Saya sangat menyukai tidur pada malam hari di rumah Mbah.
Di sebelah barat rumah ada aliran air yang terkadang jernih terkadang keruh. Di
aliran itu ada banyak batu-batuan kali, sehingga suara gemerciknya syahdu
sekali.
Suara yang menenangkan juga menenteramkan itu akan
sangat terasa pada malam hari, saat suasana sudah menjadi sunyi. Kebetulan
kamar tidur saya bersama Mbah ada di sisi barat rumah, sehingga dekat dengan
aliran air itu dan suaranya jadi jelas terdengar.
….
Seperti layaknya di desa-desa, ketika malam sudah
menunjukkan pukul sembilan maka suasana sudah sepi. Rasanya sudah tengah malam dan
mata jadi mengantuk. Satu-satunya bebunyian adalah televisi, jika dimatikan,
sunyi senyaplah sudah, padahal baru jam sembilan. Kasusnya sama dengan ketika
berada di desa kampung halaman saya di Muna Barat. Jam sepuluh itu rasanya
sudah malam sekali, rasa kantuk menyerang dan sudah saatnya menuju kasur.
Jika saya tinggal di kota, baik itu saat di Kendari
atau di kota J―inisialnya saja dan akan saya pakai seterusnya―tempat tinggal
saya sebelumnya. Di sana saya bisa tidur setelah melewati tengah malam dan
masih tetap ramai-ramai saja―namanya saja kota! Ya, begitulah fenomenanya,
mungkin kamu juga sepakat.
Jadi, menjelang jam sepuluh malam saya sudah mulai
mematikan laptop. Kalaupun belum mau tidur, saya akan membaca tapi sudah pasti
akan berpindah ke kasur. Tapi tidak lama-lama, tidak pernah melewati jam
sebelas. Suasana sudah sangat sepi, televisi sudah mati, mbah sudah tidur, dan
segala bebunyian jadi sangat nyaring terdengar. Biasanya, saya akan segera
menyusul tidur.
….
Malam itu saya dan Mbah sudah bersiap tidur, jam
menunjukkan pukul setengah sepuluh. Saat-saat menjelang tidur adalah waktu yang
menenteramkan untuk saya. Karena sepi, semua bebunyian jadi berkali lipat lebih
nyaring. Saya akan dengan khidmat mendengarkan perpaduan gemercik air dan suara
detik jam dinding tua yang suaranya tegas sekali. Momen yang menyenangkan. Seolah-olah
ada akuarium di dalam rumah, padahal tidak.
Di tengah saya sedang menikmati suara-suara syahdu
itu sambil memejamkan mata, saya mendengar ada satu suara lain muncul. Baru
malam itu terdengar dan saya penasaran. “Mbah,” saya memanggil Mbah dengan
lirih, ternyata dia juga belum tidur. “Itu suara kodok ya?” tanya saya.
“Mana?”
“Coba dengar.…”
“Oh, iya. Katanya, kalau ada satu kodok yang
bunyinya salah nggak sama dengan yang lain, kodok itu nanti dibantai sama
teman-temannya,” ujar Mbah sambil tertawa kecil.
Saya mengernyit lalu ikut terkekeh. “Masa, Mbah?
Kenapa bisa?”
“Ya begitu, kalau ada satu yang suaranya beda atau
salah nanti dibantai sama teman-temannya, diserang begitu lo…” jelas Mbah. “Itu
katanya mbah-mbah dulu kok, diceritain begitu dulu…” lanjutnya sambil terkekeh.
Saya tertawa. Jadi dongeng-dongeng dulu ada yang
seperti itu. Saya baru tahu. Lalu malam itu saya fokus mendengarkan suara sekumpulan
kodok-kodok itu. Mencermati apakah ada nadanya yang fals atau melenceng dari
“not yang ditentukan”. Walaupun saya tidak begitu paham dengan nada-nada, tapi
saya menikmatinya dan terus mengamati.
Saya berharap-harap cemas, jika mendapati ada suara
yang salah, apa yang akan terjadi kemudian? Apakah benar, kodok yang khilaf itu
akan dibantai teman-temannya? Oh, saya penasaran. Maka saya menunggu, sambil
memejamkan mata mendengarkan suara kodok dilatari gemercik air dan detikan
jarum jam.
….
Jadi, apakah malam itu saya mendapati ada nada yang
salah dari kodok-kodok itu? Tidak. Karena saya ketiduran.
0 komentar:
Posting Komentar