Rabu, 07 Maret 2018

Kesengsem Drama Stage: Anthology 2017


Saya terbiasa bekerja―yang berkaitan dengan menulis―sambil menonton film/drama (terutama Korea). Dulu, ketika saya masih tinggal di kota A, saya selalu mendapatkan pasokan film/drama dari tante saya, karena dia memang selalu banjir kuota.

Suatu malam dia mengirimkan dua film―atau sebutannya Drama Stage―yang kemudian salah satunya akan saya bahas di sini. Film itu berjudul Anthology. Diperankan oleh Shin Eun-Soo sebagai Shin So-Yi dan One sebagai Jin-Hyun (serta satu pemeran lagi sebagai Shin So-Yi dewasa, tapi saya belum tahu siapa namanya).

Menurut saya film ini sangat menggemaskan, ide ceritanya sangat menarik. Film dimulai dengan aktivitas seorang guru perempuan bernama Shin So-Yi dengan para siswanya yang “berantakan”―saya belum menemukan kata yang lebih cocok.

Singkat cerita, guru perempuan tersebut mendapatkan kenangan masa sekolahnya melalui sebuah buku yang dikirimkan bibinya bersamaan dengan bingkisan lain. Buku itu berjudul Anthology, dan di sinilah kisah ini dimulai….

Buku tersebut membawa Shin So-Yi pada kenangan yang sangat jauh. Saat dia bersekolah di desa tempat tinggal neneknya 16 tahun lalu di Nonsan sebagai siswa baru. Sebagai anak yang “terluka” Shin So-Yi sangat keras kepala dan ucapannya cukup kasar. Wataknya yang seperti itu sempat membuatnya terlibat masalah dengan teman perempuan sekelasnya.

Kemudian suatu hari seorang guru berinisiatif membuat buku antologi kelas, dia memberikan tanggung jawab kepada Jin-Hyun―seorang ketua kelas yang baik, pintar dan tampan―untuk mengerjakannya. Dibutuhkan satu orang untuk membantunya, dan Jin-Hyun memilih mengerjakannya bersama Shin So-Yi.

Awalnya Shin So-Yi tidak mau mengerjakan antologi itu. Namun kemudian ia berubah pikiran saat seorang siswa perempuan melarangnya dekat-dekat dan mengerjakan tugas itu dengan Jin-Hyun. Shin So-Yi justru sepakat mengerjakan tugas itu bersama―mungkin karena merasa tertantang.

Singkatnya lagi, Shin So-Yi dan Jin-Hyun menjadi akrab dan rupanya saling merasakan cinta pertama. Sebagai anak yang sama-sama “terluka” mereka saling memahami tentang rasa sakit itu. Namun kemudian, karena suatu masalah, Jin-Hyun tiba-tiba tidak hadir di sekolah dan tersiar kabar bahwa dia dan keluarganya melarikan diri dari desa itu.

Sejak itu…

Mereka tidak pernah bertemu lagi―karena kemudian Shin So-Yi juga segera pergi ke Amerika. Bahkan hingga kini… saat Shin So-Yi sudah dewasa dan menjadi seorang guru. Lalu, siapa sangka kalau ternyata sebelum pergi Jin-Hyun menuliskan sesuatu dalam buku antologi itu dan baru dibaca Shin So-Yi ketika dia dewasa? Kalimat yang sederhana, pengakuan perasaan Jin-Hyun. Oh… saya selalu tersentuh setiap kali melihat adegan itu.

Tapi nyatanya, mereka belum juga bertemu hingga film telah usai. TAMAT.

Bagaimana? Kedengarannya simpel, eh?

Seperti yang saya katakan, saya menyukainya karena ide film itu bagus. Dan saya menyadari bahwa saya kurang pandai menjelaskannya, sehingga gambaran jalan cerita di atas mungkin kesannya masih biasa saja.

Saya memang belum tahu banyak tentang proses pembuatan film, tapi saya perlu menceritakan hal ini. Dalam film yang drama, saya sangat menyukai proses pengambilan gambar yang lembut, adegan-adegan yang bersahaja, dan efek audio yang yang membuat “meleleh”, saya juga sangat suka ketika tokohnya mulai melakukan monolog.

Kemudian beberapa hal di dalam film ini terdapat daya tarik yang membuat saya terpikat. Misal, paman Shin So-Yi dan “anak-anaknya” yaitu kambing bernama si Putih dan si Hitam adalah paket kelucuan yang sederhana tapi sempurna. Beberapa adegan yang saya sukai, seperti saat mereka bermain bola di lapangan. Duh… saya pengin balik SMA lagi. Selain itu, percakapan mereka yang singkat dan sederhana lewat telepon juga membuat saya tersipu-sipu.

Saya begitu kesengsem dengan Jin-Hyun, tatapan matanya dan sikapnya. Duh… seusia itu saja dia bisa bersikap begitu dewasa dan menenteramkan. Bahkan saat dia sedang stres sambil kesetanan mengendarai sepeda pun dia tetap memesona dan menenteramkan. Ya, lelaki yang menenteramkan itu mungkin jelmaan malaikat. Saya pengin balik jadi anak SMA.

Mengenai akhir cerita, saya memang geregetan dan bertanya-tanya mengapa mereka tidak dipertemukan saja? Namun saya sadar lalu berpikir, sebagai orang yang juga menulis beberapa cerita, saya pasti menginginkan sesuatu yang berbeda. Saya lanjut berpikir, seandainya Shin So-Yi dan Jin-Hyun akhirnya dipertemukan kembali saat mereka dewasa―entah bagaimana caranya―rasanya kok malah biasa saja, tidak ada sesuatu yang spesial.

Nah, dengan tidak bertemunya mereka, kita sebagai penikmat film akan merasakan sensasi emosi yang berbeda. Bagaimanapun kita―atau setidaknya, saya―akan berpikir, “Gila. Mereka tidak pernah bertemu lagi! Tapi Shin So-Yi masih mengingat kenangan itu. Seorang kawan masa sekolah yang menyimpaan kenangan manis, lalu tidak pernah bertemu lagi. Apa rasanya?! Ketika cinta pertama pergi begitu saja tanpa bilang apa pun. Di mana Jin-Hyun? Apa yang dia lakukan? Masihkah juga mengingat Shin So-Yi? Woooaaah….” Semoga kalian paham dengan apa yang saya rasakan.

Lalu saya menganggap kisah itu adalah kisah yang tak selesai.

….
….

Beberapa kali di atas saya menyebutkan bahwa saya ingin balik jadi anak SMA. Ya, karena di film itu memang menggambarkan bagaimana jatuh cinta pada usia remaja. Nah, karena di usia saya yang sekarang ini, saya pikir tidak cocok lagi jika saya mengidamkan memiliki kisah jatuh cinta seperti yang di film itu―tampaknya malah konyol―maka saya berpikiran untuk balik jadi anak SMA lagi saja. Biar pas.

Bingung dengan maksud saya? Begini, film itu berhasil membuat saya ingin kembali menjadi anak SMA karena saya merasa di saat-saat usia remaja itulah kita jatuh cinta dengan “sederhana”. Ketika merasa cinta ya… tinggal jatuh cinta saja, simpel. Tanpa mikir ini dan itu. Sederhananya, kisah cinta saat remaja itu hanya pakai hati. Namun, ketika sudah dewasa, maka akal pun turut mengendalikan.

Di usia saya yang sekarang, saya tidak bisa lagi jatuh cinta seperti itu, sebenarnya bisa saja terjadi, namun kemudian saya akan berpikir panjang―jika memang ingin melanjutkan perasaan itu. Seperti kebanyakan orang, dalam menentukan pasangan kita perlu perhatikan bibit, bebet dan bobotnya. Memikirkan apakah jatuh cinta ini masuk akal atau tidak. Memikirkan bagaimana jika kita nantinya bersama. Dan intinya… apakah dia bisa “membuat” saya MAU untuk hidup selamanya dengan dia? *tolong perhatikan huruf kapital, tanda petik, ketebalan huruf dan garis bawahnya*

Yeah… masih banyak lagi. Semoga paham dengan penjelasan saya yang mungkin agak ribet dan mungkin berputar-putar ini.

Untuk itu… setiap menonton ulang film ini, saya selalu berkata “Saya ingin jadi anak SMA lagi, ketika jatuh cinta adalah hal sederhana, tanpa perlu repot berpikir macam-macam.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo