Sebelum pukul delapan pagi kami sudah harus berangkat. Saya dan Pram. Lebih pagi lebih baik, pikir saya waktu itu. Kami akan mengunjungi sebuah gunung―untuk berikutnya mari kita sebut gunung X. Tentu hanya sampai di kakinya saja, karena memang saya belum punya kesiapan apa-apa untuk mendaki.
Perjalanan pagi itu
disebabkan oleh novel Mak Suri (Dee Lestari) yang baru rilis, Aroma Karsa. Di part 13 bertepatan dengan tim ekspedisi
Puspa Karsa akan ke gunung X―awalnya saya kira di part itu mereka akan langsung mendaki, ternyata belum. Saya
“merayakannya” dengan mengunjungi gunung tersebut karena lokasinya tergolong dekat.
Walau sebenarnya penampakan gunung X bisa saya nikmati dari sekitaran rumah saja
Di part 13, tim ekspedisi yang terdiri dari Jati, Suma, Pak Iwan,
Jindra, Pak Lambang, dan Bu raras baru tiba di bandara lalu menuju ke kaki
gunung X untuk persiapan. Dan… untuk kelanjutan ceritanya silakan baca
novelnya, weekend ini sudah mulai ada
di toko-toko buku!
Perjalanan ke kaki
gunung X yang di-tour guide-in Pram akan
melewati bukit-bukit kebun teh Y. Saya sudah punya pengalaman dua kali
mengunjung kebun teh Y tersebut, jadi ini yang ketiga kali. Begitu saya
merasakan suhu udara yang mulai dingin dan hidung saya meler-meler karena
ingus, itu pertanda kami sudah memasuki area kebun teh―setidaknya begitulah
yang kemudian saya hafal sebagai tanda yang diterima tubuh saya. Sebenarnya,
merasakan hawa dingin tentu bukan hal yang baru, namun entah kenapa hawa dingin
di sana selalu berhasil membuat saya beringus, walau tidak flu.
Ada perubahan-perubahan
yang saya lihat di kebun teh ini. Sekarang banyak spot foto kekinian, banyak
dijadikan tempat wisata. Bagus sih, tapi… ya jangan berlebihan begitu lah.
Mending satu atau dua saja tapi dibuat dengan sangat bagus. Saya―dan juga
mungkin teman-teman lain―tentunya lebih senang jika melihat kebun teh yang
“polos” seperti dulu.
Ketika kami sudah
sampai di area kaki gunung, kami memutuskan untuk singgah di salah satu candi
terdekat. Saat itu awan dan kabut masih tebal, sehingga tujuan saya untuk
memotret gunungnya belum bisa tercapai. Lingkungan candi itu sangat bersih,
tertata rapi, dan pemandangannya sangaaat indah―karena berada di ketinggian.
Karena masih pagi jadi masih sepi pengunjung. Ketika kami turun dari candi,
tampak serombongan pendaki sedang bersiap untuk melewati salah satu jalur
pendakian di dekat candi itu.
Setelah dari candi,
kami menuju ke tempat pelatihan paralayang. Konon katanya di sana spot bagus
untuk momotret gunung X. Namun sungguh sayang, awan masih tebal dan
kelihatannya akan segera hujan. Lalu kami singgah di salah satu tempat wisata
di kebun teh itu. Tujuannya, saya ingin melihat kreasi rumah Hobbit versi di
sana. Saat itu hujan benar-benar turun.
Karena sedang berada di
kebun teh maka kurang afdal rasanya kalau tidak mencicipi teh di sana. Maka setelah
hujan reda kami berkendara lagi menuju salah satu tempat (rumah makan) untuk
menikmati teh. Sebenarnya ada banyak tempat minum teh serupa yang menyajikan
varian teh, namun Pram membawa saya ke sebuah tempat yang namanya Omah Kodok.
Saya tidak tahu apa
hubungannya teh dengan kodok dan saya juga tidak mencari tahu kenapa namanya
bisa seperti itu. Intinya saya ingin minum teh. Di sana kami memilih duduk di …
(bale) yang di bawahnya ada aliran sungai kecil yang merupakan pertemuan dua
sungai. Jadi yang satunya jernih dan yang satu lagi keruh, tapi tidak menyatu.
Cantik sekali.
Menu yang tersedia
begitu menakjubkan, ada banyak sekali varian teh. Setelah berpikir kami memutuskan
memesan sepoci teh gocek gula aren, tempe kemul, dan tahu kemul. Selain
penasaran dengan tehnya, saya juga penasaran dengan tempe dan tahu kemul itu.
Ya, kemul artinya selimut. Jadi yang ada di bayangan saya adalah tempe dan tahu
yang diselimuti tepung, kedengarannya biasa saja, ya.
Begitu sepoci teh itu
dihidangkan di meja kami, aroma wangi teh semerbak memesona. Kami juga
diberikan suguhan berupa panganan mungil dari ubi ungu yang diberi gula merah,
enak dan manis. Ketika tempe dan tahu kemulnya disajikan, kami merasa takjub. Porsinya
cukup besar. Masing-masing terdiri dari empat buah yang ukurannya jumbo-jumbo.
Kemulnya sangat menakjubkan sekali. Kami sangat semangat untuk mencicipinya,
menikmati kerenyahan dari balutan tepung yang luar biasa itu, ditambah dengan
sambal cocolnya.
Rasa tehnya? Tidak
perlu diragukan lagi, manisnya gula aren dan wangi dari teh adalah perpaduan
sempurna. Ini teh ternikmat yang pernah saya minum seumur hidup! Sambil
menyeruput teh manis dan mengunyah gorengan yang nikmatnya luar biasa itu, kami
juga berbincang-bincang tentang gunung X. Saya yang bertanya, Pram yang
menjawab. Sebagai orang yang sering mendaki gunung, tentu Pram banyak
pengetahun.
Yang saya tanyakan
seputar hubungannya dengan novel Aroma Karsa. Lokasi X di mana? Candi X ada di
mana? Jalur pendakian X sebelah mana? Ada nggak yang namanya desa X? Eh, ada ya
yang namanya Mbah Jo atau Mbah To? Dan daftar pertanyaan lain.
Hari semakin siang,
perut kami kenyang, dan ingin segera pulang. Tapi teh dalam poci masih banyak,
tempe dan tahunya juga masih ada setengah porsi. Karena kami merasa semua
hidangan itu sangat nikmat, kami tidak rela kalau harus meninggalkannya begitu
saja. Lalu kami berinisiatif untuk membawanya pulang. Mengemas gorengan di
kantung plastik dan menuang teh yang masih ada ke Tupperware.
“Kok harganya cuma
segini, ya? Tadi saya berpikir ‘ini tidak salah kan?’” ujar Pram sambil
terkekeh saat ami sudah lanjut berkendara pulang.
“Lah! Kamu saja yang
tinggal di sekitaran sini masih terkejut apalagi saya!” sahut saya sambil
tertawa. Harga yang harus kami bayar untuk seluruh hidangan nikmat tadi hanya
Rp33.000. Jelas saya terkagum-kagum, sampai sekarang saja saya masih susah
beradaptasi dengan harga-harga di kota ini.
Jadi, ini lagi ngomongin
gunung atau teh? Whatever lah!
0 komentar:
Posting Komentar