Minggu, 11 Maret 2018

JARENE (Jarang Benere)


Sebenarnya saya tidak begitu mengikuti percakapan malam itu. Saya sedang fokus membaca suatu tulisan di handphone. Namun tiba-tiba pendengaran saya menangkap sesuatu yang menggelitik, lalu kemudian saya ikut tertawa bersama mereka.

“Aku iki ibarate distributor ngunu lo!” ujar Amir―bukan nama sebenarnya―sepupu saya yang masih SMP.

Kemudian saya fokus menyimak apa penyebab dia menganggap dirinya distributor. Jadi, malam itu tante-tante, om dan sepupu saya sedang mengobrolkan sesuatu. Amir saat itu bercerita dengan asyik tentang info-info yang didapatkannya. Entah dari temannya, tetangganya atau gurunya.

Namun sang ibu (tante saya) tidak terlalu suka jika anaknya itu membicarakan hal-hal yang belum pasti kebenarannya. Khawatir jika informasi tersebut hanyalah hoaks dan dirinya sebagai penyebar berita akan disalahkan.

Namun, nyatanya dia memang mendapatkan informasi dari orang lain lalu menceritakannya kembali dengan menyelipkan kata “katanya”. Jadi menurut saya, dia tidak sepenuhnya salah. Apalagi Amir termasuk anak yang suka bercerita, apa yang diketahuinya akan ia ceritakan kembali pada orang-orang terdekatnya.

“Aku iki dudu produsen!” serunya dengan gemas. Pasti batinnya sedang misuh-misuh, orang-orang dewasa ini tidak ada yang paham! Dan kami makin terpingkal-pingkal dibuatnya.

“Kan aku wis ngomong ‘jarene’, berarti yo soko wong liyo. Kan ‘jarene’ jarang benere…,” elaknya. Dan kami masih menganggap itu lucu.

….

Apa pelajaran sederhana dari kisah ini? Sebaiknya kita cermati dulu informasi yang sampai di telinga kita sebelum turut menyebarluaskannya. Chrosscheck lagi kebenarannya, jangan sampai kita dianggap pembohong karena menyebarkan berita-berita hoaks. Namun, menyampaikan apa yang sangat ingin kita utarakan tentu juga baik, asalkan tepat “tempatnya”.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo