada tapi dia sedang sibuk
(ada bengkel sederhana di halaman rumahnya) maka saya tidak perlu menyapa
karena dia tidak melihat saya. Kalau pun dia ada dan dia kebetulan juga sedang
melihat saya maka dia yang akan menyapa saya duluan.
See?
Dia tetangga yang menyenangkan. Pakde Itu tahu bagaimana harus berhadapan
dengan saya, dan kalau diperhatikan dia memang supel ke semua orang.
Suatu hari saya bertanya pada Mbah tentang siapa
pria yang sering kali duduk di teras rumahnya itu. Saya heran sekaligus
penasaran apa yang dilakukannya? Dia hanya duduk diam sambil memandang-mandang.
Dia bisa berjam-jam ada di sana. Tidak jelas sekali. Sangat beda dengan Pakde
Itu yang jelas-jelas selalu ada di depan rumahnya karena dia membuka bengkel,
terkadang menimang cucunya, terkadang hanya bersantai.
Ternyata, berdasarkan informasi dari Mbah, pria itu
sebenarnya agak tidak waras. Dan memang tidak memiliki kegiatan apa-apa, ya
jadi begitulah kesehariannya. Kemudian saya hanya mengujar “oh” yang panjang
lalu merasa sangat lega, perasaan bersalah saya karena tidak menyapanya―dan
takut dianggap sombong―jadi mereda. Berikutnya saya leluasa lewat dengan
tampang cuek, toh dia hanya menatap linglung. Bukan berarti saya pilih-pilih
orang, toh orang stres―untuk tidak menyebut gila―juga manusia sama dengan saya,
tapi memang saya tidak bisa menyapanya.
“Betah tinggal di sini? Kan, nggak ada temannya,” tanya
Pakde Itu.
Dengan ceria saya menjawab, “Saya nggak ada teman nggak
apa-apa, kok.”
Maksud “nggak ada teman nggak apa-apa” di sini bukan
berarti saya tidak membutuhkan orang lain, oh itu sungguh pemikiran yang keliru.
Maksud pertanyaan Pakde Itu pasti mengkhawatirkan saya apakah saya tidak bosan
sendirian terus, tidak ada teman ngobrol dan melakukan hal lain―selain dengan Mbah.
Mungkin Pakde Itu membayangkan betapa jenuh dan membosankan hari-hari yang saya
lalui di sini, karena lebih sering sendiri dan belum punya teman di mana-mana,
hanya sesekali tampak “keluyuran” ke kota bersama Pram.
Ternyata pemikiran itu salah besar. Saya orang yang
sangat suka sendiri. Jadi, kalau sudah merasa sangat cukup sendiri kenapa harus
ada orang lain? Tinggal sendiri itu menyenangkan. Seperti saat saya masih
tinggal di 28.
Dengan sendiri saya menjadi bebas. Saya bisa leluasa
melakukan aktivitas-aktivitas saya. Kalau orang lain bosan dan jenuh dengan
kesendirian, saya justru mendambakannya. Ketika orang lain tidak punya hal-hal
yang bisa dilakukannya ketika sendiri, saya justru punya banyak kesibukan.
Belakangan ini, saya bukan hanya memiliki tetangga
di luar rumah, tapi juga di dalam rumah. Tetangga-di-dalam-rumah saya ini
seorang perempuan. Ya, dia ngekos di rumah Mbah saya. Suatu hari Pakde Itu
berkata lagi, “Ya bagus ada yang ngekos, kamu jadi ada temannya.”
Saya hanya tertawa garing yang berusaha tampak semarak.
Teman? Oh yeah… kalau yang dimaksud
adalah teman ngobrol, bercanda tawa, teman piknik, teman main, tentu masih
salah besar. Kamar kami memang sebelahan, tapi nyaris tak pernah menyapa. Saya
orangnya bingung kalau disuruh berbasa-basi, perkenalan sederhana kami pun dia
duluan yang memulai. Selanjutnya hanya obrolan yang lebih cocok disebut tanya
jawab “satu ronde”. Maksudnya adalah dia bertanya dan saya
menjawab, dan sudah. Tidak ada pertanyaan kedua dan tentu tidak ada jawaban
kedua.
Selain itu, dia bekerja dari pagi hingga menjelang
magrib, biasa malah sampai malam. Pada pagi hari, saya duluan yang keluar dari
kamar, melakukan beberapa aktivitas, ketika selesai saya akan kembali masuk ke
kamar melakukan berbagai hal. Pada saat itu dia baru keluar kamar untuk menyapu
dan mandi lalu berangkat kerja. Kita tidak bertemu sepanjang hari.
Ketika dia pulang, dia akan langsung masuk di kamar
cukup lama hingga keluar lagi ketika malam untuk mandi dan membeli makanan di
luar, lalu menghabiskan banyak waktu untuk istirahat di kamarnya kembali.
Sementara itu saya masih bergelut dengan aktivitas saya; piknik. Hanya keluar kamar saat makan malam, mencuci baju, atau pun
buang air kecil. Dan yeah… kita tidak
pernah bertemu, apalagi bercakap. Begitulah fenomena hubungan “bertetangga”
kami.
Nah, sama saja bukan? Saya tetap lebih suka
menghabiskan waktu sendiri. Untuk itu saya berkata “nggak ada teman, nggak
apa-apa”.
0 komentar:
Posting Komentar