Beberapa minggu yang lalu saya pindah tempat
tinggal. Meninggalkan kota yang begitu semarak menuju kota kecil yang jauh
lebih “anteng”. Saya memakai jasa kereta api dengan waktu tempuh sekitar
sebelas jam.
Saya beruntung, karena bisa memesan kursi sesuai
keinginan―kursi porsi dua orang, dekat toilet, dekat pintu gerbong, dan yang
terpenting… dekat jendela. Benar-benar sempurna menurutku, karena
sebelum-sebelumnya saya tidak pernah bisa duduk di dekat jendela.
Dia masih muda, tampan, dan rapi dalam balutan
seragamnya yang tampak bersahaja. Saya senang memandanginya. Kebetulan saat itu
saya tidak lupa menggunakan masker. Kau tahu, masker menurutku adalah topeng
yang membebaskanku untuk mengamati siapa pun, yeah….
Beberapa kali saya melihatnya berjalan di lorong
gerbong―karena memang itu bagian dari pekerjaannya. Namun, ada satu saat di
mana saya benar-benar bisa menatapnya utuh.
Saat itu kereta baru saja berhenti di salah satu
stasiun persinggahan. Kondektur itu keluar dari pintu gerbong. Dia membantu
seorang wanita yang hendak turun dengan cara menarikkan sebuah tangga kecil
untuk pijakan. Saya bisa jelas menikmati adegan itu dari kursiku. Sekali lagi,
itu memang bagian dari pekerjaannya, tapi saya tetap terkesima.
Saya terus memandanginya dari balik kaca jendela.
Terus dan terus, tidak berpaling sedikit pun. Saya selalu yakin bahwa “ketika
ada orang yang memandangmu terus-terusan, maka kamu akan menyadarinya.” Itu
semacam “sihir” dan dijelaskan dalam psikologi―saya tidak perlu menjelaskannya
panjang lebar di sini.
Jadi saya terus memandangnya. Dan benar saja, dipisahkan
oleh kaca jendela kereta, dia menatap tepat ke mata saya. Karena dia menyadari
deteksi tatapan, maka situasinya adalah dia sengaja menatap saya karena mencari
seseorang yang ia rasa sedang mengawasinya. Pandangan kami bertemu tiga detik,
waktu yang sangat lama untuk ukuran tatapan dua pasang mata yang belum pernah
bertemu sebelumnya. Refleks saya tersenyum, karena berhasil “membuatnya”
menatap saya. Oh, tentu dia tidak tahu saya sedang tersenyum karena saya
memakai masker dan kondisi yang tidak memungkinkannya membaca tatapan saya.
Seperti yang saya katakan, pandangan kami bertemu tiga
detik. Dia segera mengalihkan tatapannya―walau saya masih tetap lanjut
mengamatinya―kembali pada apa yang dikerjakannya.
Lalu dia meniup peluit dengan sangat panjang.
Lagi-lagi, itu memang bagian dari pekerjaannya tapi saya tetap terkesima. Baru
kali ini saya melihat seorang pria meniup peluit dengan begitu memesona. Dia
lalu bergegas naik ke gerbong. Saat itulah pandangan kami kembali bertemu
sekilas. Berikutnya, saya masih terus tersenyum saat kondektur itu kembali
melintas di gerbong, walau kami tidak bertatapan lagi.
Dia pria yang baik―setidaknya menurut saya. Dia
tidak “melayani” tatapanku dengan serius. Saya sangat menghargai sikapnya itu.
Dan, ini entah yang keberapa puluh kalinya saya merasa “kagum sekilas”. Lalu saya buru-buru
mengingat filosofi bintang.
Ah… bagaimana kalau kekasihku kondektur kereta api?
0 komentar:
Posting Komentar