Rupanya masyarakat di desa ini jarang yang memasak
menggunakan tepung maizena, buktinya tepung yang satu itu susah saya temukan di
sini. Waktu itu saya berkunjung ke rumah Pram, saya hendak membuat camilan yang
memerlukan tepung maizena.
Tante saya―ibu Pram―punya kios di rumahnya, namun
sayang di sana tidak ada maizena. Akhirnya saya meminta Pram untuk menemani
keluar mencari tepung itu. Kami memutuskan untuk mendatangi kios yang
besar-besar saja―untuk ukuran desa―agar kemungkinan dapatnya semakin besar.
Tapi, tetap saja tidak ada.
Tujuan akhir adalah Indomaret, saya yakin sekali di
sana ada. Sebelum ke sana Pram menawarkan saya makan mie ayam.
“Makan dulu ya, di situ ada mie ayam terenak
se-Indonesia,” katanya dengan serius dan sangat yakin, seolah-olah dia sudah
mensurvei seluruh mie ayam di Indonesia.
“Se-Indonesia??” tanya saya sambil terkekeh.
“Iya. Beneran,” dia juga terkekeh. Akhirnya kita
berbelok ke sebuah rumah makan yang tampak sederhana. Dilihat dari jumlah pengunjungnya,
tampaknya mie ayam di sana memang enak, maksudnya… sangat enak.
Tak lama kemudian mie pesanan kami datang. Dilihat
dari tampilannya, saya setuju bahwa mie ini tampak menggiurkan. Saya
mengaduknya sambil menambahkan beberapa bahan lain seperti sambal dan daun
bawang. Lalu segera saya cicipi, hm… ya, rasanya enak. Sorry… sangat enak.
Well,
saya menyetujui jika Pram menganggapnya mie ayam terenak se-Indonesia. Saya
sangat menikmati rasa pekat kuahnya dan pedas yang memikat. Bahkan membuat saya
lupa pada “kenikmatan” rasa sariawan di bibir saya―ya, di mulut saya sedang ada
lima titik sariawan! Saya menghabiskan mie ayam itu dengan khidmat, benar-benar
lupa bahwa saya tengah sariawan. Padahal setelah pulang, rasa perih itu muncul
lagi bahkan lebih hebat. Ya, mie ayam itu memang sangat enak.
0 komentar:
Posting Komentar