Saya terbiasa bekerja―yang berkaitan dengan menulis―sambil
menonton film/drama (terutama Korea). Dulu, ketika saya masih tinggal di kota
A, saya selalu mendapatkan pasokan film/drama dari tante saya, karena dia memang
selalu banjir kuota.
Suatu malam dia mengirimkan dua film―atau sebutannya
Drama Stage―yang kemudian salah satunya akan saya bahas di sini. Film itu berjudul
Anthology. Diperankan oleh Shin Eun-Soo sebagai Shin So-Yi dan One sebagai
Jin-Hyun (serta satu pemeran lagi sebagai Shin So-Yi dewasa, tapi saya belum
tahu siapa namanya).
Menurut saya film ini sangat menggemaskan, ide
ceritanya sangat menarik. Film dimulai dengan aktivitas seorang guru perempuan
bernama Shin So-Yi dengan para siswanya yang “berantakan”―saya belum menemukan
kata yang lebih cocok.
Singkat cerita, guru perempuan tersebut mendapatkan
kenangan masa sekolahnya melalui sebuah buku yang dikirimkan bibinya bersamaan
dengan bingkisan lain. Buku itu berjudul Anthology, dan di sinilah kisah ini
dimulai….
Buku tersebut membawa Shin So-Yi pada kenangan yang
sangat jauh. Saat dia bersekolah di desa tempat tinggal neneknya 16 tahun lalu
di Nonsan sebagai siswa baru. Sebagai anak yang “terluka” Shin So-Yi sangat
keras kepala dan ucapannya cukup kasar. Wataknya yang seperti itu sempat
membuatnya terlibat masalah dengan teman perempuan sekelasnya.
Kemudian suatu hari seorang guru berinisiatif
membuat buku antologi kelas, dia memberikan tanggung jawab kepada
Jin-Hyun―seorang ketua kelas yang baik, pintar dan tampan―untuk mengerjakannya.
Dibutuhkan satu orang untuk membantunya, dan Jin-Hyun memilih mengerjakannya
bersama Shin So-Yi.
Awalnya Shin So-Yi tidak mau mengerjakan antologi
itu. Namun kemudian ia berubah pikiran saat seorang siswa perempuan melarangnya
dekat-dekat dan mengerjakan tugas itu dengan Jin-Hyun. Shin So-Yi justru sepakat
mengerjakan tugas itu bersama―mungkin karena merasa tertantang.
Singkatnya lagi, Shin So-Yi dan Jin-Hyun menjadi
akrab dan rupanya saling merasakan cinta pertama. Sebagai anak yang sama-sama
“terluka” mereka saling memahami tentang rasa sakit itu. Namun kemudian, karena
suatu masalah, Jin-Hyun tiba-tiba tidak hadir di sekolah dan tersiar kabar
bahwa dia dan keluarganya melarikan diri dari desa itu.
Sejak itu…
Mereka tidak pernah bertemu lagi―karena kemudian
Shin So-Yi juga segera pergi ke Amerika. Bahkan hingga kini… saat Shin So-Yi
sudah dewasa dan menjadi seorang guru. Lalu, siapa sangka kalau ternyata sebelum
pergi Jin-Hyun menuliskan sesuatu dalam buku antologi itu dan baru dibaca Shin
So-Yi ketika dia dewasa? Kalimat yang sederhana, pengakuan perasaan Jin-Hyun.
Oh… saya selalu tersentuh setiap kali melihat adegan itu.
Tapi nyatanya, mereka belum juga bertemu hingga film
telah usai. TAMAT.
Bagaimana? Kedengarannya simpel, eh?
Seperti yang saya katakan, saya menyukainya karena
ide film itu bagus. Dan saya menyadari bahwa saya kurang pandai menjelaskannya,
sehingga gambaran jalan cerita di atas mungkin kesannya masih biasa saja.
Saya memang belum tahu banyak tentang proses
pembuatan film, tapi saya perlu menceritakan hal ini. Dalam film yang drama,
saya sangat menyukai proses pengambilan gambar yang lembut, adegan-adegan yang
bersahaja, dan efek audio yang yang membuat “meleleh”, saya juga sangat suka ketika
tokohnya mulai melakukan monolog.
Kemudian beberapa hal di dalam film ini terdapat
daya tarik yang membuat saya terpikat. Misal, paman Shin So-Yi dan “anak-anaknya”
yaitu kambing bernama si Putih dan si Hitam adalah paket kelucuan yang
sederhana tapi sempurna. Beberapa adegan yang saya sukai, seperti saat mereka bermain
bola di lapangan. Duh… saya pengin balik SMA lagi. Selain itu, percakapan
mereka yang singkat dan sederhana lewat telepon juga membuat saya tersipu-sipu.
Saya begitu kesengsem dengan Jin-Hyun, tatapan
matanya dan sikapnya. Duh… seusia itu saja dia bisa bersikap begitu dewasa dan
menenteramkan. Bahkan saat dia sedang stres sambil kesetanan mengendarai sepeda
pun dia tetap memesona dan menenteramkan. Ya, lelaki yang menenteramkan itu mungkin
jelmaan malaikat. Saya pengin balik jadi anak SMA.
Mengenai akhir cerita, saya memang geregetan dan
bertanya-tanya mengapa mereka tidak dipertemukan saja? Namun saya sadar lalu
berpikir, sebagai orang yang juga menulis beberapa cerita, saya pasti menginginkan
sesuatu yang berbeda. Saya lanjut berpikir, seandainya Shin So-Yi dan Jin-Hyun
akhirnya dipertemukan kembali saat mereka dewasa―entah bagaimana caranya―rasanya
kok malah biasa saja, tidak ada sesuatu yang spesial.
Nah, dengan tidak bertemunya mereka, kita sebagai
penikmat film akan merasakan sensasi emosi yang berbeda. Bagaimanapun kita―atau
setidaknya, saya―akan berpikir, “Gila. Mereka tidak pernah bertemu lagi! Tapi Shin
So-Yi masih mengingat kenangan itu. Seorang kawan masa sekolah yang menyimpaan
kenangan manis, lalu tidak pernah bertemu lagi. Apa rasanya?! Ketika cinta
pertama pergi begitu saja tanpa bilang apa pun. Di mana Jin-Hyun? Apa yang dia
lakukan? Masihkah juga mengingat Shin So-Yi? Woooaaah….” Semoga kalian paham
dengan apa yang saya rasakan.
Lalu saya menganggap kisah itu adalah kisah yang tak
selesai.
….
….
Beberapa kali di atas saya menyebutkan bahwa saya
ingin balik jadi anak SMA. Ya, karena di film itu memang menggambarkan
bagaimana jatuh cinta pada usia remaja. Nah, karena di usia saya yang sekarang
ini, saya pikir tidak cocok lagi jika saya mengidamkan memiliki kisah jatuh cinta
seperti yang di film itu―tampaknya malah konyol―maka saya berpikiran untuk
balik jadi anak SMA lagi saja. Biar pas.
Bingung dengan maksud saya? Begini, film itu
berhasil membuat saya ingin kembali menjadi anak SMA karena saya merasa di
saat-saat usia remaja itulah kita jatuh cinta dengan “sederhana”. Ketika merasa
cinta ya… tinggal jatuh cinta saja, simpel. Tanpa mikir ini dan itu.
Sederhananya, kisah cinta saat remaja itu hanya pakai hati. Namun, ketika sudah
dewasa, maka akal pun turut mengendalikan.
Di usia saya yang sekarang, saya tidak bisa lagi
jatuh cinta seperti itu, sebenarnya bisa saja terjadi, namun kemudian saya akan
berpikir panjang―jika memang ingin melanjutkan perasaan itu. Seperti kebanyakan
orang, dalam menentukan pasangan kita perlu perhatikan bibit, bebet dan
bobotnya. Memikirkan apakah jatuh cinta ini masuk akal atau tidak. Memikirkan
bagaimana jika kita nantinya bersama. Dan intinya… apakah dia bisa “membuat”
saya “MAU” untuk hidup
selamanya dengan dia? *tolong perhatikan huruf kapital, tanda petik, ketebalan
huruf dan garis bawahnya*
Yeah…
masih banyak lagi. Semoga paham dengan penjelasan saya yang mungkin agak ribet
dan mungkin berputar-putar ini.
Untuk itu… setiap menonton ulang film ini, saya
selalu berkata “Saya ingin jadi anak SMA lagi, ketika jatuh cinta adalah hal
sederhana, tanpa perlu repot berpikir macam-macam.”
0 komentar:
Posting Komentar