Rabu, 07 Maret 2018

Bagaimana Kalau Kondektur Kereta Api?


Beberapa minggu yang lalu saya pindah tempat tinggal. Meninggalkan kota yang begitu semarak menuju kota kecil yang jauh lebih “anteng”. Saya memakai jasa kereta api dengan waktu tempuh sekitar sebelas jam.

Saya beruntung, karena bisa memesan kursi sesuai keinginan―kursi porsi dua orang, dekat toilet, dekat pintu gerbong, dan yang terpenting… dekat jendela. Benar-benar sempurna menurutku, karena sebelum-sebelumnya saya tidak pernah bisa duduk di dekat jendela.

Lalu, siapa sangka jika perjalanan itu mempertemukan pandangan saya pada seorang kondektur?

Dia masih muda, tampan, dan rapi dalam balutan seragamnya yang tampak bersahaja. Saya senang memandanginya. Kebetulan saat itu saya tidak lupa menggunakan masker. Kau tahu, masker menurutku adalah topeng yang membebaskanku untuk mengamati siapa pun, yeah….

Beberapa kali saya melihatnya berjalan di lorong gerbong―karena memang itu bagian dari pekerjaannya. Namun, ada satu saat di mana saya benar-benar bisa menatapnya utuh.

Saat itu kereta baru saja berhenti di salah satu stasiun persinggahan. Kondektur itu keluar dari pintu gerbong. Dia membantu seorang wanita yang hendak turun dengan cara menarikkan sebuah tangga kecil untuk pijakan. Saya bisa jelas menikmati adegan itu dari kursiku. Sekali lagi, itu memang bagian dari pekerjaannya, tapi saya tetap terkesima.

Saya terus memandanginya dari balik kaca jendela. Terus dan terus, tidak berpaling sedikit pun. Saya selalu yakin bahwa “ketika ada orang yang memandangmu terus-terusan, maka kamu akan menyadarinya.” Itu semacam “sihir” dan dijelaskan dalam psikologi―saya tidak perlu menjelaskannya panjang lebar di sini.

Jadi saya terus memandangnya. Dan benar saja, dipisahkan oleh kaca jendela kereta, dia menatap tepat ke mata saya. Karena dia menyadari deteksi tatapan, maka situasinya adalah dia sengaja menatap saya karena mencari seseorang yang ia rasa sedang mengawasinya. Pandangan kami bertemu tiga detik, waktu yang sangat lama untuk ukuran tatapan dua pasang mata yang belum pernah bertemu sebelumnya. Refleks saya tersenyum, karena berhasil “membuatnya” menatap saya. Oh, tentu dia tidak tahu saya sedang tersenyum karena saya memakai masker dan kondisi yang tidak memungkinkannya membaca tatapan saya.

Seperti yang saya katakan, pandangan kami bertemu tiga detik. Dia segera mengalihkan tatapannya―walau saya masih tetap lanjut mengamatinya―kembali pada apa yang dikerjakannya.

Lalu dia meniup peluit dengan sangat panjang. Lagi-lagi, itu memang bagian dari pekerjaannya tapi saya tetap terkesima. Baru kali ini saya melihat seorang pria meniup peluit dengan begitu memesona. Dia lalu bergegas naik ke gerbong. Saat itulah pandangan kami kembali bertemu sekilas. Berikutnya, saya masih terus tersenyum saat kondektur itu kembali melintas di gerbong, walau kami tidak bertatapan lagi.

Dia pria yang baik―setidaknya menurut saya. Dia tidak “melayani” tatapanku dengan serius. Saya sangat menghargai sikapnya itu. Dan, ini entah yang keberapa puluh kalinya saya merasa “kagum sekilas”. Lalu saya buru-buru mengingat filosofi bintang.

Ah… bagaimana kalau kekasihku kondektur kereta api?

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo