Sabtu, 31 Maret 2018

Obatnya: Jangan Panik!


Ada berbagai pilihan bagaimana kita menyikapi apa yang hadir atau apa yang terjadi di hidup kita. Ketika sakit, misalnya. Saya termasuk orang yang sangat jarang sariawan, seingat saya, dalam hidup baru dua kali mengalaminya. Pertama sewaktu kuliah dan yang terakhir beberapa minggu yang lalu, saat-saat saya makan mie ayam terenak se-Indonesia.

Karena termasuk jarang merasakan sariawan, saya merasa kejadian itu sangat mengganggu sekaligus aneh, karena jarang merasakan. Dan ini bukan main-main, tidak hanya satu… jumlahnya lima titik sariawan, di mulut saya! Bicara sakit, sikat gigi sakit, makan sakit…. Mengganggu sekali.

Sebagai manusia, saya dikaruniai kemampuan untuk berpikir. Juga kebebasan serta kemampuan untuk memilih bagaimana menjalani hidup saya. Pada saat sariawan, saya bisa memilih untuk merasa terganggu, marah-marah, kesal, dan terus-terusan mengeluh. Pun saya juga bisa memilih untuk santai saja, tetap berpikir positif, dan terus merasa gembira, kalau perlu malah menertawakannya. Dan jelas, saya memilih yang kedua.

Berhari-hari saya merasa tidak nyaman dengan sariawan-sariawan itu, namun saya tetap enjoy dan terus beraktivitas seperti biasa, seolah-olah mulut saya baik-baik saja. Rasanya memang sangat pedih, apalagi saat mengunyah makanan, namun saya tetap berpikir positif bahwa sakit ini akan berlalu. Pada akhirnya sariawan ini akan usai. Abaikan saja.

Benar saja, empat hari kemudian saya terkejut ketika tiba-tiba merasa ada yang berubah. Ya! Sariawan saya hilang! Berkali-kali saya mengecek di depan cermin, dan bintik-bintik mengerikan itu memang sudah lenyap, tak berbekas. Bagaimana bisa? Saya terheran-heran. Lalu memonyong-monyongkan mulut dengan aneka gaya untuk memastikan lagi apakah benar-benar sudah tidak sakit. Hei! Memang tidak sakit. Saya jadi pengin peluk Tuhan.

….

Sama dengan sariawan, seminggu yang lalu saya mengalami nyeri di punggung, sangaaat sakit dan juga sangaaat mengganggu. Saya menyadarinya pun tiba-tiba, pada saat sedang beraktivitas seperti biasa, saya merasa seperti ada yang salah di tubuh saya. Lalu saya bergerak-gerak, oh yeah… punggung saya nyeriii sekali. Di area punggung―ingat punggung, bukan pinggang―sebelah kanan hingga ke bahu dan leher, bahkan rasanya menembus hingga ke dada. Awalnya saya merasa panik, heran… kenapa badan saya tiba-tiba begini?

Mau berdiri sakit, duduk sakit, geser sedikit sakit, menoleh sakit, menunduk sakit, baring sakit, apa-apa sakit. Gerakan saya jadi serba “anggun”, tidak bisa pecicilan lagi. Ini tidak bisa dibiarkan, pikir saya waktu itu. Karena sama sekali tidak memiliki buku bertema kesehatan, saya menelusuri Google untuk mencari pencerahan. Lalu saya menyimpulkan bahwa nyeri punggung saya ini diakibatkan gaya hidup saya yang kurang baik. Seperti posisi tidur dan duduk yang salah.

Saya bisa berjam-jam duduk di depan laptop, dan karena belum punya meja, maka posisi duduk saya serampangan, aneka gaya, meliuk ke sana-sini apalagi saya memang sering duduk dengan punggung yang membungkuk. Itu kesalahannya.

Penyembuhannya? Artikel-artikel di Google menawarkan mulai dari mengonsumsi obat-obatan sampai yang alami. Karena rasa nyeri ini sangat mengganggu aktivitas saya, sempat berpikir untuk minum parasetamol saja. Dengan alasan biar cepat sembuhnya. Tapi saya urungkan begitu melihat cara menyembuhkan secara alami. Dari beberapa poin yang disarankan, saya memilih dua di antaranya. Pertama, sakit punggung ini bisa disembuhkan dengan cara: jangan panik/berpikir positif.

Beberapa aritikel yang saya baca sama-sama menyebutkan “jangan panik”/”berpikir positif” sebagai salah satu cara penyembuhan nyeri punggung. Maksudnya adalah tidak perlu panik terhadap rasa sakit itu, panik atau cemas berlebihan―kata lainnya… lebay―malah membuat sakit tidak kunjung sembuh. Usahakan terus berpikir positif agar tidak stres karena bisa membuat badan serta pikiran jadi rileks, untuk kemudian bisa mengurangi ketegangan otot-otot yang sedang sakit.

Yang kedua: tetap bergerak. Mungkin ada yang berpikir untuk istirahat total saja, menghabiskan hari dengan rebahan di kasur. Tadinya saya juga berpikir begitu. Namun penjelasan di artikel itu masuk akal juga, saya harus tetap bergerak. Saya beraktivitas seperti biasa tapi dengan posisi yang benar. Sesekali juga melakukan peregangan-peregangan tubuh, yang ibaratnya sedang melakukan terapi pemulihan.

Nah, setelah saya melakukan dua hal itu: jangan panik dan tetap bergerak, lalu… bum! Dua hari kemudian nyerinya hilang! Untuk memastikannya saya sampai harus kayang lalu salto-salto ceria―Anda percaya ini?―memelintir-melintirkan dan meliuk-liukkan badan serta mencoba posisi aneka gaya. Benar, sudah tidak sakit. Saya bahagia sekali. Pengin peluk Tuhan lagi.

See? Saya memilih untuk tetap menjalani hari seperti biasa―walau tidak optimal seperti saat normal―daripada mengeluh dan mengaduh yang hanya bisa rebahan berhari-hari. Tuhan memberikan kejutan berupa kesembuhan yang tak diduga-duga. Lagi pula, saya mendapatkan pelajaran penting dari sariawan dan nyeri punggung ini, pelajaran tentang syukur.

Ketika sariawan menyerang, saya kemudian sadar bahwa betapa nikmatnya hari-hari normal di mana saya bisa makan dengan nyaman dan berbicara dengan bebas. Hal yang tidak saya sadari ketika sehat. Begitu pun dengan punggung, ketika nyeri baru saya berpikir alangkah nikmatnya ketika badan saya baik-baik saja. Lagi-lagi… hal yang tidak saya sadari ketika sehat.

Dan hal-hal yang tampaknya sederhana bahkan sepele―sehingga terabaikan―itulah yang harus saya syukuri. Kenikmatan luar biasa yang diberikan Tuhan pada kita adalah kesehatan, yang sering kali terabaikan dan baru sadar ketika sudah sakit.

Terima kasih, Tuhan….


NB: Lalu saya percaya bahwa sakit apa pun itu, jangan panik dan tetap berpikir positif, berdoa dan tetap bersyukur. Itulah beberapa hal yang menjadi obat terpenting.

Kamis, 29 Maret 2018

Saya dan Tetangga


Sudah lebih satu bulan saya tinggal di kota S. Untuk sementara saya tinggal di rumah Mbah saya. Lagi-lagi saya dituntut untuk “bertetangga”. Menyapa, basa-basi, dan hal lainnya. Sering kali saya beli sarapan―tidak masak sendiri―yang mengharuskan saya melewati rumah-rumah tetangga. Dan di sinilah masalahnya… saya introver yang tidak pandai menyapa.

Selain ketika membeli sarapan saya juga sesekali keluar rumah untuk berbagai urusan. Di saat-saat itulah saya berharap para tetangga sedang tidak ada di depan rumahnya. Tapi saya tidak bisa memaksakan keadaan itu, kan itu rumah mereka, mereka mau bikin apa juga terserah mereka!

Ada dua rumah yang paling sering ada orangnya di depan. Rumah pertama yang paling dekat dari rumah Mbah, sering kali ada seorang pria yang duduk-duduk santai di terasnya. Mungkin usianya pertengahan tiga puluhan. Ketika saya lewat dia selalu memperhatikan saya, tapi diam saja, saya juga tidak pernah menoleh. Sungguh, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Ya, mungkin sederhana, harusnya saya menoleh saja sambil tersenyum lalu sudah. Tapi saya benar-benar kikuk. Pernah saya menoleh, menatapnya, tapi dia tidak bereaksi apa-apa. Lalu saya tidak berminat mengulanginya lagi.

Beda lagi dengan tetangga yang satunya. Pakde Itu sering berkunjung ke rumah Mbah, saya sering bertemu dengannya dan dia orang yang pandai bercakap-cakap. Kalau berbicara dengan saya, dia yang aktif bertanya. Lalu kemudian saya hafal polanya, ketika berjalan melewati depan rumahnya. Yang perlu saya lakukan hanya menoleh, memeriksa dia ada di sana atau tidak. Kalau dia tidak ada ya tidak apa-apa, kalau ada tapi dia sedang sibuk (ada bengkel sederhana di halaman rumahnya) maka saya tidak perlu menyapa karena dia tidak melihat saya. Kalau pun dia ada dan dia kebetulan juga sedang melihat saya maka dia yang akan menyapa saya duluan.

See? Dia tetangga yang menyenangkan. Pakde Itu tahu bagaimana harus berhadapan dengan saya, dan kalau diperhatikan dia memang supel ke semua orang.

Suatu hari saya bertanya pada Mbah tentang siapa pria yang sering kali duduk di teras rumahnya itu. Saya heran sekaligus penasaran apa yang dilakukannya? Dia hanya duduk diam sambil memandang-mandang. Dia bisa berjam-jam ada di sana. Tidak jelas sekali. Sangat beda dengan Pakde Itu yang jelas-jelas selalu ada di depan rumahnya karena dia membuka bengkel, terkadang menimang cucunya, terkadang hanya bersantai.

Ternyata, berdasarkan informasi dari Mbah, pria itu sebenarnya agak tidak waras. Dan memang tidak memiliki kegiatan apa-apa, ya jadi begitulah kesehariannya. Kemudian saya hanya mengujar “oh” yang panjang lalu merasa sangat lega, perasaan bersalah saya karena tidak menyapanya―dan takut dianggap sombong―jadi mereda. Berikutnya saya leluasa lewat dengan tampang cuek, toh dia hanya menatap linglung. Bukan berarti saya pilih-pilih orang, toh orang stres―untuk tidak menyebut gila―juga manusia sama dengan saya, tapi memang saya tidak bisa menyapanya.

“Betah tinggal di sini? Kan, nggak ada temannya,” tanya Pakde Itu.

Dengan ceria saya menjawab, “Saya nggak ada teman nggak apa-apa, kok.”

Maksud “nggak ada teman nggak apa-apa” di sini bukan berarti saya tidak membutuhkan orang lain, oh itu sungguh pemikiran yang keliru. Maksud pertanyaan Pakde Itu pasti mengkhawatirkan saya apakah saya tidak bosan sendirian terus, tidak ada teman ngobrol dan melakukan hal lain―selain dengan Mbah. Mungkin Pakde Itu membayangkan betapa jenuh dan membosankan hari-hari yang saya lalui di sini, karena lebih sering sendiri dan belum punya teman di mana-mana, hanya sesekali tampak “keluyuran” ke kota bersama Pram.

Ternyata pemikiran itu salah besar. Saya orang yang sangat suka sendiri. Jadi, kalau sudah merasa sangat cukup sendiri kenapa harus ada orang lain? Tinggal sendiri itu menyenangkan. Seperti saat saya masih tinggal di 28.

Dengan sendiri saya menjadi bebas. Saya bisa leluasa melakukan aktivitas-aktivitas saya. Kalau orang lain bosan dan jenuh dengan kesendirian, saya justru mendambakannya. Ketika orang lain tidak punya hal-hal yang bisa dilakukannya ketika sendiri, saya justru punya banyak kesibukan.

Belakangan ini, saya bukan hanya memiliki tetangga di luar rumah, tapi juga di dalam rumah. Tetangga-di-dalam-rumah saya ini seorang perempuan. Ya, dia ngekos di rumah Mbah saya. Suatu hari Pakde Itu berkata lagi, “Ya bagus ada yang ngekos, kamu jadi ada temannya.”

Saya hanya tertawa garing yang berusaha tampak semarak. Teman? Oh yeah… kalau yang dimaksud adalah teman ngobrol, bercanda tawa, teman piknik, teman main, tentu masih salah besar. Kamar kami memang sebelahan, tapi nyaris tak pernah menyapa. Saya orangnya bingung kalau disuruh berbasa-basi, perkenalan sederhana kami pun dia duluan yang memulai. Selanjutnya hanya obrolan yang lebih cocok disebut tanya jawab “satu ronde”. Maksudnya adalah dia bertanya dan saya menjawab, dan sudah. Tidak ada pertanyaan kedua dan tentu tidak ada jawaban kedua.

Selain itu, dia bekerja dari pagi hingga menjelang magrib, biasa malah sampai malam. Pada pagi hari, saya duluan yang keluar dari kamar, melakukan beberapa aktivitas, ketika selesai saya akan kembali masuk ke kamar melakukan berbagai hal. Pada saat itu dia baru keluar kamar untuk menyapu dan mandi lalu berangkat kerja. Kita tidak bertemu sepanjang hari.

Ketika dia pulang, dia akan langsung masuk di kamar cukup lama hingga keluar lagi ketika malam untuk mandi dan membeli makanan di luar, lalu menghabiskan banyak waktu untuk istirahat di kamarnya kembali. Sementara itu saya masih bergelut dengan aktivitas saya; piknik. Hanya keluar kamar saat makan malam, mencuci baju, atau pun buang air kecil. Dan yeah… kita tidak pernah bertemu, apalagi bercakap. Begitulah fenomena hubungan “bertetangga” kami.

Nah, sama saja bukan? Saya tetap lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Untuk itu saya berkata “nggak ada teman, nggak apa-apa”.

Rabu, 28 Maret 2018

Reminisensi: 28

aku tuh sering rindu…

rindu kamarku yang dulu

rindu suasananya

rindu lingkungannya

rindu posisi kasur, rak sepatu, tumpukan koran, tempat sampah, meja tv, rak buku, dapur, kompor, kipas angin, lemari, cermin, jendela, pintu, debu-debu, semut, cecak, kecoak…

rindu coretan-coretan di dindingnya

rindu aromanya

rindu waktu-waktu yang kuhabiskan sendirian di dalamnya

rindu segala kenangan yang ada di sana

tapi aku tahu, aku tidak akan kembali ke tempat yang sama

sekali lagi, sangat rindu…


lagi boleh ya, aku rindu…

sudah, deh.

Selasa, 27 Maret 2018

Mie Ayam Terenak Se-Indonesia



Rupanya masyarakat di desa ini jarang yang memasak menggunakan tepung maizena, buktinya tepung yang satu itu susah saya temukan di sini. Waktu itu saya berkunjung ke rumah Pram, saya hendak membuat camilan yang memerlukan tepung maizena.

Tante saya―ibu Pram―punya kios di rumahnya, namun sayang di sana tidak ada maizena. Akhirnya saya meminta Pram untuk menemani keluar mencari tepung itu. Kami memutuskan untuk mendatangi kios yang besar-besar saja―untuk ukuran desa―agar kemungkinan dapatnya semakin besar. Tapi, tetap saja tidak ada.

Tujuan akhir adalah Indomaret, saya yakin sekali di sana ada. Sebelum ke sana Pram menawarkan saya makan mie ayam.

“Makan dulu ya, di situ ada mie ayam terenak se-Indonesia,” katanya dengan serius dan sangat yakin, seolah-olah dia sudah mensurvei seluruh mie ayam di Indonesia.

“Se-Indonesia??” tanya saya sambil terkekeh.

“Iya. Beneran,” dia juga terkekeh. Akhirnya kita berbelok ke sebuah rumah makan yang tampak sederhana. Dilihat dari jumlah pengunjungnya, tampaknya mie ayam di sana memang enak, maksudnya… sangat enak.

Tak lama kemudian mie pesanan kami datang. Dilihat dari tampilannya, saya setuju bahwa mie ini tampak menggiurkan. Saya mengaduknya sambil menambahkan beberapa bahan lain seperti sambal dan daun bawang. Lalu segera saya cicipi, hm… ya, rasanya enak. Sorry… sangat enak.

Well, saya menyetujui jika Pram menganggapnya mie ayam terenak se-Indonesia. Saya sangat menikmati rasa pekat kuahnya dan pedas yang memikat. Bahkan membuat saya lupa pada “kenikmatan” rasa sariawan di bibir saya―ya, di mulut saya sedang ada lima titik sariawan! Saya menghabiskan mie ayam itu dengan khidmat, benar-benar lupa bahwa saya tengah sariawan. Padahal setelah pulang, rasa perih itu muncul lagi bahkan lebih hebat. Ya, mie ayam itu memang sangat enak.

Senin, 26 Maret 2018

Beradaptasi di Pasar


Berminggu-minggu setelah saya tinggal di kota S rasanya masih sulit untuk beradaptasi dengan harga-harga di sini. Sungguh berbeda dengan harga di kampung halaman saya, Kendari, atau pun di kota J tempat tinggal saya yang lalu. Harga-harga di sini sangat rendah sekali, benar… saya banyak bersyukur atas biaya hidup yang cukup rendah ini, tapi sulit juga untuk terbiasa.

Dengan tiga ribu rupiah saya sudah bisa sarapan dengan kenyang. Mungkin untuk orang dari kota lain merasa porsi makanan di sini termasuk kecil, tapi bagi saya tidak, ini sangat pas. Tiga ribu rupiah dapat seporsi nasi pecel atau nasi sambal tumpang plus satu gorengan. Bahkan jika di pasar saya bisa mendapatkannya hanya dengan harga dua ribu lima ratus. Saya ulangi lagi Rp2.500! Saya terheran-heran. Maka sangat normal jika di tempat lain lima ribu rupiah sudah dapat paket lengkap. Seporsi nasi, gorengan satu, dan segelas teh hangat. Oh, nikmatnya dunia….

Sabtu, 24 Maret 2018

Piknik

Sering kali saya mendapat pertanyaan Sedang apa? atau Sibuk apa? Dan saya bingung menjawabnya. Lalu saya akan menjawab lagi piknik. Hal ini sudah saya terapkan permanen pada ibu saya.

Seperti yang saya bilang tadi, saya bingung menjawabnya, karena begini… aktivitas saya selalu berkisar membaca, menulis, belajar, berpikir, merekap sesuatu, dan menyelesaikan pekerjaan. Semua kegiatan itu saya jadikan satu dalam setiap kesempatan. Pertama membaca buku, lalu ganti membaca di ponsel, terus mengetik sesuatu di laptop, belajar beberapa hal, beralih coret-coret, lalu fokus bekerja, kembali lagi membaca di ponsel, kemudian bengong sambil berpikir, melanjutkan proyek menulis saya, lalu kembali lagi membaca buku, lanjut bekerja lagi, begituuu… terus, saya bisa melakukannya dari pagi sampai pagi lagi.

Harapan yang Terkabulkan Setelah Misuh-Misuh



Seminggu belakangan saya baru menyadari bahwa ternyata ada satu harapan saya yang terwujud. Berawal dari membaca-baca sekilas tulisan di blog Radar Eby lalu menemukan tulisan saya yang sedang marah-marah. Di akhir tulisan itu saya menyatakan harapan di mana suatu saat nanti yang saya lakukan hanya membaca dan menulis, oh betapa menyenangkannya hari-hari yang seperti itu.

Dan sekarang, tanpa saya sadari, saya telah menjalani kehidupan yang seperti itu. Namun ada tambahannya, selain membaca dan menulis, saya juga belajar dan bekerja. Oh sungguh, kenikmatan yang berlipat ganda. Saya menjadi individu yang bebas (walau tidak tinggal sendiri), sudah tidak terikat dengan urusan kuliah, dan bebas menjalani hal-hal yang saya cintai. Saya menggunakan sangat banyak waktu untuk melakukan hal-hal itu.

Jumat, 23 Maret 2018

Pria yang Mungkin L



Di sebuah toko buku yang siang itu cukup lengang, saya sibuk menghampiri rak demi rak. Menyapukan pandangan pada seluruh deretan buku tanpa terkecuali. Saya memang sedang serius mencari sebuah novel terjemahan.

Kemudian ketika saya sampai di sebuah sudut rak, langkah saya terhenti dan tidak bisa lewat. Di sana ada seorang pria sedang memandangi sebuah buku yang dipegangnya dengan serius, sambil duduk jongkok menghalangi jalan. Padahal rak di belakangnya belum saya periksa.


Kamis, 22 Maret 2018

Analogi Rumah Makan Padang



Ilustrasi perumpamaan ini saya dapatkan/baca dari suatu tulisan yang saya lupa di mana. Intinya, bukan saya yang menemukan ide ilustrasi ini, saya hanya mengemasnya dalam versi saya.

Kita omongin blog, yang ada kaitannya dengan rumah makan padang. Bagaimana? Begini, kita tahu ada banyak sekali situs blog pribadi―atau pun lainnya―yang bisa kita temukan. Temanya beda-beda, ditulis oleh orang yang beda-beda, isinya beda-beda, kontennya beda-beda, gayanya beda-beda, dan “beda-beda” lainnya.

Rabu, 21 Maret 2018

Selamat Datang dan Selamat Bekerja


Ada rekan baru yang aku miliki. Kami baru berjumpa beberapa hari yang lalu, namun baru kemarin kami memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih akrab. Aku memiliki ketertarikan terhadap sosoknya, dan aku rasa dia pun begitu.

Aku mengajaknya masuk ke dalam kehidupanku, begitu pun sebaliknya, aku akan mendalami bagaimana karakter dia.

Selasa, 20 Maret 2018

Balada Kegemasan Pekerjaan


Pernah saya mengatakan di sini bahwa saya sangat mencintai pekerjaan saya. Ya, benar. Sangat cintaaa… sekali. Saya mengerjakannya penuh suka cita, semangat membara, tidak bosan. Namanya saja cinta. Tapi bukan berarti tidak pernah stres.

Di awal bulan ini ada pekerjaan baru yang masuk ke email saya. Tentu saya senang. Tapi begitu buka isinya….

Senin, 19 Maret 2018

Kepada Bimo


Surat terbuka untuk seorang kawan.


Hai Bimo,

Tiba-tiba aku ingat kamu. Terkejutkah? Aku pun begitu. Sudah lama kita tidak bertemu, tak berbagi kabar. Bahkan aku sudah lupa bagaimana wajahmu. Aku yakin sekali kamu pun begitu. Berapa tahun telah berlalu? 15 tahun? 17 tahun? Aku bahkan tak tahu pasti.

Jumat, 16 Maret 2018

Keseruan Digital Tribe Aroma Karsa


Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya jadi download Facebook lagi demi bisa bergabung di grup digital tribe Aroma Karsa versi cerbung. Saya senang bisa menjadi bagian di dalamnya, merasakan sensasi membaca cerbung dan bertemu teman-teman yang asyik. Walau sebenarnya saya punya beberapa kekecewaan terhadap sistem versi cerbung ini, tapi… saya tidak akan membahasnya. Karena judul di atas adalah “keseruan” jadi mari kita bincangkan seru-serunya saja.

Ekspedisi ke Gunung


Sebelum pukul delapan pagi kami sudah harus berangkat. Saya dan Pram. Lebih pagi lebih baik, pikir saya waktu itu. Kami akan mengunjungi sebuah gunung―untuk berikutnya mari kita sebut gunung X. Tentu hanya sampai di kakinya saja, karena memang saya belum punya kesiapan apa-apa untuk mendaki.

Perjalanan pagi itu disebabkan oleh novel Mak Suri (Dee Lestari) yang baru rilis, Aroma Karsa. Di part 13 bertepatan dengan tim ekspedisi Puspa Karsa akan ke gunung X―awalnya saya kira di part itu mereka akan langsung mendaki, ternyata belum. Saya “merayakannya” dengan mengunjungi gunung tersebut karena lokasinya tergolong dekat. Walau sebenarnya penampakan gunung X bisa saya nikmati dari sekitaran rumah saja

Rabu, 14 Maret 2018

Kodok yang Dibantai


Saya sangat menyukai tidur pada malam hari di rumah Mbah. Di sebelah barat rumah ada aliran air yang terkadang jernih terkadang keruh. Di aliran itu ada banyak batu-batuan kali, sehingga suara gemerciknya syahdu sekali.

Suara yang menenangkan juga menenteramkan itu akan sangat terasa pada malam hari, saat suasana sudah menjadi sunyi. Kebetulan kamar tidur saya bersama Mbah ada di sisi barat rumah, sehingga dekat dengan aliran air itu dan suaranya jadi jelas terdengar.

Perihal Facebook


Melihat aktivitas akun Facebook belakangan ini membuat saya merasa perlu untuk membahasnya daripada dibiarkan. Tidak penting memang. Jadi tidak usah dibaca, tapi saya tetap menuliskannya di sini.

Senin, 12 Maret 2018

Saya dan Novel-Novel Fredy S


Beberapa jam yang lalu saya baru saja membaca sebuah tulisan di blog langganan saya. Yang kebetulan Dia sedang membahas novel-novel Fredy S. Awalnya, ketika baru membaca judulnya dan ada nama itu di sana, saya langsung mengernyit, rasa-rasanya… saya tahu dia, pikir saya. Semakin saya tenggelam dalam tulisan itu semakin saya yakin bahwa memang benar Fredy S yang “itu”. Bekas-berkas kenangan masa sekolah lalu bermunculan dengan cepat saling berkejaran di kepala saya.

Kalau kamu, akrab juga dengan novel-novelnya? Familier dengan nama Fredy S?

Minggu, 11 Maret 2018

Selamat Menikah untuk Kalian dari Kami


Tahun lalu, saat saya sedang genting-gentingnya dengan urusan revisi skripsi, ada sesuatu yang begitu mengganggu. Sesuatu itu berwujud seorang pria. Yeah….

JARENE (Jarang Benere)


Sebenarnya saya tidak begitu mengikuti percakapan malam itu. Saya sedang fokus membaca suatu tulisan di handphone. Namun tiba-tiba pendengaran saya menangkap sesuatu yang menggelitik, lalu kemudian saya ikut tertawa bersama mereka.

“Aku iki ibarate distributor ngunu lo!” ujar Amir―bukan nama sebenarnya―sepupu saya yang masih SMP.

Sejak Ada Darma


Saya jadi punya tokoh imajinasi baru.
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo