Surat terbuka untuk seorang kawan.
Hai
Bimo,
Tiba-tiba
aku ingat kamu. Terkejutkah? Aku pun begitu. Sudah lama kita tidak bertemu, tak
berbagi kabar. Bahkan aku sudah lupa bagaimana wajahmu. Aku yakin sekali kamu
pun begitu. Berapa tahun telah berlalu? 15 tahun? 17 tahun? Aku bahkan tak tahu
pasti.
Selera
humor semesta memang unik. Jika benar kita pernah dipertemukan, entah kapan dan
di mana, lalu kita tak saling menyapa karena sudah tak mengenali, mungkin saat
itu semesta sedang tertawa. Bermain-main dengan kita.
Di
era teknologi yang berkembang pesat ini kupikir kita tetap tidak bisa bersua.
Google tak tahu segalanya dan media sosial tidak bisa mempertemukan kita. Apa
harus kubuat sayembara? Maaf aku hanya bercanda, karena tak apa-apa, lebih baik
semua tetap seperti ini saja. Kecuali ketika semesta menghendakinya. Yeah… kita
tak pernah tahu kejutannya.
Aku
ingin bercerita, simaklah. Belasan tahun berlalu aku hidup dengan cukup baik.
Tawa dan air mata selalu setia, tak pernah ada yang ingkar, tak seperti manusia.
Diriku kini tumbuh dengan baik, cukup kuat, juga bahagia.
Semakin
dewasa aku pun paham bahwa hidup adalah pilihan. Hidup ini mengerikan, kau
tahu, penuh kegelisahan. Namun juga sangat menggembirakan, buktinya aku lebih
bersyukur sudah hidup daripada menyesal telah dilahirkan. Setelah kupikir-pikir,
aku tak pernah menyangka bisa tumbuh hingga di usia ini. Terlalu cepat waktu
berlalu, seolah aku tak rela beranjak dewasa. Saat aku menulis surat ini, aku
membayangkan kita masih kecil. Oh, sungguh, aku ingin tertawa.
Bimo,
ternyata aku juga tumbuh sebagai perempuan yang cengeng. Biasa dihadapkan
dengan masalah tapi tak pernah terbiasa. Sekarang ini aku sedang giat bekerja
dan belajar, aku ingin mengubah hidupku. Mendambakan “kebebasan”.
Aku
juga sedang menanti seorang kekasih.
Sebenarnya aku cukup panik, apakah aku akan menikah? Rasanya baru saja kemarin
aku bermain bola bekel. Oh well, apakah kau sudah mulai tertawa sampai di sini?
Bimo,
yang tersisa di ingatanku saat ini hanyalah letak rumahmu yang dulu dan
sepotong namamu. Aku tak pernah tahu nama lengkapmu, bahkan tak ingat wajahmu.
Apa kau juga sempat tumbuh dewasa sepertiku? Bagaimanapun juga aku berharap kau
masih hidup. Biar kau merasakan apa yang aku rasa saat tumbuh hingga di usia ini.
Dan bahkan lebih tua lagi.
Di
kesempatan ini, aku ingin kau sampaikan salamku pada keluargamu. Kalian sudah
pernah turut memberikan memori indah di masa kecilku. Terima kasih.
Kamu
baik-baik saja, bukan?
Warm
regards,
Teman
masa kecilmu,
Eby
Tabita.
(Uhm,
sorry. Kamu pasti lebih mengenalku sebagai… Febri.)
0 komentar:
Posting Komentar