Rabu, 07 Maret 2018

Bentuk Keikhlasan dan Ketulusan


Pada suatu hari saya dan adik sepupu saya, namanya Pram―bukan nama sesungguhnya―membuat janji dengan seseorang, sebut saja namanya Mas Rangga―juga bukan nama sebenarnya. Kami bertiga membuat janji temu di suatu kota untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.



Walau belum pernah bertemu dengannya namun saya sudah cukup sering mendengar nama Mas Rangga. Kami memang berencana akan bekerja sama tentang suatu pekerjaan, tapi selama ini untuk berhubungan dengan Mas Rangga selalu diperantarai oleh Pram. Sehingga saya cukup gugup untuk bertemu langsung, apalagi saya introver. Nah, karena kebetulan Pram dan Mas Rangga merupakan kenalan dekat, jadi saya pikir urusan ini akan lebih mudah.



….



Beberapa hari sebelumnya, rencana saya dan Pram ke luar kota tampak meyakinkan, kami punya beberapa agenda. Namun, ketika H-1 terjadilah percakapan tak terduga yang kira-kira seperti ini.



“Kita itu ke kota A mau ngapain aja sih?” tanya Pram sambil serius berpikir.



Mendengar pertanyaan itu, saya juga khusyuk berpikir. “Ngapain ya?” saya balik bertanya. Lalu kita tertawa.



“Kalau hanya mau bahas pekerjaan itu, kita nggak perlu jauh-jauh ke sana. Di rumah saja kita juga sudah bisa ketemu―dengan Mas Rangga,” ujar Pram dan saya masih tertawa.



Beberapa saat kita berpikir lagi. Berkali-kali Pram mencoba menawarkan saya untuk melakukan hal-hal dengan mengunjungi beberapa tempat di kota itu. Tapi saya tidak tertarik.



“Pokoknya… kita tetap ke kota itu. Agendanya tetap ketemu Mas Rangga dan membahas hal-hal yang diperlukan,” ujar saya kemudian. Entah mengapa diri saya merasa kukuh ingin bertemu di kota A saja.



Keesokan harinya kami benar-benar mengunjungi kota A. Kami tiba sekitar pukul setengah tiga sore, namun karena janji temu dengan Mas Rangga di jam lima sore, maka kami memutuskan berkeliling sebentar.



Pram mengajak saya ke pasar ikan hias, dia rencananya mau membeli beberapa keperluan yang dipesan pelanggannya―dia berbisnis aquascape. Setelah mendapatkan beberapa ekor ikan, udang, dan pasir, kami keluar dari pasar itu. Karena masih ada banyak waktu sebelum jam lima, maka kami memutuskan untuk singgah membeli jus.



Dan tepat jam lima kami sampai di sebuah coffee shop yang sudah disepakati. Mas Rangga baru datang setengah jam kemudian. Kesal? Iya. Tapi memang kondisi saat itu saya dan Pram yang sedang membutuhkannya, jadi kami memaklumi.



Kami bertiga membincangkan beberapa hal terkait pekerjaan. Meski dengan canggung saya menjelaskan―karena baru pertama kali bertemu―namun semua berjalan dengan baik. Percakapan itu hanya berlangsung setengah jam, setelah jeda sesaat Mas Rangga pun pamit karena ada janji lain.



“Wis ngunu wae sik, to? Ngko lah gampang aku iso ning omahmu,” ujarnya pada Pram. “Sudah begini saja dulu, kan? Nanti lah gampang saya bisa ke rumah kamu.”



Mendengar kalimatnya itu membuat kesadaran saya tersulut kembali. Dengan menahan untuk tidak tertawa saya berpikir lagi, kenapa kita sampai jauh-jauh ke luar kota hanya untuk bertemu, sedangkan kita bisa bertemu di dalam kota di salah satu rumah dari kami yang jaraknya “lima langkah”?



Sebagai catatan, jika diurutkan, letak rumah Mas Rangga ada di tengah-tengah rumah Pram dan tempat tinggal saya saat ini. Sedangkan saya maupun Pram sering bolak-balik saling mengunjungi karena terbilang dekat. Jadi, untuk berkunjung di rumah Mas Rangga―atau salah satu dari rumah kami―tentu tidak ada masalah dengan jarak.



Lalu saya berpikir, mungkin beginilah salah satu bentuk keikhlasan dan ketulusan. Saat kita melakukan sesuatu tanpa perlu motivasi apa-apa. Melakukan dengan ikhlas dan tulus, melakukan hanya karena ingin, tanpa embel-embel apa pun.



Mungkin kalian akan berpikir bahwa kami hanya buang-buang waktu dan ongkos. Tapi saya tidak merasa seperti itu, toh kami tidak melakukannya setiap hari. Jika dipikir, saya punya pekerjaan yang terikat tenggat waktu dan juga beberapa kesibukan lain. Pram pun punya kesibukannya sendiri. Tapi saya ikhlas melakukannya dan tidak merasa sia-sia, hanya merasa lucu dan mendapatkan pelajaran berharga. Bahwa dalam hidup kita perlu melakukan hal-hal dengan ikhlas, tulus, tanpa ribut-ribut.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo