Berminggu-minggu setelah saya tinggal di kota S rasanya masih sulit untuk beradaptasi dengan harga-harga di sini. Sungguh berbeda dengan harga di kampung halaman saya, Kendari, atau pun di kota J tempat tinggal saya yang lalu. Harga-harga di sini sangat rendah sekali, benar… saya banyak bersyukur atas biaya hidup yang cukup rendah ini, tapi sulit juga untuk terbiasa.
Dengan tiga ribu
rupiah saya sudah bisa sarapan dengan kenyang. Mungkin untuk orang dari kota
lain merasa porsi makanan di sini termasuk kecil, tapi bagi saya tidak, ini
sangat pas. Tiga ribu rupiah dapat seporsi nasi pecel atau nasi sambal tumpang
plus satu gorengan. Bahkan jika di pasar saya bisa mendapatkannya hanya dengan
harga dua ribu lima ratus. Saya ulangi lagi Rp2.500! Saya terheran-heran. Maka sangat
normal jika di tempat lain lima ribu rupiah sudah dapat paket lengkap. Seporsi
nasi, gorengan satu, dan segelas teh hangat. Oh, nikmatnya dunia….
Pernah suatu
pagi saya berangkat ke pasar, sebelumnya Mbah sudah memberi tahu apa-apa saja
yang perlu saya beli di sana. Dan kesalahannya adalah… tidak memberi tahu saya
berapa harga yang harus saya beli untuk setiap masing-masing bahan makanan itu.
Sampai kemudian saya berhadapan dengan seorang ibu penjual sayur mayur, saya
hendak membeli wortel. Tapi kelabakan ketika ditanya mau beli berapa banyak.
“Lima ribu?”
jelas-jelas jawaban saya itu juga mengandung nada bertanya, karena saya
benar-benar ragu, apakah nilai itu sudah pas atau terlalu kecil?
Dengan semangat
ibu itu lalu mengemas wortel-wortel ke dalam kantung plastik. Tunggu! Kenapa dia belum berhenti juga?
Tunggu! Sebanyak apa wortel yang akan saya dapatkan? batin saya panik.
Dengan terbengong-bengong saya memasukkan wortel itu ke dalam tas belanja,
berat sekali. Tas belanja yang saya bawa jadi didominasi oleh wortel-wortel
yang tak disangka-sangka. Saya terkikik-kikik lucu, pasti nanti dimarahi Mbah, batin saya. Saya sudah mirip penjual
sayur keliling yang sedang kulakan wortel.
Berikutnya Mbah
selalu mendikte saya, tempe beli seribu, tahu dua ribu, cabe seribu, wortel dua
ribu, kacang panjang seribu, gambas dua ribu, taoge seribu, dan seribu-dua-ribu
lainnya. Walaupun sudah diberitahu seperti itu, saya masih sering ragu ketika
di pasar. Apa tidak apa-apa kalau hanya seribu? Tidakkah terlalu kecil?
Sopankah kalau hanya beli seribu? Kecanggungan-kecanggungan seperti itulah yang
saya alami. Tapi memang seperti itu fenomena di sini. Kalau saya memaksa
belanja dengan harga lebih tinggi, nanti kejadiannya akan sama dengan kasus
wortel. Jadi saya menurutinya.
Begitu pula
dengan sepaket sayuran untuk sop yang sudah dibungkus dalam plastik-plastik.
Bungkusannya tampak besar-besar dan jelas isinya banyak. Saya bertanya berapa
harganya dan saya pikir saya salah dengar. Masa cuma seribu rupiah? Isinya ada
seperempat kol, tiga wortel, lima helai daun bawang, dan lima helai seledri.
Dulu ketika saya kos di Kendari, memang ada juga paket sayur sop seperti itu,
harganya seribu rupiah tapi isinya jauh lebih sedikit daripada yang ini.
Lalu saya
mengambil satu bungkus dan menyerahkan uang lima ribu. Ternyata benar, saya
mendapat kembalian empat ribu! Saya terkagum-kagum lagi. Konon, ketika sepaket
sayur sop itu dimasak, jadi satu panci penuh. Bisa untuk makan sehari berdua
dengan Mbah, seribu rupiah! Kalau kebetulan sedang tidak beli macam-macam―hanya
dua bungkus nasi untuk sarapan, bahan makanan untuk sehari, dan buah―ke pasar dengan
uang dua puluh ribu rupiah saja saya sudah bisa membawa pulang satu tas penuh.
Pernah juga saya
ceritakan bahwa saya kagum dengan harga sepaket minum teh di kaki gunung. Sampai saat ini saya sudah cukup bisa
beradaptasi, tapi masih sering kagum. Satu pelajaran untuk saya; walaupun biaya
hidup di sini murah, bukan berarti bisa menghambur-hamburkan uang untuk membeli
hal-hal yang tidak perlu. Stop mubazir!
0 komentar:
Posting Komentar