Rabu, 14 Maret 2018

Kodok yang Dibantai


Saya sangat menyukai tidur pada malam hari di rumah Mbah. Di sebelah barat rumah ada aliran air yang terkadang jernih terkadang keruh. Di aliran itu ada banyak batu-batuan kali, sehingga suara gemerciknya syahdu sekali.

Suara yang menenangkan juga menenteramkan itu akan sangat terasa pada malam hari, saat suasana sudah menjadi sunyi. Kebetulan kamar tidur saya bersama Mbah ada di sisi barat rumah, sehingga dekat dengan aliran air itu dan suaranya jadi jelas terdengar.

….

Seperti layaknya di desa-desa, ketika malam sudah menunjukkan pukul sembilan maka suasana sudah sepi. Rasanya sudah tengah malam dan mata jadi mengantuk. Satu-satunya bebunyian adalah televisi, jika dimatikan, sunyi senyaplah sudah, padahal baru jam sembilan. Kasusnya sama dengan ketika berada di desa kampung halaman saya di Muna Barat. Jam sepuluh itu rasanya sudah malam sekali, rasa kantuk menyerang dan sudah saatnya menuju kasur.

Jika saya tinggal di kota, baik itu saat di Kendari atau di kota J―inisialnya saja dan akan saya pakai seterusnya―tempat tinggal saya sebelumnya. Di sana saya bisa tidur setelah melewati tengah malam dan masih tetap ramai-ramai saja―namanya saja kota! Ya, begitulah fenomenanya, mungkin kamu juga sepakat.

Jadi, menjelang jam sepuluh malam saya sudah mulai mematikan laptop. Kalaupun belum mau tidur, saya akan membaca tapi sudah pasti akan berpindah ke kasur. Tapi tidak lama-lama, tidak pernah melewati jam sebelas. Suasana sudah sangat sepi, televisi sudah mati, mbah sudah tidur, dan segala bebunyian jadi sangat nyaring terdengar. Biasanya, saya akan segera menyusul tidur.

….

Malam itu saya dan Mbah sudah bersiap tidur, jam menunjukkan pukul setengah sepuluh. Saat-saat menjelang tidur adalah waktu yang menenteramkan untuk saya. Karena sepi, semua bebunyian jadi berkali lipat lebih nyaring. Saya akan dengan khidmat mendengarkan perpaduan gemercik air dan suara detik jam dinding tua yang suaranya tegas sekali. Momen yang menyenangkan. Seolah-olah ada akuarium di dalam rumah, padahal tidak.

Di tengah saya sedang menikmati suara-suara syahdu itu sambil memejamkan mata, saya mendengar ada satu suara lain muncul. Baru malam itu terdengar dan saya penasaran. “Mbah,” saya memanggil Mbah dengan lirih, ternyata dia juga belum tidur. “Itu suara kodok ya?” tanya saya.

“Mana?”

“Coba dengar.…”

“Oh, iya. Katanya, kalau ada satu kodok yang bunyinya salah nggak sama dengan yang lain, kodok itu nanti dibantai sama teman-temannya,” ujar Mbah sambil tertawa kecil.

Saya mengernyit lalu ikut terkekeh. “Masa, Mbah? Kenapa bisa?”

“Ya begitu, kalau ada satu yang suaranya beda atau salah nanti dibantai sama teman-temannya, diserang begitu lo…” jelas Mbah. “Itu katanya mbah-mbah dulu kok, diceritain begitu dulu…” lanjutnya sambil terkekeh.

Saya tertawa. Jadi dongeng-dongeng dulu ada yang seperti itu. Saya baru tahu. Lalu malam itu saya fokus mendengarkan suara sekumpulan kodok-kodok itu. Mencermati apakah ada nadanya yang fals atau melenceng dari “not yang ditentukan”. Walaupun saya tidak begitu paham dengan nada-nada, tapi saya menikmatinya dan terus mengamati.

Saya berharap-harap cemas, jika mendapati ada suara yang salah, apa yang akan terjadi kemudian? Apakah benar, kodok yang khilaf itu akan dibantai teman-temannya? Oh, saya penasaran. Maka saya menunggu, sambil memejamkan mata mendengarkan suara kodok dilatari gemercik air dan detikan jarum jam.

….

Jadi, apakah malam itu saya mendapati ada nada yang salah dari kodok-kodok itu? Tidak. Karena saya ketiduran.

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo